Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Ramuan Tangan Dingin Conte

Antonio Conte merombak total gaya permainan Chelsea untuk mendominasi Liga Inggris. Pemain menyukai pendekatan santai.

9 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANTONIO Conte sigap menghampiri Nemanja Matic dan Diego Costa yang berjalan lunglai di lapangan White Hart Lane, Rabu pekan lalu. Manajer Chelsea itu menyalami seraya menepuk punggung mereka, memberi semangat di tengah gemuruh sorak kegembiraan suporter Tottenham Hotspur. Dua gol sundulan Dele Alli malam itu memutus mimpi Chelsea mencetak rekor sebagai tim dengan kemenangan beruntun terbanyak dalam semusim.

Chelsea datang ke stadion di London Utara itu dengan mengantongi 13 kemenangan berturut-turut. Rekor ini setara dengan raihan Arsenal pada musim 2001/2002 yang diasuh Arsene Wenger dan menjuarai Liga Primer Inggris. Seandainya menaklukkan Hotspur, Chelsea bakal memecahkan rekor kemenangan beruntun dalam semusim sepanjang sejarah Liga Primer. Tapi hal itu tak terjadi. Chelsea menyerah 0-2 kepada Spurs-julukan Tottenham Hotspur.

Meski kecewa, Conte memuji perlawanan Spurs. Dia mengakui kemenangan klub itu mengubah peta persaingan perebutan gelar juara Liga Primer. "Sayang sekali kami terhenti seperti ini, tapi Tottenham sangat kuat," kata Conte seperti dikutip Sky Sports. "Mereka adalah salah satu yang bakal terus bertarung sampai akhir nanti."

Manajer Tottenham Hotspur Mauricio Pochettino mengatakan persaingan empat tim teratas di klasemen bakal ketat, apalagi paruh kedua musim baru dimulai. "Tapi hasil kali ini sangat penting karena kami mengalahkan tim kuat dan salah satu yang terbaik di Eropa," ujar mantan bek Argentina berusia 44 tahun itu.

Conte tak terlalu ambil pusing dengan kekalahan timnya di markas Spurs. Toh, Chelsea masih di puncak klasemen dengan 49 poin. Klub berjulukan The Blues itu unggul lima angka atas Liverpool, yang berada di peringkat kedua. Chelsea punya catatan manis ketika berada dalam kondisi ini. Empat kali The Blues bertengger di puncak klasemen pada hari Natal-terakhir kali bersama Jose Mourinho dua tahun lalu-dan menjadi juara liga.

Bagi Conte, kekalahan dari Spurs hanya hal remeh dibandingkan dengan kekalahan Chelsea dari Arsenal pada September lalu. Kala itu, Arsenal melibas Chelsea 3-0. Kekalahan telak itu membuat Conte berada dalam tekanan besar. Sejak dia resmi melatih di Stamford Bridge pada April lalu, tak ada perubahan berarti di Chelsea. Klub itu masih terlihat tua, lamban, dan tak punya arah dengan lini pertahanan rapuh.

Ini masalah yang membayangi Chelsea sejak Mourinho hengkang pada Desember 2015. Belum lagi konflik internal-sebagian besar disulut ucapan pedas Mourinho-juga menggelayuti tim. Steve Holland dan Guus Hiddink, yang ditunjuk menangani Chelsea, tak bisa memperbaiki atmosfer tim menjadi kondusif. Masalah makin pelik ketika Chelsea kalah oleh Liverpool 1-2 di Stamford Bridge. Tak ada yang memandang Chelsea sebagai tim juara.

Alih-alih bikin lemas, kekalahan telak dari dua rivalnya malah membuat Chelsea beringas di lapangan. Tiga belas kemenangan beruntun mengantarkan Chelsea ke puncak klasemen Liga Primer, posisi yang masih mereka pertahankan hingga saat ini. "Kami kalah oleh Spurs, tapi berhasil bermain sebagai sebuah tim," kata pelatih kelahiran Lecce, Italia, 47 tahun lalu itu. "Saat melawan Arsenal, kami tidak seperti itu."

Keberhasilan Chelsea tak lepas dari reformasi besar-besaran yang dilakukan Conte. Mantan pelatih Juventus itu memperkenalkan taktik 3-4-3. Padahal, di bawah kendali Mourinho pada 2013-2015, Chelsea lebih familiar dengan formasi yang memasang empat pemain di lini pertahanan.

Perubahan itu membuahkan hasil. Chelsea menjadi tim solid. Permainan The Blues juga lebih agresif dan mampu mendominasi penguasaan bola. Klub itu paham Eden Hazard dan Costa sangat bisa diandalkan di lini depan.

Adapun N’Golo Kante, pemain yang ikut mengantarkan Leicester City menjadi juara musim lalu, menjadi penghubung aliran bola di lini tengah Chelsea. Sedangkan Victor Moses dan Marcos Alonso dipasang sebagai bek sayap. Kecepatan Moses dan Alonso dari sisi lapangan menjadi sokongan besar bagi Pedro dan Hazard, yang membuyarkan pertahanan lawan di tengah.

Chelsea langsung meraih lima kemenangan berturut-turut, termasuk ketika melibas Everton 5-0 pada November lalu. Manajer Everton Ronald Koeman pening tujuh keliling tak bisa memecahkan sistem Chelsea meski sudah menirunya sejak pertandingan dimulai. Everton kebobolan dua gol hanya dalam 20 menit. Perubahan strategi yang dilakukan Koeman tak mengubah kondisi buruk timnya.

Menurut Koeman, seperti dikutip The Guardian, dia tak pernah melihat formasi 3-4-3 sekuat yang ditunjukkan Chelsea. Dia bahkan heran mengapa Chelsea tak menggunakan formasi itu sejak awal musim.

Ini bukan pertama kalinya Conte memakai formasi dengan tiga pemain belakang. Saat melatih Juventus selama empat tahun sejak 2011, Conte juga menggunakan tiga pemain belakang, tapi dia memakainya dalam formasi 3-5-2. Sistem itu membuat Juventus leluasa menyerang dan membuat sang playmaker, Andrea Pirlo, bergerak lebih bebas. Conte membantu Juventus meraih tiga trofi Seri A Italia berturut-turut.

Hal lain yang membuat para pemain Chelsea betah dengan Conte adalah selera humornya yang besar. Ini menyatukan kembali Chelsea yang sempat "terbelah" gara-gara Mourinho, yang membuat tim melepas manajer berjulukan Sang Terpilih itu. Conte dikenal sebagai pelatih keras dan berdisiplin. Tapi dia tahu kapan harus membuat para pemain tertawa. "Jujur saja, manajer kami sangat baik kepada pemain. Dia banyak melontarkan lelucon," ucap Costa seperti ditulis The Mirror.

Conte lebih diterima tim karena dia bisa diajak diskusi dan tidak beraksi seperti bos besar. Menurut Costa, sang manajer selalu memberi dukungan kepada para pemain saat mengalami masa sulit. Pemain juga menyukai ketenangan Conte. "Anda bisa saja berlari 20 atau 100 kilometer saat latihan, tapi tanpa semangat kebersamaan di antara pemain dan pelatih, semuanya percuma," kata pemain 28 tahun itu.

Kemampuan Conte dalam memotivasi para pemain membuatnya disegani. Dia mampu mengatur tim-kemampuan yang membuatnya kerap disejajarkan dengan Sir Alex Ferguson, mantan pelatih Manchester United. Menurut Pirlo, Conte dengan mudah membuat semua anggota tim Juventus terpukau saat dia memperkenalkan diri sebagai manajer baru. "Dia hanya melakukan satu pidato dengan kata-kata sederhana tapi tajam, menaklukkanku dan Juventus," ujar Pirlo seperti ditulis The Guardian. "Dia sangat bersemangat dan percaya diri."

Mauricio Pochettino memuja taktik Conte, yang menurut dia sangat brilian dalam mengubah gaya permainan Chelsea. "Tak akan ada yang bisa memenangi 13 pertandingan beruntun tanpa fondasi permainan dan karakter yang solid," kata Pochettino, yang pernah berhadapan dengan Conte dalam pertandingan persahabatan pada 1998.

Conte dinilai berhasil beradaptasi dengan kerasnya kompetisi Liga Primer, yang menurut Pochettino seperti "sebuah maraton yang menghabiskan banyak energi". Pelatih yang pernah menangani tim nasional Italia itu mampu mengidentifikasi sistem terbaik bagi Chelsea. "Dia bisa melakukan perubahan dengan cepat," tutur Pochettino.

Kekalahan, bagi Conte, hanya sebuah pengalaman untuk memperbaiki kualitas permainan. Dia meyakini keberhasilan Chelsea bertengger di puncak klasemen adalah buah kerja keras. "Kekalahan bisa terjadi kapan saja. Yang penting kita harus memulai lagi dengan lebih baik." GABRIEL WAHYU TITIYOGA (THE GUARDIAN | SPN | SKY SPORTS | THE TELEGRAPH | THE MIRROR)



Antonio Conte
Tempat dan tanggal lahir:
Lecce, Italia, 31 Juli 1969

KARIER
Pemain:
Lecce (1985-1991)
Juventus (1991-2004)
Tim nasional Italia (1994-2000)

Manajer:
Arezzo (2006-2007)
Bari (2007-2009)
Atalanta (2009-2010)
Siena (2010-2011)
Juventus (2011-2014)
Tim nasional Italia (2014-2016)
Chelsea (April 2016-sekarang)

GELAR
Pemain:
Seri A (1995, 1997/1998, 2002/2003)
Coppa Italia (1995)
Liga Champions Eropa (1996)
Piala Eropa (1993)
UEFA Super Cup (1996)
Piala Intercontinental (1996)
UEFA Intertoto Cup (1999)

Manajer:
Seri A (2011/2012, 2012/2013, 2013/2014)
Supercoppa Italiana (2012, 2013)
Pelatih terbaik Seri A (2012, 2013, 2014)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus