Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI pengalaman pemilu 1971, gerakan kedaerahan itu tampaknya
hanya untuk kepentingan politik sementara. Analisa saya. gerakan
politik yang bersandarkan kedaerahan seperti tampak dalam
sejarah akan bangkrut. Sebab ada realisme baru dalam politik
kita sekarang.
Kita sudah terlalu biasa melihat politik Indonesia sebagai
cermin dari konflik yang sifatnya kulturil. Ada benarnya. Tapi
dalam perkembangan sistem administrasi dan hirokrasi akhir-akhir
ini, masalah yang kultum itu makin dilemparkan ke
latar-belakang. Masalahnya lebih merupakan soal power
(kekuasaan).
Sekarang banyak hal makin dipusatkan. Misalnya pemilihan
gubernur. Dulu pernah, di Sumatera Tengah, gubernur dijatuhkan
oleh DPRD setempat. Sekarang tanggungjawab gubernur lebih ke
atas. Begitu pula bupati, bahkan rektor. Dulu rektor betul-betul
ditentukan oleh universitas. Kini bisa didatangkan dari luar.
Dalam apa yang disebut "strategi" pengembangan kebudayaan
nasional sekarang, kita sering melihat keinginan menghidupkan
kembali tradisi lama. Untuk upacara perkawinan keluarga orang
penting misalnya, dicari lagi buku-buku lama sebagai petunjuk.
Juga seakan timbul kompetisi kebudayaan antar daerah yang
sifatnya non-politis. Ini memang bisa mengaburkan. Dan kalau
dihadapkan ke lapangan nasional bisa menimbulkan pandangan yang
artifisial tentang politik.
1971 misalnya, ada pertemuan para "pemangku adat" se-Indonesia.
Padahal konsep "pemangku adat" hanya pengertian di Sumatera
Barat. Di Jawa, apa konsep itu? Itu cuma bikin-bikinan
Kedaerahan memang ada. tapi sifatnya lebih defensif. Praktis
sekarang, karena ABRI makin kompak dalam masalah personalia atau
perekrutan taruna misalnya, faktor kedaerahan tak jadi bahan
pertimbangan.
Maka mereka yang realis tak akan menggunakan kedaerahan itu
sebagai dasar gerakan politik. Sebab hal-hal yang primordial
kedaerahan sudah digantikan oleh hal-hal dalam Ikatan agama
misalnya -- yang lebih riil dalam politik Indonesia sekarang.
Kedaerahan sekarang ini muncul dalam bentuk negatif. Kalau kita
tak suka pada seseorang. dan kebetulan ia orang Jawa misalnya.
tidak ditentukan oleh kenyataan bahwa kita tidak senang karena
"Jawa"-nya. Lebih dulu rasa "tidak senang" kita, baru kemudian
"Jawa"-nya. Tapi kita belum mempelajari dengan baik bagaimana
sebenarnya sikap kelompok etnis yang satu terhadap etnis yang
lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo