Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGADANG. Ini yang dilakukan Agus setiap kali musim hujan datang. Penjaga pintu air Katulampa, Bogor, ini mesti memelototi ketinggian air siang-malam selama dua bulan terakhir. Setiap kali air naik beberapa sentimeter dari batas normal, ia berkewajiban memberikan informasi perkembangan volume air di sana kepada publik. Ia menyebut batas normal pintu air Katulampa adalah 80 sentimeter. Di atas itu, ”Statusnya waspada,” katanya.
Pintu air Katulampa memang jadi salah satu tolok ukur tingkat kewaspadaan warga Jakarta akan ancaman banjir. Bila volume air di Katulampa berada di atas ambang normal, hampir dipastikan beberapa wilayah di Ibu Kota bakal terendam. Ini yang biasa disebut banjir kiriman.
Tak hanya itu, curah hujan yang tinggi juga membuat Jakarta rawan terendam. Pada 2002 dan 2007, saat terjadi banjir besar, curah hujan dari pesisir hingga wilayah atas Jakarta cukup tinggi. Rata-rata curah hujan di atas 100 milimeter, bahkan ada yang mencapai 340 milimeter, tepatnya di sekitar Bintaro.
Beruntung, curah hujan tahun ini tak sebesar dua tahun lalu. ”Saat ini curah hujan rata-rata masih di bawah 100 milimeter,” kata Kepala Bidang Analisa Klimatologi dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Soetamto.
Badan ini memperkirakan curah hujan tinggi masih akan berlangsung hingga 15 Februari. Setelah itu, secara bertahap akan mengalami penurunan. Namun penurunan curah hujan ini tak drastis. ”Hingga pertengahan Februari, cuaca masih bisa berubah-ubah. Namun, secara umum, hujan masih dominan,” ucap Soetamto.
Sejarah Jakarta memang basah oleh luapan air. Banjir besar pertama tercatat terjadi pada 1621. Berikutnya, terus berulang pada 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, 2002, dan terakhir yaitu tadi, pada 2007.
Genangan air yang membuat sebagian aktivitas di wilayah Jakarta lumpuh tak hanya akibat curah hujan tinggi. Dataran yang hampir separuhnya lebih rendah dari permukaan laut dan berjejalnya 13 sungai membuat kota ini sulit menghindari serbuan air. Ini masih diperparah oleh kacaunya sistem saluran pembuangan air atau drainase, menumpuknya sampah di sungai-sungai yang mengakibatkan terjadinya pendangkalan, dan penyerobotan tepian sungai untuk perumahan liar.
”Banyak hal yang tidak terduga,” ujar Soetamto. ”Terkadang kami terkejut, curah hujannya sama dengan tahun sebelumnya tapi banjirnya jauh lebih besar.”
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pemerintah DKI Jakarta tampak lebih siap mengantisipasi datangnya banjir. Sejumlah langkah penanggulangan telah dilakukan, dari melanjutkan proyek pembuatan Kanal Banjir Timur, pengerukan Kanal Banjir Barat, hingga pembuatan waduk parkir air di sejumlah wilayah rawan banjir.
Sejauh ini telah dibangun 29 waduk parkir air dari 42 waduk yang ditargetkan. Anggaran untuk pembebasan lahan pembuatan waduk pun telah cair. Rencananya, dua waduk baru akan dibangun di Kelapa Gading dan Marunda dengan luas masing-masing sekitar 80 hektare.
Waduk tersebut berfungsi menampung air agar tidak membanjiri permukiman di sekitarnya. Pemilihan lokasi pembangunan waduk itu didasarkan pada kebutuhan. Biasanya di daerah rendah perlu dibuat waduk agar air mengalir ke daerah yang lebih rendah.
”Kami juga melakukan penambahan sejumlah pompa air di Cideng dengan kapasitas 8 meter kubik. Itu dua kali lipat dibanding tahun lalu,” ucap Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Budi Widiantoro.
Untuk pengerukan sungai di lima wilayah DKI Jakarta, Budi menyebutkan pemerintah telah mengeruk, antara lain, Kali Item di kawasan Tambora dan Kali Adem di Muara Karang dengan rata-rata kedalaman 2 hingga 3 meter. Pemerintah daerah menyediakan anggaran Rp 200 miliar untuk seluruh pengerukan sungai.
Salah satu penyebab terjadinya pendangkalan sungai adalah banyaknya sampah. Tengok saja pintu air Manggarai. Sampah plastik dan kayu menumpuk di sana. Saat debit air cukup besar, petugas pintu air terpaksa membuka lebar dua pintu penahan air.
”Salah satu fungsi pintu ini adalah menyaring sampah. Tapi, kalau debit air besar dan pintu tidak dibuka lebar, bisa berbahaya,” ucap Pardjono, penjaga pintu air Manggarai. Selama musim hujan ini volume air tertinggi di Manggarai terbaca di angka 845 sentimeter. Normalnya 750 sentimeter.
Tahun ini bantuan logistik untuk mengantisipasi banjir juga relatif lebih siap. Sebanyak 300 perahu karet dan ban karet telah dibagikan ke daerah-daerah langganan banjir. Bantuan beras sebanyak 80 ribu ton, mi instan, selimut, dan sarung pun telah disebar di lima wilayah. ”Tahun ini persiapannya lebih matang,” kata Manajer Crisis Center DKI Jakarta Heru Joko.
Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk mengusir genangan air dari Jakarta, sebagian wilayah masih tetap terendam. Daerah Bukit Duri, Kampung Melayu, sebagian Kelapa Gading, dan Cengkareng adalah pelanggan tetap banjir tiap tahun.
Menurut Soetamto, kemampuan beberapa daerah menahan banjir di Jakarta memang sudah menurun. Aliran sungai-sungai di wilayah hilir Kanal Timur pun sering terganjal air laut saat pasang. Akhir tahun lalu, misalnya, pesisir Jakarta justru sering terendam banjir lantaran dihajar rob atau air laut yang pasang.
Firman Atmakusuma, Agung Sedayu
Prakiraan Daerah Potensi Banjir
Menengah
JAKARTA BARAT
JAKARTA SELATAN
JAKARTA TIMUR
JAKARTA UTARA
JAKARTA PUSAT
Kalideres
Penjaringan
Cengkareng
Taman Sari
Grogol Petamburan
Kebon Jeruk
Tanah Abang
Kebayoran Baru
Mampang Prapatan
Pasar Minggu
Cilandak
Jatinegara
Makasar
Cipayung
Ciracas
Tanjung Priok
Koja
Pademangan
Kelapa Gading
Sawah Besar
Kemayoran
Cempaka Putih
Senen
Menteng
Pulogadung
Tinggi
Tebet, Bukit duri, Kampung Melayu
Kramat Jati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo