Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Setara Institute Hendardi mengatakan akar penyerangan di Tolikara adalah ketidakadilan dan diskriminasi berkelanjutan. Apalagi hampir semua temuan dan pernyataan orang Papua menyangkal penyerangan tersebut. "Artinya, ada kekuatan lain yang menghendaki kekerasan itu terjadi," ucap Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 25 Juli 2015.
Salah satu langkah jangka pendek yang harus dilakukan, menurut dia, adalah mengungkap motivasi penembakan terhadap 12 warga Papua. "Dan menghukum aparat yang menggunakan senjata secara tidak bertanggung jawab."
Menurut dia, pernyataan Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti yang mengatakan penembakan dilakukan untuk melindungi hak beribadah umat Islam tak beralasan. Sebab, hal itu nyatanya tak pernah mereka lakukan di tempat serupa, apalagi dengan senjata.
Dia mencontohkan sikap polisi yang hanya terdiam saat jemaat GKI Yasmin gagal beribadah. "Juga saat jemaat Ahmadiyah Cikeusik dibantai. Dan banyak lagi kelalaian polisi dalam kasus pelanggaran kebebasan beragama."
Adapun dalam jangka panjang, dia meminta Presiden Joko Widodo memprakarsai penyusunan desain kebijakan penghapusan diskriminasi dan kekerasan di Papua. Jokowi juga harus mengadili pelaku pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Bentrokan berdarah terjadi Jumat pekan lalu di Karubaga, salah satu distrik di Kabupaten Tolikara, Papua, tepat saat perayaan Idul Fitri. Protes dari ratusan anggota jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) terhadap penyelenggaraan salat id di lapangan Markas Komando Rayon Militer 1702-11 berakhir ricuh.
Massa mengamuk setelah polisi melepaskan tembakan. Mereka lalu membakar kios, yang kemudian merembet hingga menghanguskan puluhan rumah toko dan sebuah musala di sekitar lapangan. Akibat kerusuhan ini, satu orang tewas dan belasan lain luka-luka terkena peluru.
FAIZ NASHRILLAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini