Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

KPAI Soroti Minimnya Pemahaman Pembina Barak Militer soal Prinsip Perlindungan Anak

KPAI menyebut kurangnya pemahaman pembina terhadap prinsip-prinsip perlindungan anak berpotensi membuka ruang pelanggaran hak anak.

16 Mei 2025 | 11.26 WIB

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi setelah menggelar pertemuan dengan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai membahas kebijakan pendidikan karakter bagi siswa bermasalah ke barak militer di Kantor Kementerian Hak Asasi Manusia, Jakarta, 8 Mei 2025. Antara/Indrianto Eko Suwarso
Perbesar
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi setelah menggelar pertemuan dengan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai membahas kebijakan pendidikan karakter bagi siswa bermasalah ke barak militer di Kantor Kementerian Hak Asasi Manusia, Jakarta, 8 Mei 2025. Antara/Indrianto Eko Suwarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan tidak semua pembina dalam program pendidikan militer ala Gubernur Dedi Mulyadi memahami prinsip dasar perlindungan anak (child safeguarding). Hal itu dinilai sebagai salah satu celah serius dalam pelaksanaan program pendidikan berbasis barak militer yang ditujukan bagi siswa nakal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tidak semua pembina memahami protokol child safeguarding,” kata Wakil Ketua KPAI Jasra Putra dalam konferensi pers secara daring pada Jumat, 16 Mei 2025.

Temuan ini merupakan bagian dari hasil pengawasan langsung KPAI terhadap pelaksanaan program di dua lokasi utama, yakni Barak Militer Resimen 1 Sthira Yudha di Purwakarta dan Depo Pendidikan Bela Negara Rindam III Siliwangi di Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Menurut Jasra, kurangnya pemahaman pembina terhadap prinsip-prinsip perlindungan anak berpotensi membuka ruang pelanggaran hak anak. Padahal, program yang menyasar siswa usia SMP hingga SMA ini semestinya dilandasi dengan prinsip-prinsip perlindungan khusus, sesuai amanat Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021.

KPAI juga mencatat program tersebut belum memiliki standar operasional yang baku dan belum didukung kehadiran tenaga medis maupun ahli gizi secara tetap, khususnya di lokasi pendidikan bela negara di Bandung. Kondisi ini semakin memperkuat kekhawatiran akan keselamatan dan kesejahteraan peserta didik selama mengikuti program.

“Ketiadaan protokol child safeguarding yang dipahami oleh seluruh pembina sangat berisiko terhadap perlakuan yang melanggar hak anak, terlebih dalam lingkungan pendidikan yang bersifat semi-militer,” ujar Jasra.

Selain itu, KPAI menyoroti ketimpangan sumber daya manusia seperti psikolog profesional, pekerja sosial, dan guru bimbingan konseling. Akibatnya, layanan konseling bagi peserta program tidak berjalan secara maksimal.

KPAI menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan program dan mendorong keterlibatan lebih kuat dari organisasi perangkat daerah tingkat provinsi dalam memastikan kualitas dan perlindungan terhadap anak selama program berlangsung.

 

Dinda Shabrina

Lulusan Program Studi Jurnalistik Universitas Esa Unggul Jakarta. Mengawali karier jurnalistik di Tempo sejak pertengahan 2024.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus