Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kualitas Air Sungai dan Laut Memburuk

Kualitas air sungai dan laut di Indonesia memburuk. Pencemaran air tanah, sungai, dan laut mengakibatkan krisis air bersih.

21 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABAN hari Musdalifa harus ikut antrean mengambil air bersih di sebuah sumur bor. Ibu rumah tangga di Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tersebut bersama tetangganya mesti menenteng jeriken sejauh 100 meter dari rumahnya menuju sumber mata air. “Air ini kami gunakan sehari-hari untuk kebutuhan mandi, mencuci, dan memasak,” kata Musdalifa di lokasi sumur, Selasa, 20 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelurahan Tallo berlokasi di tepi Selat Makassar atau tepat bertetangga dengan Pelabuhan Peti Kemas Makassar New Port. Terdapat 9.248 jiwa yang tinggal di sana dan sebagian besar mengalami krisis air bersih, tak peduli pada waktu musim kemarau atau hujan seperti saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesulitan Musdalifa ini terjadi karena Perusahaan Umum Daerah Air Minum Kota Makassar belum menjangkau Kelurahan Tallo. Hal yang menjadi masalah adalah tanah di permukiman itu tak menghasilkan air bersih karena kerusakan air tanah yang diduga akibat pencemaran lingkungan. “Apalagi daerah kami berada tepat di pinggir laut yang sangat tercemar,” tuturnya.

Tak ada cara lain bagi Musdalifa kecuali mencari air bersih dari tempat lain. Setiap hari, setidaknya dia dua kali bolak-balik membopong jeriken untuk mengambil air bersih. Air bersih yang ia ambil tidaklah gratis. Mereka harus membayar Rp 10 ribu per pekan untuk tiap keluarga.

Uang iuran tersebut digunakan untuk membayar tagihan listrik pompa air sumur. Situasi akan lebih parah ketika memasuki musim kemarau karena debit air sumur menurun. Walhasil, warga harus membayar iuran sebesar Rp 3.000 untuk tiap jeriken air yang diambil.

Kondisi pemukiman di Kelurahan Bulo, Kecamatan Tallo, Makassar, yang kumuh dan tercemar. Dok. Mongabay Indonesia/Wahyu Chandra

Dari pengamatan Tempo, Kelurahan Tallo memang dikepung laut yang kotor. Bahkan airnya cenderung berwarna hitam yang disinyalir akibat pencemaran limbah. Pantai Losari—berjarak sekitar 5 kilometer dari Kelurahan Tallo—misalnya, kualitas airnya mengkhawatirkan. Air di pantai yang menjadi ikon Kota Makassar itu justru mengeluarkan bau busuk.

Kualitas air laut di Kota Makassar turut menjadi sorotan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kementerian memasukkan kualitas air laut di wilayah itu dalam kategori memburuk. Hal ini dilihat melalui stasiun pemantau, Stasiun KLHK 186 di Jembatan Aeng Towa, Jeneberang, Kabupaten Takalar. Titik pantau tersebut berada di pesisir Selat Makassar atau 21,6 kilometer dari Kota Makassar. Stasiun itu mencatat baku mutu air laut dengan nilai indeks 3,66 atau tercemar ringan.

Memang tidak ada stasiun pemantauan di dekat Pelabuhan Peti Kemas Makassar New Port. Namun pemantauan air laut di Stasiun Jeneberang telah menggambarkan bahwa kondisi air laut di Selat Makassar mengkhawatirkan. Musdalifa menduga kualitas air laut di wilayahnya bisa jauh lebih buruk lagi.

Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro menjelaskan bahwa kualitas air di Kota Makassar dan berbagai daerah lain masuk dalam pemantauan mereka. “Pemantauan tersebut kami lakukan di 194 stasiun realtime dan 14 ribu stasiun pemantauan manual,” kata Sigit dalam konferensi pers persiapan acara World Water Forum ke-10 di Jakarta, Selasa, 20 Februari 2024.

Menurut data KLHK, pada 2023, sedikitnya 775 stasiun pemantauan kualitas air sungai di seluruh wilayah menunjukkan penurunan kualitas air. Penurunannya terbagi dalam kategori tercemar ringan, sedang, hingga berat. Contoh yang tercemar berat adalah Sungai Nipa-nipa di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Sigit mengatakan wilayah itu terpantau mengandung klorin (Cl)—unsur kimia untuk kebutuhan industri—dengan konsentrasi 170 miligram per liter air. Padahal ambang batas baku mutu hanya 0,03 miligram per liter.

Temuan tersebut didapat Sigit saat mengambil sampel dan melakukan analisis air pada 5 Oktober 2023. Selain klorin, ditemukan zat lain berupa koliform fekal atau bakteri dalam tinja (di antaranya Escherichia coli) dengan kandungan 245 nilai paling mungkin (NPM) per 100 mililiter. Seharusnya baku mutu bakteri ini adalah 100 NPM/100 mililiter.

Di Sungai Nipa-nipa bahkan ditemukan lebih dari 2.000 miligram minyak dan lemak untuk setiap liter air. Nilai ini terbilang fantastis mengkhawatirkan karena ambang batas hanya 1 miligram per liter. “Terjadi pencemaran ekstrem di Sungai Nipa-nipa. Kami sudah meminta pemerintah daerah setempat mengambil langkah solutif untuk penanganannya,” ucap Sigit.

KLHK juga memantau kualitas air sungai yang memiliki kualitas tetap di 3.047 titik atau sebanyak 67 persen dari seluruh stasiun pemantauan. Kemudian terdapat 532 stasiun pemantauan mengalami perbaikan kualitas air dengan persentase 18 persen. Meski demikian, capaian ini hanya membuat indeks kualitas air pada 2023 berada pada poin 54,59 atau masih jauh dari target pada poin 55,5.

Sigit menjelaskan, pihaknya bakal meningkatkan perbaikan dengan cara menambah 153 stasiun pemantauan realtime pada tahun ini. Stasiun-stasiun tersebut akan digunakan untuk memantau 438 sungai prioritas diperbaiki. Misalnya di Jakarta, KLHK melakukan pemantauan terus-menerus di 15 stasiun yang tersebar di seluruh wilayah, kecuali Kota Madya Jakarta Timur dan Kabupaten Kepulauan Seribu.

Pengerukan ke dasar laut di kawasan pantai Losari, Kota Makassar. Dok. Mongabay Indonesia/Wahyu Chandra

Pemantauan kualitas air laut juga dilakukan dengan menyebar ratusan stasiun di bibir pantai. Catatan KLHK, indeks kualitas air laut nasional berada pada poin 78,84 atau lebih tinggi ketimbang target 60 poin. Capaian ini diduga karena kualitas air laut yang dilihat dari stasiun pemantauan stabil atau tetap. Hanya 28 stasiun yang mengalami penurunan kualitas. Sedangkan sisanya, sebanyak 353 berada tetap, dan 30 stasiun lainnya memiliki kondisi perbaikan kualitas.

Bukan hanya kualitas air, KLHK juga mengawasi sumber petaka rusaknya kualitas air. KLHK mendata setiap industri tambang nikel, tambang emas dan tembaga, tambang batu bara, industri tekstil, pupuk, kawasan perindustrian, rayon, pabrik bubur kertas, pabrik petrokimia, pabrik oleokimia dasar, pabrik sawit, eksplorasi produksi minyak dan gas (migas), serta kilang minyak. “Kami mewajibkan setiap industri melaporkan upaya peningkatan baku mutu air limbahnya melalui aplikasi Sparing,” ucap Sigit.

Berdasarkan catatan KLHK, eksplorasi migas menyumbang limbah terbesar dengan volume 10 miliar liter. Kemudian disusul perkebunan sawit yang menyumbang limbah 1,74 miliar liter. Lalu industri oleokimia (1,10 miliar liter), industri pengolahan kayu (119,64 juta liter), dan pabrik bubur kertas (71,84 juta liter). Sigit menyebutkan, karena limbahnya cukup banyak, mereka berupaya mengubah limbah menjadi bahan baku penghasil listrik alternatif.

Staf Ahli Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Sumber Daya Air Firdaus Ali menjelaskan bahwa perbaikan kualitas air yang terjadi dalam tiga tahun terakhir boleh jadi karena dampak pandemi Covid-19, mengingat aktivitas manusia dibatasi, sehingga kualitas air dan udara membaik. “Saya melihat perbaikan ini temporer saja, selagi pemerintah tidak melakukan penegakan hukum terhadap sumber-sumber pencemar sungai dan laut,” katanya.

Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU), melakukan kegiatan membersihkan dan mengangkut sampah - sampah yang mengendap di tengah aliran Sungai Ciliwung terlihat debit air mulai berkurang dan mengering di wilayah MT Haryono, Jakarta, Juli 2023. TEMPO/Imam Sukamto

Pemerintah, menurut pengamatan Firdaus, justru acap melonggarkan sanksi. Dalihnya, kata dia, karena dapat menimbulkan dampak ekonomi apabila satu perusahaan pembuang limbah ditindak. “Padahal, dalam jangka panjang, pembiaran perusakan sungai dapat memperparah indeks kualitas air nasional.”

Pendiri Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton), Prigi Arisandi, menyatakan mengurus kualitas air tidak senyampang memantau sungai. Dia menyebutkan Indonesia memiliki 68 sungai strategis nasional “Seharusnya parameter kualitas air adalah semua sungai harus nihil sampah, tapi faktanya semua sungai kita menjadi tempat pembuangan sampah,” kata Prigi saat dihubungi, Selasa, 20 Februari 2024.

Ecoton mengingatkan, semestinya Indonesia sudah memiliki regulasi setingkat peraturan presiden untuk melakukan pengawasan dan tindakan atas memburuknya kualitas air sungai. “Terutama menindak industri-industri yang selama ini menjadi sumber penyakit atas rusaknya air sungai.”

Prigi mengkritik mekanisme pemantauan kualitas air oleh KLHK selama ini. Menurut dia, pemerintah hanya mengandalkan pemantauan lewat aplikasi Onlimo yang dinilai tidak memadai untuk memotret keseluruhan kondisi sungai. “Badan sungai terbagi pada segmen hulu, tengah, dan hilir. Masing-masing memiliki kondisi kualitas air yang beragam karena dipengaruhi input buangan limbah.”

Selama satu dekade terakhir, Ecoton telah memotret buruknya kualitas air di banyak sungai. Khususnya sungai yang berada dekat atau menjadi tempat aktivitas pertambangan, pembuangan limbah sawit, pertanian intensif, dan industrialisasi. Faktor-faktor ini menjadi penyumbang terbesar menurunnya kualitas air. “Namun pemerintah tidak serius dan cenderung mengabaikan pengendalian pencemaran sungai. Misalnya Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo rusak akibat aktivitas perusahaan.”

AVIT HIDAYAT, DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus