Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Anyaman Bambu Ingin Ekspor Langsung

Melalui pedagang di Bali, produk anyaman bambu Desa Gintangan, Banyuwangi, menembus pasar Eropa dan Amerika Serikat. Berharap ekspor dengan merek sendiri.

19 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan pisau, Santoso menyerut kerangka bambu yang telah dibentuk menjadi tudung wadah kue. Kerangka harus lebih tipis agar bisa menutup wadah dengan sempurna. Dalam sepuluh menit, jadilah wadah kue berbentuk bulat dari anyaman bambu berdiameter 60 sentimeter dengan motif hiasan bunga merah. Rupa-rupa warna wadah kue bikinan Santoso. Kuning, merah muda, biru, hijau, serta jingga. Hampir sepekan ini Santoso menyelesaikan sekitar 30 wadah kue untuk Hamid Jaya Handicraft di Desa Gintangan, Kabupaten Banyuwangi. "Sehari menyelesaikan lima buah," kata lelaki 30 tahun itu, bulan lalu.

Dua teman Santoso, Murdiono dan Sugeng Wahyudi, tak kalah tekunnya. Murdiono, 47 tahun, perajin tertua di Hamid Jaya, membuat wadah buah berbentuk bundar dengan hiasan anyaman bunga mekar. Sedangkan Sugeng, 25 tahun, memotong anyaman untuk kotak tisu.

Pada hari itu mereka harus merampungkan 100 bentuk kerajinan pesanan dari Papua. Mereka membentuk rangka dan memproses hasil akhir menurut pesanan. Sedangkan anyaman bambu berbagai motif dikerjakan oleh hampir semua perempuan di desa itu.

Sekitar 75 persen dari 6.700 penduduk Desa Gintangan, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, bisa menganyam. Keterampilan itu didapat dari nenek moyang mereka. Jumlah produknya ratusan jenis, dari peralatan dapur hingga hiasan dinding. Produk anyaman itu dipasarkan ke Bali, Surabaya, Medan, dan Papua. Sebagian lainnya diekspor ke Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.

Santoso bercerita awalnya dia belajar menganyam dari orang tuanya. Ketika masih SMA, dia ikut-ikutan menganyam di Sanggar Bambu Karya Jaya, sanggar bambu pertama di desa itu, yang didirikan oleh Rawuh, ayah Hamid, pemilik Hamid Jaya, pada 1970-an. Setelah belajar sepuluh tahun, ia mengandalkan kerajinan bambu sebagai mata pencarian utama.

Ayah seorang anak itu mendapat upah Rp 12-20 ribu untuk setiap bentuk anyaman, tergantung besar-kecilnya. Dalam sehari, Santoso rata-rata bisa menghasilkan lima bentuk anyaman. Di antaranya wadah kue itu. Setiap bulan dia bisa mengantongi hingga Rp 1,5 juta. "Cukup untuk kebutuhan sehari-hari."

Membuat peralatan dapur juga dikerjakan oleh Elok Jumatin, 60 tahun. Di beranda rumahnya, Elok membuat wadah pencuci beras dan sayuran. Satu wadah dijualnya ke pengepul Rp 10-15 ribu. "Sehari bikin dua wadah," kata ibu dua anak itu.

Selain membuat peralatan rumah tangga, perajin membuat anyaman lembaran. Yati, istri Santoso, menggarap anyaman bambu berukuran 60 x 60 sentimeter. Dalam sehari, perempuan 26 tahun itu bisa membuat enam lembar anyaman. Anyaman itu dibeli pengepul Rp 4.000 per lembar. "Uangnya buat bantu-bantu suami," kata Yati.

Pengepul menjual lembaran anyaman dan peralatan dapur itu ke lima sanggar bambu yang berdiri di Gintangan sejak 1990-an. Di sanggar itulah anyaman lembaran dibentuk menjadi berbagai produk sesuai dengan pesanan.

Pemilik sanggar Hamid Jaya Handicraft, Abdul Hamid, 41 tahun, bercerita awalnya warga setempat menganyam bambu secara tradisional untuk peralatan dapur, seperti kukusan nasi, tempat mencuci beras, dan tenong atau wadah kue. Produknya tanpa pewarna. Motifnya seragam, yakni liris, model anyaman rapat dengan serutan bambu selebar 0,5 sentimeter. "Produk seperti ini hanya laku di pasar lokal," kata Hamid.

Sanggar bambu Karya Jaya menampung kerajinan dari warga dengan pasar yang lebih luas di Banyuwangi dan sekitarnya. Setelah Rawuh meninggal pada 1999, dua dari tiga anaknya meneruskan usaha kerajinan itu. Hamid, anak bungsu Rawuh, berhasil mengembangkan kerajinan bambu di bawah bendera Hamid Jaya Handicraft dan menjadi yang terbesar di desa itu.

Hamid membuat produk dari anyaman bambu lebih variatif. Ada 50 lebih produk yang diciptakannya, antara lain stoples, tempat buah, wadah tisu, tempat koran, kap lampu, wadah perhiasan, keranjang parsel, dan tempat minuman. Ada pula hias­an dinding, seperti kipas raksasa yang ditempel di tembok. Peminat bisa memesan menurut kebutuhan. "Terserah pembeli ingin produk seperti apa," kata Hamid.

Motif anyaman juga berkembang menjadi sekitar sepuluh macam. Anyaman liris yang biasanya dipakai untuk peralatan dapur tetap diadopsi sebagai alas karena lebih kuat. Sedangkan motif bunga digunakan sebagai aksesori. Supaya lebih menarik, anyaman bunga diberi pewarna. Di sanggarnya, Hamid mempekerjakan empat pria yang bertugas membentuk rangka dan mengkombinasinya dengan anyaman bermotif.

Selain memasarkan ke kota lain, Hamid menjual kerajinan di gerai pamer di depan rumahnya. "Kalau hari libur, omzet gerai pamer ini bisa sampai Rp 2 juta," katanya.

Harga produk Hamid Jaya beragam, tergantung besar-kecilnya barang dan kerumitan motif anyaman. Yang termurah kipas kecil Rp 7.500. Tempat buah dan satu set stoples beserta wadahnya dijual Rp 75-85 ribu. Kap lampu gantung berbentuk kelopak bunga dibanderol Rp 85 ribu. Yang paling mahal kipas besar sepanjang 1 meter seharga Rp 250-300 ribu. Stoples, wadah kue, dan kap lampu paling laris.

Pada Juli hingga Desember, Hamid Jaya kebanjiran pesanan karena bersamaan dengan liburan, Lebaran, dan banyak acara pernikahan. Hamid Jaya menghasilkan 1.000-1.500 bentuk barang tiap bulan. Omzetnya Rp 25-30 juta per bulan. Melalui salah satu perusahaan di Bali, hampir 500 produk bambu diekspor ke Belgia.

Hamid menghidupkan bisnisnya dengan menawarkan produk dan motif baru. Ide didapatnya dengan kerap mengunjungi sentra anyaman bambu, seperti Bandung dan Yogyakarta. Ide membuat kipas besar, misalnya, berasal dari kipas serupa yang pernah dilihatnya di Bandung. Sepulang dari sana, Hamid mengembangkannya sehingga terciptalah kipas dengan variasi tiga motif anyaman. "Yang rumit biasanya saya kerjakan sendiri."

Bukan hanya produk Hamid yang laris. Sanggar bambu lain, Widya Handicraft, juga mengirim produknya ke Surabaya, Jember, dan Bali. Sanggar yang berdiri pada 1991 ini pernah mengirim barang ke Jepang dan Amerika Serikat melalui perusahaannya di Pandaan, Pasuruan. Omzetnya sekitar Rp 15 juta per bulan.

Pemilik Widya Handicraft, Bayu Willy Pratama, 29 tahun, mengatakan bahan baku produknya harus bambu apus (Gigantolochloa apus), yang banyak tumbuh di hutan. Bambu apus unggul karena batangnya lebih besar dan ruasnya lebih panjang. Setiap hari Widya Handicraft membutuhkan 60 gelondong bambu yang telah dipotong dua meter. Satu gelondong bambu ini harganya Rp 4.000. "Bambu dikirim dari Kecamatan Sempu dan Genteng, Banyuwangi," katanya.

Menurut Bayu, dalam empat tahun terakhir, pembeli kerajinan bambu Gin­tangan lebih ramai. Sebelumnya hanya sekitar 700-an barang yang laku, kini meningkat menjadi seribu unit per bulan. Namun ia kesulitan menembus pasar ekspor langsung dan menggantungkan ekspor ke perusahaan lain, terutama di Bali.

Menggantungkan nasib ke perusahaan lain tentu saja kurang menguntungkan. Alih-alih membangun merek sendiri, ia harus rela produknya ditempeli label "made in Bali". Dia tidak bisa memprotes karena belum mengantongi hak paten dari Kementerian Perindustrian. "Ya, biar saja, asalkan produk saya laku." Bayu berharap pemerintah Banyuwangi memfasilitasi ekspor langsung. Bila terus menggantungkan diri pada Bali, produk dari Banyuwangi tidak akan pernah dikenal.

Ketergantungan pada Bali membuat perajin terpuruk setelah bom meletus pada 2002. Usaha lesu selama dua tahun dan baru bisa bangkit pada 2005. Masalah serius lainnya adalah semakin sulit mencari perajin pria. Bayu mempekerjakan 11 perajin pria yang telah bekerja di atas lima tahun. Bila pesanan ramai, dia membutuhkan perajin sebanyak-banyaknya. "Akhirnya sering berebut dengan sanggar lain."

Hamid juga mengeluh. Sanggarnya memiliki empat perajin pria dari sebelumnya hampir 20 orang. Bila pesanan banyak, perajin bekerja siang-malam. Pemuda di desa itu kini memilih pekerjaan lain, seperti menjadi pekerja bangunan atau merantau ke Bali, yang dianggap lebih menjanjikan.

Rusdiana, Kepala Desa Gintangan, mengatakan berkurangnya jumlah perajin terjadi karena biaya hidup semakin tinggi. Untuk mengatasi hal itu, dalam waktu dekat dia akan memasukkan keterampilan menganyam sebagai muatan lokal di madrasah-madrasah di desanya. Dia juga akan mendirikan badan usaha milik desa yang memasok bambu ke sekolah-sekolah itu dan memasarkan hasilnya agar regenerasi perajin bambu di desanya tetap terjaga.

Niat itu didukung Kepala Seksi Industri Logam, Mesin, dan Aneka Elektronika Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pertambangan Tri Joko Putranto. Pemerintah daerah bersedia membantu Desa Gintangan membentuk badan usaha anyaman bambu.

Namun Tri mengingatkan hal itu tak mudah. Hambatan terbesarnya, para pemilik sanggar bambu bersaing dengan cara yang tidak sehat, sehingga sulit bersatu dalam sebuah asosiasi. "Mereka saling menjatuhkan harga," ujarnya. Padahal permintaan produk Gintangan cukup besar, baik untuk pasar lokal, nasional, maupun luar negeri. Pengusaha tak bisa memenuhi permintaan pasar dalam jumlah besar. "Jika pemilik sanggar bersatu, berapa pun permintaan bisa dipenuhi bersama."

Endri Kurniawati, Ika Ningtyas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus