Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERIBU orang Indonesia, mulai pekan ini, akan ikut dalam satu babak sejarah. Tampaknya babak yang lancar, malah tanpa suspens. Mereka itulah anggota DPR dan MPR, lembaga yang akan ikut menentukan corak politik Indonesia 1988.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan pertama boleh dilihat di Hotel Indonesia, Jakarta. Bali Room, ruangan pertemuan besar hotel itu, berubah wajah. Tak lagi tempat pengantin. Sejak hari Minggu lalu, ruangan itu penuh dengan baju safari atau batik. Hampir semua anggota kabinet, pimpinan ABRI, para gubernur dan pejabat tinggi pemerintah lainnya hadir di situ.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan cuma itu. Di antara sekitar 800 orang itu, juga tampak banyak tokoh terkenal. Ada calon antariksawati Dr. Pratiwi Soedarmono, pengusaha Anthony Salim putra Liem Sioe Liong -- dan juru hibur Eddy Sud. Mereka di sana untuk pekan orientasi anggota DPR/MPR dari Golkar dan ABRI, ditambah utusan Daerah dan Golongan, yang berlangsung pagi sampai malam.
Tampak pula lima pasangan gubernur (yang istrinya juga menjadi anggota MPR), antara lain Soeprapto-Soeprapti (Jakarta), Masjchun Sofwan-Juniwati (Jambi), dan Ben Mboi-Nafsiah (NTT). Ada juga pasangan orang tua dan anak. Misalnya Mensos Ny. Nani Sudarsono dengan anaknya, Danny Sudarsono. Juga Gubernur-Sum-Ut Kaharuddin Nasution dengan anaknya Dwie Riawenny Nasution.
Yang tak kalah menarik sejumlah cendekiawan, yang diangkat jadi Utusan Golongan. Terutama karena orang ingin tahu fraksi apa yang akan mereka pilih dalam MPR. Hampir semuanya, termasuk Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid, masuk Fraksi Karya Pembangunan (FKP). Ketentuannya, calon anggota wajib memilih FKP, PPP, atau PDI. Pekan orientasi ini persiapan terakhir sebelum mereka dilantik menjadi anggota DPR/MPR untuk periode 1987-1992 pada 1 Oktober ini.
Sejumlah pejabat tinggi, Pangab Jenderal L.B. Moerdani, Ketua Umum Golkar Sudharmono dan Ketua Dewan Pembina Golkar M. Panggabean memberikan pengarahan pada forum itu. Di dua tempat lain, ada juga acara yang mirip. PPP di Hotel Sahid Jaya, dan PDI di Hotel Kartika Chandra. Hanya, acara di kedua hotel ini "sunyi". Cuma 92 orang yang mewakili PPP di MPR, dibanding 123 pada periode sebelumnya.
PDI agak lumayan: 60 orang. Lima tahun silam wakil partai ini di MPR cuma 32. Namun, ada hal yang sama di tiga tempat itu: banyak wajah baru. Di Golkar, 40% anggotanya di DPR terdiri dari muka baru. Yang menarik, sejumlah wakil Golkar di DPR/MPR adalah putra-putri tokoh ABRI, yang kini tampil mewakili FKPPI. Antara lain Harris Ali Moerfi (putra Almarhum Ali Moertopo), Djoko Moersito Hoemardhani (putera Almarhum Soedjono Hoemardhani), juga Bambang Permadi Amirmachmud (putra Amirmachmud). Di PPP, regenerasi juga ada.
Putra Ketua Umum DPP PPP Jailani Naro, H.M. Hussein Naro, terpilih sebagai anggota DPR mewakili Jawa Barat. Di PDI wajah baru lebih banyak lagi. Di sini, uniknya, orang dilarang jadi anggota DPR lebih dari dua periode.
PDI kini juga punya generasi kedua Bung Karno: Megawati, yang bersama suaminya, Taufik Kiemas, terpilih jadi anggota DPR. Fraksi ABRI di DPR juga berubah. Dulu lebih dari 40% anggotanya purnawirawan, kini hampir 80% (79 orang) perwira aktif. "Kami ingin mendinamiskan lembaga legislatif itu, sambil memberikan latihan bagi para perwira muda untuk terjun ke gelanggang politik," kata sebuah sumber.
Yang paling serius bersiap memang FABRI. Semua calon anggota ditatar selama dua bulan di Bandung, dalam 5 gelombang. Senin pekan lalu mereka juga diwajibkan mengikuti penataran di Cisarua, Bogor. Semua petunjuk itu mengarah pada satu hal: semua tampak ingin membikin lembaga perwakilan yang lebih sesuai dengan masa datang.
Bagaimanapun disadari, periode lima tahun mendatang itu penting. Indonesia akan memasuki Repelita V, ujung dari pembangunan jangka 25 tahun, yang sering disebut sebagai peletakan landasan buat take-off. Tapi semua kalangan tampak optimistis. Pancasila sudah dipakai sebagai asas tunggal, dan ini berarti yang selama ini terletup sebagai pertentangan ideologis akan tak ada lagi. Tak berarti masalah yang dihadapi akan lebih enteng.
Diperkirakan masalah sosial ekonomi akan lebih menonjol, misalnya soal tanah, mungkin karena bertambahnya penduduk. Tuntutan masyarakat juga meningkat. Seperti dikatakan oleh seorang tokoh Golkar, generasi baru (mayoritas masyarakat nanti) lahir dimasa Orde Baru, dan tak punya perbandingan dengan buruknya keadaan masa sebelumnya. Maka, soalnya, bagaimana lembaga perwakilan rakyat itu akan bisa tanggap, dengan cepat tapi tenang.
Untuk itu, FABRI dan F-KP punya jawab: pola pembangunan yang ada harus dirampungkan tanpa perubahan. "Tekad perjuangan kita adalah menghasilkan GBHN yang sesuai dengan rencana yang sudah digariskan selama ini," ujar sebuah sumber.
Kabarnya, kedua fraksi ini telah bertekad untuk mengamankan sikap tersebut. Caranya? "Ya, dengan mencalonkan kembali Pak Harto sebagai pimpinan nasional." Soal pencalonan presiden -- akan dilakukan dalam Sidang Umum MPR Maret mendatang -- tampaknya sudah lurus.
Semua sudah menyatakan akan memilih kembali Pak Harto. Yang jadi pertanyaan: siapa calon wapres? Dalam konperensi pers Senin lalu, Wakil Sekjen DPP Golkar Jacob Tobing menjawab, "Kalau itu harus melalui prosedur pemilihan presiden dulu, baru dibicarakan."
Guna melancarkan semua itu, peranan pimpinan DPR/MPR akan sangat penting. Yang paling santer disebut bakal menjabat Ketua DPR/MPR adalah Kharis Suhud, yang kini menduduki kursi Wakil Ketua. Sedang para calon wakil ketua adalah R. Soekardi (F-KP), Mayjen Saiful Sulun (F-ABRI), J. Naro (FPP), dan Soerjadi (FPDI).
Pimpinan DPR/MPR ini akan dipilih 2 Oktober ini. Sejumlah nama juga disebut-sebut akan menduduki jabatan pimpinan fraksi. Yang menarik, dalam periode ini Golkar akan membagi pimpinan fraksinya di DPR dan MPR. Jabatan Ketua F-KP di MPR konon akan dipegang Sugandhi dengan tiga wakil, Sarwono Kusumaatmadja, Subarkah, dan Said Machmud. Ketua F-KP di DPR kabarnya akan dijabat Mayjen (Pur.) Soeharto dengan sekretaris Rachmat Witular.
Nah, jalan ke Sidang Umum MPR tampaknya akan lurus. 'Kan 1.000 anggota tak berarti 1.000 lakon?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini ditulis oleh Susanto Pudjomartono dari Jakarta. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Seribu Wajah, Menuju Politik 1988"