Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Larangan penayangan eksklusif jurnalisme investigasi dalam draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran atau RUU Penyiaran menuai kritik karena dinilai berpotensi mengancam kebebasan pers. Larangan tersebut tercantum dalam Pasal 50 B Ayat 2 huruf c draf RUU yang sedang digodok di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin mengaku tidak setuju dengan adanya pembatasan dalam RUU Penyiaran, khususnya perihal penayangan liputan investigasi di televisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya sendiri setuju tidak usah ada pembatasan. Biarkanlah masyarakat yang mengontrol, tetapi tentu kami harus mendengar baik positif dan negatifnya," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 14 Mei 2024.
Namun dia mengatakan penayangan liputan investigasi rentan beririsan dengan materi penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Dia pun menyarankan agar dilakukan penyeimbang dengan memberikan kontrol kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Dia memastikan akan menampung berbagai saran dan masukan dari semua pihak untuk pembahasan RUU Penyiaran antara Komisi I dan Baleg DPR RI.
"Tentu dalam kebebasan itu juga ada kehati-hatian untuk kepentingan masyarakat," ujarnya.
Selain larangan penayangan eksklusif jurnalisme investigasi, RUU Penyiaran juga berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik antara KPI dan Dewan Pers. Hal itu tercantum dalam Pasal 25 ayat q yakni menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran dan Pasal 127 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa perihal kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan undang-undang.
"Kalau KPI itu khusus untuk penyiaran, tapi kalau produk jurnalis yang umumnya, tulisan itu ke Dewan Pers. Saya kira dikoordinasikan saja arah tugas KPI dengan tugas Dewan Pers," kata dia.
Anggota DPR Sebut yang Dilarang Penyiaran Eksklusif Gosip
Adapun Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengatakan revisi UU Penyiaran bukan mengatur larangan jurnalisme investigasi yang berfokus pada pendalaman suatu kriminal tertentu, seperti mengungkap bisnis makanan tidak sehat, judi online, atau sindikat narkotika. Namun, kata dia, revisi itu untuk mengatur penggunaan frekuensi publik untuk menyiarkan gosip secara eksklusif.
“Yang dimaksud (pelarangan konten siaran) itu adalah penggunaan frekuensi publik untuk penyiaran gosip dengan hak eksklusif. Misalnya, ada artis nikah terus disiarkan berhari-hari secara eksklusif menggunakan frekuensi publik. Itu yang diatur,” ujar Sukamta melalui keterangan resmi DPR RI pada Selasa, 12 Mei 2024.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera atau PKS itu menegaskan larangan terhadap jurnalisme investigasi tidak tepat dan akan ditentang jika terjadi.
“Kalau yang dimaksud adalah larangan terhadap jurnalisme untuk melakukan investigasi, saya kira itu tidak pas, dan kalau itu terjadi, ya nanti kami akan menentang itu ya,” ujar dia.
Sukamta juga menjelaskan mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan terhadap suatu pemberitaan yang dilayangkan salah satu pihak. Menurut dia, selama ini penyelesaian perselisihan antara media penyiaran dan seseorang atau satu pihak dilakukan melalui dua cara, yakni hak jawab dan pengadilan. Namun dia mengusulkan adanya mekanisme mediasi antara hak jawab dan pengadilan untuk mengurangi benturan keras antara dua pihak.
“Nah siapa yang diberi kewenangan mediasi? Karena ini babnya adalah soal penyiaran, kami berpikir KPI yang paling pas untuk diberikan kewenangan sebagai mediator di situ,” ujar Sukamta.
Dia menambahkan, dengan mekanisme seperti itu, kewenangan Dewan Pers tidak akan terganggu karena fungsi KPI hanya terkait dengan penyiaran. Sukamta menilai perlu ada diskusi Dewan Pers dengan Komisi I agar ada solusi untuk kasus penyiaran.
Dalam draf RUU Penyiaran yang dilansir melalui laman DPR RI per Maret 2024, terdapat Pasal 50B Ayat 2 yang mencantumkan berbagai larangan, termasuk huruf c yang berbunyi: Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
ADINDA JASMINE PRASETYO | ANTARA