Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Olahraga

Susanto Megaranto, Grand Master dari Keluarga Petani Indramayu

Susanto Megaranto menekuni kariernya sebagai pecatur pada usia tujuh tahun di Indramayu, Jawa Barat, dan menjadi Grand Master pada usia 17 tahun.

16 Juni 2019 | 09.39 WIB

Grand Master Catur Indonesia, Susanto Megaranto. Tempo/Pribadi Wicaksono
Perbesar
Grand Master Catur Indonesia, Susanto Megaranto. Tempo/Pribadi Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Yogyakarta - Nama Susanto Megaranto sudah tak asing bagi penggemar olahraga catur. Pria kelahiran Indramayu, Jawa Barat 8 Oktober 1987 itu mendapat predikat Grand Master, gelar tertinggi dunia catur. saat usianya masih 17 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Pecatur kawakan yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi), Utut Adianto,  memperoleh gelar Grand Master pada usia 21 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saya mulai belajar catur sejak umur tujuh tahun, dilatih sama bapak saat itu di kampung," ujar bungsu dua bersaudara dari pasangan petani asal Indramayu, Jawa Barat, Wasdirah dan Darsinah, itu saat ditemui di Yogyakarta Jumat 14 Juni 2019.

Susanto menuturkan saat ia masih anak anak, warga di kampungnya memang sedang demam permainan catur. Di pos keamanan lingkungan, pinggiran sawah, hingga teras rumah bisa jadi area menggelar permainan itu.

Susanto pun juga kerap bermain catur dengan para tetangganya di kampung, sebelum akhirnya menjajal kemampuannnya di ajang profesional mulai tahun 1995, atau saat usianya masih 7,5 tahun.

Turnamen profesional yang ia ikuti saat itu yakni Kejuaraan Daerah (Kejurda) Kelompok Umur (KU) 12 di Cianjur, Jawa Barat. Melawan para pemain yang usianya lebih tua saat itu, Susanto berhasil menyabet peringkat kedua.

Turnamen pertama inilah yang menjadi tonggak awal keyakinan Susanto semakin kuat berkiprah di dunia catur.

"Saya tidak pernah tepirkirkan jadi pecatur profesional, tapi karena saat turnamen pertama itu menang dapat hadiah, terus semangat, dan lama lama bercita cita jadi pemain catur," ujarnya.

Terlebih medali pertama yang diraih Susanto pada 1995 itu disusul lagi dengan prestasinya berturut menjadi urutan ketiga Kejuaraan Nasional (Kejurnas) KU-12 di Palangkaraya, dan juara SD serta perungkat kedua SMA di Indramayu, Jawa Barat.

Susanto bersyukur meski saat itu ia nekat bertanding di kelompok umur 12 tahun, karena belum ada kelompok usia 8 tahun seperti sekarang, ia bisa melewatinya dengan berbagai torehan prestasi.

Tak menyia-nyiakan kesempatan, berbagai turnamen catur terus diikuti Susanto pada masa kanak-kanaknya demi mematangkan kemampuannya.

Pada 1997, saat usianya hampir menginjak 10 tahun, Susanto menorehkan prestasi lagi sebagai juara Kejurda KU-12 di Bandung, Jawa Barat, dan juara I Kejurnas KU-10 di Banda Aceh.

Baru pulang dari Kejurnas Aceh, selang beberapa pekan pada 1997 itu, Susanto dan beberapa pecatur cilik bertolak ke Prancis selama dua pekan untuk mewakili Indonesia dalam kejuaraan dunia catur kelompok umur 10 tahun. Saat itu Susanto menempati peringkat 11 dari 150 peserta yang ikut.

Lawan Susanto saat di Kejuaraan Dunia Junior Perancis saat itu kini sebagian sudah menjadi grand master dunia, salah satunya Hikaru Nakamura.

Torehan prestasi di masa belia itu membuat nama Susanto kecil sampai ke telinga pengurus sekolah catur Enerpac, yang didirikan pengusaha Eka Putra Wirya, sosok yang turut menempa Grand Master Super Utut Adianto.

Tahun 1997, Susanto pun ditarik oleh Sekolah Enerpac untuk bergabung dan memperdalam kemampuannya dengan bimbingan para master, termasuk Utut langsung.

"Saya saat itu ditarik gabung ke Enerpac karena pas Kejurnas Aceh (1997) berhasil mengalahkan murid senior di Enerpac, Taufik Halay, yang sudah setahunan sekolah catur. Sedangkan saya masih pemain kampung saat itu," ujar Susanto.

Tanpa pikir panjang, tawaran beasiswa dari Enerpac langsung diterima Susanto. Sebab kedua orang tuanya juga bukan berasal dari kalangan mampu sehingga kesempatan emas itu tak ia sia-siakan.

Terlebih kedua orang tuanya juga mendukung bahkan rela menitipkan sawahnya di Indramayu digarap orang lain demi mendampingi sekolah catur yang ditempuh Susanto di Jakarta. Susanto pun hijrah ke ibukota dan pindah sekolah dasarnya yang saat itu masih duduk di bangku kelas lima.

"Saat itu saya mikir, kalau mau maju ya harus ke kota, tidak di kampung terus, kapan lagi bisa dapat kesempatan (dapat beasiswa sekolah catur) itu," ujarnya.

Keputusan pindah ke ibukota untuk sekolah catur itu diiringi berbagai uluran tangan berbagai pihak yang hendak membantu Susanto dan keluarganya yang bukan kalangan mampu. Misalnya untuk sekolah dan tempat tinggal, ia dibantu seorang bapak asuh bernama Herman  di Pondok Gede Jakarta Timur

"Bapak dan ibu saya ikut juga karena saya waktu itu baru umur 10 tahun, tdak  mungkin ditinggal, tinggal setahunan di rumah Pak Herman," ujarnya.

Baru setahun Susanto mengenyam pendidikan di ibukota, pecah kerusuhan Mei 1998. Sekolah catur Ernerpac Susanto pindah ke Bekasi tahun 1999 tanpa ia ketahui penyebabnya dan berganti nama menjadi Sekolah Catur Utut Adianto. Susanto dan keluarganya terpaksa juga pindahan lagi agar dekat lokasi sekolah caturnya.

Susanto bersyukur di sekolah catur yang baru itu ia dan keluarganya bisa menumpang tinggal. Karena lantai satu sampai tiga sebagai ruang kelas dan lantai teratas, lantai empat untuk asramanya. Ada lima kamar di asrama itu.

Lantas, apa bedanya sebelum dan sesudah sekolah catur pada kemampuannya bermain? "Jelas beda, di sekolah banyak teori diajarkan untuk mengatur permainan, saya jadi tidak lagi asal jalan dan mengandalkan feeling," ujarnya.

Di sekolah catur itu, Susanto menghadapi sebuah gemblengan yang tak main main. Tiap hari pulang sekolah, mulai jam 13.00-18.00 adalah waktu belajar catur. Baik teori dan praktek. Berbagai teknik diaplikasikan untuk dipelajari kelebihan dan kelemahannya.

"Setelah sekolah, saya makin banyak memenangi kejuaran nasional tapi sudah masuk kelompok senior, bukan junior lagi," ujarnya.

Sejak mendalami catur di sekolah catur itu, Susanto tercatat tak pernah absen mengukir prestasi tiap tahun dari 1999- 2019. Setiap tahun, minimal tiga kejuaraan ia menangkan baik tingkat nasional maupun dunia.

Gelar yang disandangnya pun terbilang singkat kenaikannya. Dimulai Master Percasi tahun 1997, lalu Master Nasional tahun 1999, dan Norma Master Internasional tahun 2002. Lalu Susanto meraih gelar Master Internasional/Norma Grand Master di tahun 2003 dan akhirnya mendapatkan Grandmaster tahun 2004

Alumnus Fakultas Sastra Inggris Universitas Gunadarma itu sepanjang kariernya juga telah mengantongi belasan penghargaan.

Susanto Megaranto antara lain termasuk 45 atlet terbaik Indonesia yang diberi penghargaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2005), penghargaan olahragawan terbaik dari Gubernur Jawa Barat (2010), dan Mind Sport Award Universitas Gunadarma (2010).

PRIBADI WICAKSONO

Hari Prasetyo

Hari Prasetyo

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus