Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

23 Tahun Reformasi: Jalan Panjang Menuntaskan Kasus Korupsi Era Soeharto

Howard Dick dan Jeremy Mulholland mengatakan korupsi rezim Soeharto identik dengan praktek koncoisme.

22 Mei 2021 | 07.36 WIB

Mantan Presiden Soeharto memberikan keterangan pers di depan wartawan dan fotografer setelah diperiksa di Kejaksaan Tinggi (Kajati), Jakarta, 1998.  [TEMPO/ Rully Kesuma; 25d/364/98; 981223].
Perbesar
Mantan Presiden Soeharto memberikan keterangan pers di depan wartawan dan fotografer setelah diperiksa di Kejaksaan Tinggi (Kajati), Jakarta, 1998. [TEMPO/ Rully Kesuma; 25d/364/98; 981223].

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Peringatan 23 tahun Reformasi jatuh pada 21 Mei 2021. Tanggal itu menandai lengsernya Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Diawali krisis moneter dan demonstrasi besar-besaran, salah satu tuntutan reformasi adalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Howard Dick dan Jeremy Mulholland dalam kolomnya di Tempo pada 15 Mei 2018 mengatakan korupsi rezim Soeharto identik dengan praktek koncoisme. Koncoisme didefinisikan sebagai persekongkolan korupsi politik penguasa bersama dengan keluarga dan kroni-kroninya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Mereka dianakemaskan lewat pemberian hak monopoli dan kontrak pengadaan barang serta jasa pemerintah,” tulis Howard Dick.

Salah satu praktek koncoisme yang paling diingat adalah proyek mobil nasional. Kala itu, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 yang menginstruksikan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman modal agar secepatnya mewujudkan industri mobil nasional.

Bersamaan dengan dikeluarkannya Inpres itu, ditunjuklah PT Timor Putra Nasional (TPN) sebagai pionir mobil nasional. TPN adalah perusahaan milik Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Dengan ditunjuknya TPN sebagai pionir mobil nasional, perusahaan itu dibebaskan dari bea masuk dan pajak lainnya.

Maraknya praktek korupsi yang dilakukan Soeharto dengan koncoismenya membuat amanat reformasi tak cuma memberantas kasus korupsi secara menyeluruh, tetapi juga spesifik menyasar ke Soeharto, keluarganya dan kroninya.

Tuntutan itu kemudian dengan jelas tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 4 Tap MPR tersebut memerintahkan negara untuk melakukan penegakan terhadap terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta atau konglomerat, termasuk mantan presiden Soeharto.

Dua puluh tiga tahun sudah Soeharto lengser, namun upaya penegakan hukum terhadap Soeharto masih belum tuntas. Berikut ini adalah beberapa kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh Soeharto dan menyeret nama Keluarga Cendana.

Korupsi 7 Yayasan

Beberapa bulan setelah lengser, Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana tujuh yayasan yang dikelola oleh Soeharto pada 1998. Ketujuh yayasan itu adalah Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.

Lembaga tersebut mengelola dana dari negara, seperti Yayasan Supersemar. Melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978, Soeharto memerintahkan 5 persen dari 50 persen laba bersih bank milik negara disetor ke yayasan tersebut untuk dana pendidikan. Namun, dana tersebut diduga diselewengkan untuk membiayai perusahaan-perusahaan yang masih terhubung dengan Soeharto. Hasil penelusuran Kejaksaan Agung menemukan bahwa kekayaan yayasan tersebut bernilai Rp 4,4 triliun.

Soeharto saat itu membantah tudingan tersebut. Muncul di televisi, Soeharto berkata, "Saya tidak punya uang satu sen pun di luar negeri." Pemerintah sempat menyatakan bahwa tuduhan korupsi Soeharto tidak terbukti, lalu menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan pada Oktober 1999. Baru setelah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden kasus ini kembali dibuka.

Kejaksaan resmi menetapkan Soeharto menjadi tersangka penyalahgunaan dana yayasan pada 31 Maret 2000. Pada 13 April 2000, Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota. Pada Agustus 2000, perkara ini masuk ke persidangan. Upaya menghadirkan Soeharto ke sidang selalu gagal dengan alasan sakit. Majelis Hakim akhirnya menetapkan penuntutan perkara pidana Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan.

Gagal memidanakan Soeharto, Kejaksaan Agung mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk mengambil duit negara yang ada di yayasan tersebut. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan itu pada 27 Maret 2008.

Pengadilan mewajibkan Soeharto membayar ganti rugi kepada negara sebanyak Rp 46 miliar. Karena Soeharto sudah wafat, tanggung jawab pembayaran dialihkan kepada keturunannya atau yang kerap dikenal sebagai Keluarga Cendana. Vonis itu diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mewajibkan keluarga Soeharto membayar Rp 185 miliar dengan kurs terbaru. Namun, putusan itu salah ketik dan hanya tertulis Rp 185 juta. Kesalahan ketik membuat putusan tak dapat dieksekusi.

Barulah pada Juli 2015, Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan Kejaksaan. Yayasan Supersemar diwajibkan mengganti duit negara sebanyak Rp 4,4 triliun.

Cerita belum berakhir dengan putusan tersebut. Yayasan Supersemar berupaya melawan dengan mengajukan perlawanan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2016. PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan itu dengan menyatakan bahwa yayasan telah menyalurkan dana kepada yang berhak. Namun, MA menganulir keputusan tersebut pada Oktober 2018.

Bermodal putusan ini, Kejaksaan Agung mulai menyita duit dari yayasan. Pada akhir 2018, Kejaksaan melakukan penyitaan terhadap rekening yayasan yang berisi Rp 241,8 miliar. Kejaksaan juga menyita dua aset milik yayasan, yaitu Gedung Granadi dan Vila di Megamendung.

Mengenai penyitaan ini, kuasa hukum Keluarga Cendana, Erwin Kallo, angkat bicara. Ia mengatakan pemilik gedung itu bukan Keluarga Cendana saja. "Yang perlu diketahui Gedung Granadi itu bukan milik Yayasan Supersemar. Seharusnya dia (PN Jakarta Selatan) cari tahu gedung itu pemiliknya berapa orang dan siapa saja," ujar Erwin saat dihubungi, Senin, 19 November 2018.

Korupsi Bulog

Kasus korupsi PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Badan Urusan Logistik (Bulog) melibatkan anak bungsu Soeharto, yait Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Kasus ini terkait dengan tukar guling tanah gudang beras milik Bulog di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, ke PT GBS.

Kasus bermula tahun 1994 dan melibatkan nama Beddu Amang yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bulog, serta pebisnis Ricardo Gelael. Meski terjadi pada 1994, Tommy, Beddu dan Ricardo Galael ditetapkan menjadi terdakwa setelah Seoharto lengser yaitu pada 19 Februari 2019. Mereka diduga merugikan negara hingga Rp 95,6 miliar.

Bersama Ricardo, Tommy bebas dari segala dakwaan. Majelis Hakim PN Jakarta Selatan memvonis bebas dia dengan alasan tak menemukan bukti kuat. Atas keputusan Majelis Hakim PN Jaksel tersebut, Jaksa Penuntut Umum saat itu, Fachmi, mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada November 1999. Hampir setahun kemudian, pada 22 September 2000, Majelis Hakim Mahkamah Agung yang diketuai oleh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita memvonis Tommy bersalah atas kasus korupsi PT GBS dan Bulog.

Dalam vonis tersebut, Tommy wajib membayar ganti rugi sebesar Rp 30 miliar, denda Rp 10 juta, dan hukuman kurungan 18 bulan penjara. Tak terima divonis bersalah, Tommy mengajukan grasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid pada 31 Oktober 2000. Gus Dur menolak grasi itu dua hari kemudian melalui Keputusan Presiden Nomor 176/G/2000.

Penolakan grasi Tommy oleh Gus Dur sesungguhnya menandakan Tommy tak lagi bisa berkutik dari jerat hukum. Tapi Tommy belum mau menyerah. Sehari sesudah grasinya ditolak, 3 November 2000, Tommy kabur dengan memalsukan identitas. Polri resmi mengalungkan status tersangka kepada Tommy pada 10 November 2000.

Pada 26 Juli 2001, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita tewas ditembak. Sekitar dua minggu kemudian, 7 Agustus 2001, polisi menangkap Mulawarman dan Noval Hadad dan menetapkan mereka sebagai tersangka. Keduanya mengaku membunuh Syaifuddin atas perintah Tommy Soeharto.

Setelah hampir dua bulan, 28 November 2001, polisi menangkap Tommy di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ia didakwa membunuh Syafiuddin. Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat memvonis Tommy 10 tahun penjara pada Juli 2002.

Tommy yang mestinya baru bebas pada 2010, bisa menghirup udara segar lebih awal, pada 1 November 2006, karena sejumlah pemotongan masa tahanan atasnya.

Pembelian Tank Scorpion

 

Harian The Guardian, Inggris, pada 9 Desember 2004, menerbitkan artikel mengenai dugaan pemberian komisi jutaan Poundsterling dalam pembelian tank Scorpion oleh Indonesia pada pertengahan 1990. Guardian menulis berita itu berdasarkan dokumen mengenai dugaan pemberian suap oleh perusahaan senjata Inggris, Alvis Vehicle Limited kepada putri tertua Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut.

Guardian menulis, pimpinan Alvis ketika itu, Nick Prest menjelaskan dalam dokumen bahwa untuk membeli peralatan militer harus dilakukan oleh anggota keluarga ABRI. Kemudian, untuk eksekusi pembeliannya, juga harus melibatkan perusahaan yang dimiliki angkatan bersenjata Indonesia. Untuk mencairkan 160 juta Poundsterling dari anggaran Indonesia, Alvis mesti memberikan komisi sebanyak 10 persen yaitu 16,5 juta Pundsterling. Guardian menyebut di pengadilan terungkap bahwa uang itu diberikan kepada Tutut melalui rekeningnya di luar negeri. "Madam Tutut," demikian eksekutif Alvis, Nick Prest memanggilnya.

Saat kasus ini mencuat, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan akan menyelidikinya. Namun, Ketua KPK saat itu Taufiqurrahman Ruki menyatakan kesulitan menemukan data primer mengenai pembelian tank tersebut. DPR juga sempat mewacanakan untuk mengajukan pembentukan hak angket kala itu.

Adapun Tutut membantah dirinya memiliki peran dalam pembelian tank itu. "Tidak benar," kata dia didepan anggota Komisi Pertahanan DPR, Senin, 21 Maret 2005. Dari 13 pertanyaan tertulis yang disampaikan Dewan hampir seluruhnya dijawab tidak mengetahui atau tidak benar. Selain Tutut, DPR saat itu juga memanggil mantan KSAD Jenderal Purnawirawan Wismoyo dan Jenderal Purnawirawan Hartono. Ikut dipanggil Widhorini S Soekardono (pemilik PT Surya Kepanjen) yang berperan sebagai agen atau perwakilan PT Alvis Vehicle Limited (AVL).

"Saya tidak pernah ditunjuk sebagai perantara apa-apa dan tidak berperan apa-apa sampai sekarang," kata Tutut.

SEA Games XIX 1997

Kasus menyangkut penyelenggaraan SEA Games XIX Tahun 1997 melibatkan putra Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo. Kasus ini disebut bukan kasus korupsi. Kasus utang-piutang ini bermula dari kekurangan dana untuk acara SEA Games pada September 1997 atau sebulan sebelum acara berlangsung pada 11-19 Oktober 1997. Jumlah kekurangan dana mencapai Rp 45 miliar.

Untuk menutupi kekurangan dana itu, pemerintah Soeharto memutuskan membantu konsorsium swasta yang ditunjuk menjadi mitra penyelenggara SEA Games. Konsorsium swasta itu diketuai oleh Bambang Tri. Mereka bertugas untuk menyediakan dana penyelenggaraan SEA Games. Dalam perjalanannya, Konsorsium mengalami kekurangan dana dan negara memberikan pinjaman. "Yang pada akhirnya menjadi utang konsorsium kepada negara dan dilimpahkan ke Kemenkeu,” kata Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Setya Utama pada 18 September 2020.

Sejumlah upaya kemudian dilakukan untuk menyelesaikan piutang negara ini. Salah satunya melalui serangkaian rapat-rapat koordinasi yang dihadiri oleh perwakilan dari Setneg, Sekretariat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu, Sekretariat Presiden, dan Konsorsium SEA Games XIX. Sehingga dalam rapat tersebut, disepakati bahwa permasalahan penyelesaian piutang ini akan dilimpahkan kepada Kemenkeu. Terutama, terkait penyerahan pengurusan piutang negara dan teknis pelaksanaannya.

”Kini penanganan permasalahan penyelesaian piutang negara tersebut sedang berproses di Kementerian Keuangan sampai dengan piutang tersebut dinyatakan lunas/selesai sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku,” kata Setya dalam laman resmi Setneg.

Selama proses penyelesaian itu, Kemenkeu mencegah Bambang ke luar negeri. Pencegahan inilah yang kemudian mencuatkan kembali kasus ini ke permukaan pada 2020. Pencekalan atau pencegahan dilakukan dua kali, yang dimulai pada Desember 2019. Sementara pencegahan kedua dilakukan pada 27 Mei 2020.

Pencegahan kedua ditetapkan oleh Sri Mulyani lewat Keputusan Menkeu Nomor 108/KM.6/2020 pada 27 Mei 2020. Surat keputusan inilah yang kemudian digugat oleh Bambang ke PTUN Jakarta pada 15 September 2020. Dalam gugatannya, Bambang Tri meminta PTUN membatalkan keputusan itu. Bambang Tri juga meminta PTUN memerintahkan Sri Mulyani mencabut keputusannya.

Dalam proses gugatan ini, mantan komisioner KPK Busyro Muqoddas menjadi pengacara Bambang Tri. Beberapa hari setelah perkara masuk pengadilan, Busyro menyampaikan kasus yang menjerat kliennya bersifat administrasi. Dia menilai terjadi salah paham mengenai pembiayaan SEA Games XIX di era Orde Baru.

“Misunderstanding pembiayaan SEA Games di era Orde Baru dulu,” kata Busyro, Sabtu, 26 September 2020. Karena ini bukan kasus korupsi pula, Busyro bersedia menjadi pengacara Bambang Tri kala itu. Gugatan putra Soeharto itu pun ditolak PTUN. Kemenkeu menyatakan akan terus melakukan penagihan melalui mekanisme Panitia Urusan Piutang Negara.

ARSIP TEMPO | FAJAR PEBRIANTO

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus