Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sebabnya si icuk menang

Icuk sugiarto, eddy hartono/verawati, liem swie king bobby ertanto, masing-masing keluar sebagai juara tunggal putra, ganda campuran, ganda putra, di kejuaraan dunia vi. resep kekuatan icuk karena tanpa pelatih. (or)

15 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ICUK juara lagi. Setelah permainannya melorot terus selama setahun ini terburuk di Asian Games Seoul Oktober lalu -- prestasinya di final tunggal putra Kejuaraan Piala Dunia VI melawan Morten Frost Hansen, Minggu malam pekan lalu, berhasil mengangkat lagi pamornya sebagai pemain dunia. Ribuan penonton, yang cuma separuh memenuhi Istora Senayan, tempat berlangsungnya final kejuaraan itu -- sebelumnya berlangsung di Bandung -- spontan berjingkrak-jingkrak. Perasaan sukacita memang tak terbendung. Icuk Sugiarto, 24, saking gembiranya, tampak membuang raketnya ke arah penonton, begitu pertandingan usai. Raket bertuah itu sempat jadi rebutan penonton sebentar, sebelum kemudian mereka semua larut dalam kegembiraan. Inilah sebuah kegembiraan yang belakangan ini setelah serentetan kekalahan besar pemain bulu tangkis kita (di kejuaraan Piala Thomas, Mei silam, dan di Asian Games, Oktober lalu) -- terbilang jarang mereka nikmati. Peminat bulu tangkis Indonesia memang patut bersuka hati. Sebab hasil kejuaraan Piala Dunia ke VI berhadiah uang seluruhnya berkisar Rp 180 juta, kali ini memang di luar dugaan. Pemain Indonesia merenggut tiga kemenangan. Selain Icuk, kemenangan lain masing-masing diperoleh ganda campuran Eddy Hartono dan Verawati serta ganda putra Liem Swie King dan Bobby Ertanto. Memang amat mengejutkan Icuk, juara dunia 1983, bisa tampil sebagai juara. Malah kali ini bisa dikatakan seorang juara komplet. Paling tidak karena ia sudah mengalahkan tiga pemain kuat dunia. Yakni Park Joo Bong (andalan Korea Selatan yang sudah dua kali mempecundanginya, terakhir di semifinal nomor beregu putra Asian Games X di Seoul), Zhao Jianhua (pemain kidal RRC, juara All England 1985, yang menumbangkannya di Malaysia Terbuka, Juli lalu), dan Morten Frost Hansen (jagoan Denmark, juara All England 1984 dan 1986 yang tiga pekan lalu baru menjuarai tunggal Turnamen Antarmaster di London). Apa rahasia kemenangan Icuk? Ditemui Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO, Senin malam pekan ini, juara baru Piala Dunia itu mengatakan, memang ada sejumlah faktor yang berperan dalam keberhasilannya itu. Namun, satu hal pokok yang diakuinya terus terang, dia berlatih dengan sungguh-sungguh selama 12 hari menjelang Kejuaraan Piala Dunia. Pukulan pahit karena kegagalannya di Seoul dan rangkaian perlakuan yang diterimanya setelah itu -- di antaranya tak dikirim ke London, serta tak disediakan lagi pelatih khusus oleh PBSI -- telah ikut melecut semangatnya untuk bangkit. Tanpa pelatih, misalnya, ia malah punya kepercayaan diri untuk menyelesaikan semua persoalan yang dihadapinya. Umpamanya, ia selama ini selalu merasa kekuatan fisiknya kurang. Terutama untuk mendukung pola permainan defensif yang dia senangi. Karena itu, dia sebenarnya ingin agar aspek ini diprioritaskan lebih dahulu. Tapi permintaan ini di Pelatnas, Senayan, tempat ia biasa digodok, tak begitu saja dikabulkan. Keterpaksaan seperti itu tak ditemuinya menjelang kejuaraan Piala Dunia VI. Tanpa pelatih ia malah leluasa menjalankan latihan yang dinginkannya. Misalnya, dia merasa bobot tubuhnya, yang berkisar 73 kg selama ini, terasa menghambat kelincahannya. Karena itu, dia merasa perlu menurunkan berat itu dengan meningkatkan latihan fisik. Maka, Icuk, yang merasa pasti bisa main baik kalau stamina dan fisiknya kuat itu, pun lalu menggenjot fisiknya dengan berlari. Setiap pagi, dia mengaku, berlari 20 sampai 25 kali keliling stadion atletik Senayan. Pelbagai nomor lari dicobanya: lari sprint 100 meter, 200 meter, dan 300 meter. Hasilnya memang mengejutkan. Bobot tubuhnya turun drastis dari sekitar 73 kg menjadi hanya sekitar 67 kg. Mula-mula ia memang kaget. "Sampai saya nggak berani lihat timbangan." Tapi dia tak merasa ada sesuatu yang salah. "Badan saya malah terasa fit," katanya lagi. Berlatih sendiri lewat patokan asumsi yang diyakininya benar, pemain klub Pelita Jaya ini menyiapkan modal yang diperlukannya buat menerapkan pola permainannya. Yaitu bertahan ketat dengan pukulan reli dan lob, sambil menunggu lawan lengah, baru kemudian menekan lawan dengan serangan balik. Icuk tak menyangkal banyak orang meremehkan pola permainannya karena mereka menganggap pola ini sudah kuno. Terutama dibandingkan dengan pola permainan menyerang speed and power yang kini banyak dipakai pemain RRC. "Tapi, sudah saya buktikan bahwa pola defensif ternyata bisa dikembangkan," katanya. Memang, masyarakat penonton juga kurang suka pola ini. Mana pola permainan terkuat memang tetap bisa diperdebatkan. Yang terang, Stanley Gouw, yang pernah melatih pemain Piala Thomas periode tahun 70-an, mengatakan pengalaman Icuk bisa jadi salah satu model penanganan pemain yang layak diperhatikan. Malah di klubnya, Bimantara Tangkas, cara pembinaan model itu -- mengurangi dominasi pelatih dan memberikan keleluasaan yang lebih besar pada pemain -- kini tengah dikembangkan. Ketua Bidang Pembinaan PBSI yang lama melatih Icuk, Tahir Djide menyatakan kekuatan Icuk bertambah kini, katanya, "Karena dia sudah bisa menenangkan diri dalam keadaan kritis, misalnya ketika ketinggalan angka." Ketika bertarung dengan Morten di final, Icuk misalnya membuktikan kekuatan mentalnya. Ia sama sekali tak tampak gugup ketika ketinggalan sampai 0-9 di set pertama, sampai kemudian kalah. Malah, di set kedua, ia dengan wajah tampak yakin mampu mendikte Morten dan akhirnya menang, seperti juga di set ketiga. Tapi betulkah rahasia keberhasilan Icuk itu karena ia tak didampingi pelatih? Tahir Djide dan Rudy Hartono, Ketua dan bekas Ketua Bidang Pembinaan PBSI, tak sependapat. "Belum tentu. Masih harus dievaluasi apakah kemenangan itu karena ia tak didampingi pelatih atau karena ada sebab lain," ujar Tahir. Sedangkan Rudy bersikukuh memastikan seorang pemain, betapapun seniornya, tetap perlu seorang pelatih pendamping. "Banyak faktor yang tidak menguntungkan jika pemain tak didampingi pelatih di suatu turnamen," kata Rudy. Ia tak merinci keterangannya. Namun, jelas, kemenangan Icuk, selain menebarkan kembali rasa bangga, sekaligus juga menyiratkan ada sesuatu yang belum beres dalam pola pembinaan pemain bulu tangkis Indonesia sekarang ini. Marah Sakti Laporan Ahmed Soeriawidjaja (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus