Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah Australia menganggap Indonesia sebagai tetangga strategis dan meminta pelajar belajar bahasa Indonesia.
Minat pelajar Australia untuk mempelajari bahasa Indonesia terus turun selama dua dekade terakhir.
Disebabkan sejumlah faktor, termasuk peningkatan penguasaan bahasa Inggris oleh masyarakat Indonesia.
Siswa kelas XII di Australia sedang mengambil keputusan penting mengenai masa depan mereka. Bagi banyak orang, hal ini melibatkan pemilihan program studi di universitas dan mata pelajaran di dalamnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, jika melihat tren yang ada, Indonesia tidak akan dipertimbangkan sama sekali dalam pengambilan keputusan ini, meskipun dampaknya sangat besar bagi Australia, baik dari segi kepentingan ekonomi, strategis, maupun politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak politikus yang menyerukan pentingnya belajar bahasa Indonesia. Namun, meminjam kata-kata dari mantan perdana menteri Paul Keating, itu semua hanyalah “puncak yang tampak dari gunung es yang tidak ada”.
Faktanya, kita harus kembali ke ke era Keating (1991-1996) untuk menemukan upaya bersama pemerintah dalam memahami Asia. Sebagai peneliti Indonesia, banyak dari kami yang memulai kariernya pada era tersebut. Namun sejak saat itu, kita telah menyaksikan literasi Australia atas Indonesia–pengetahuan kami tentang bahasa dan budaya negara tetangga–perlahan-lahan mati karena diabaikan.
Apa yang terjadi? Apa yang salah dari Australia? Adakah yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya?
Ilustrasi kamus bahasa Indonesia. Shutterstock
Menurunnya Pemahaman Australia atas Indonesia
Semester ini, Sharyn Graham Davies, Direktur Herb Feith Indonesia Engagement Center, Monash University, Australia, memiliki kurang dari sepuluh siswa dalam kursus pengantar bahasa Indonesia. Kursus ini diperuntukkan bagi siswa yang belum memiliki pengetahuan bahasa Indonesia sebelumnya. Kelas bahasa Indonesia tingkat menengah–yang mencakup mantan siswa kelas XII yang masuk universitas–memiliki 13 siswa.
Rendahnya jumlah pendaftaran ini bukanlah hal yang sepele, tapi merupakan bagian dari tren nasional. Pada 1992, terdapat 22 universitas di Australia yang mengajarkan bahasa Indonesia. Pada 2022, jumlah ini turun menjadi 12.
Terdapat juga penurunan besar dalam jumlah siswa yang belajar bahasa Indonesia hingga akhir sekolah menengah atas. Jumlah siswa sekolah menengah di Victoria, Australia, yang mengambil bahasa Indonesia di kelas XII telah turun dari 1.061 pada 2002 menjadi 387 pada 2022. Di New South Wales, Australia, angka tersebut merosot dari 306 menjadi 90 pada periode yang sama.
Memang ada beberapa titik terang. Sejak 2014, generasi muda Australia telah melakukan perjalanan ke Indonesia di bawah New Colombo Plan. Misalnya tahun ini sekitar 400 mahasiswa tahun pertama Monash University, Australia, akan berangkat ke Indonesia selama dua minggu. Namun sebagian besar perjalanan akan berlangsung dalam bahasa Inggris.
Apa yang Salah di Australia Mengenai Bahasa?
Salah satu penyebab utama masalah ini adalah kampanye pemerintah Australia dan Indonesia sebelumnya yang gagal mendorong masyarakat Australia belajar bahasa Indonesia. Penelitian kami menemukan bahwa kampanye yang berfokus pada ekonomi dan kepentingan strategis Indonesia jarang beresonansi di kalangan pelajar.
Hal ini karena narasi-narasi tersebut terlalu esoterik (terbatas) dan berbasis masa depan bagi remaja, yang sering kali lebih terpengaruh oleh masa muda dan budaya populer. Misalnya, sejak 1998, lebih dari seribu siswa per tahun telah belajar bahasa Jepang di sekolah menengah di Victoria, Australia, sebagian didorong oleh minat yang lebih luas terhadap budaya pop Jepang.
Pola Pikir Monolingual
Kita juga tahu bahwa Australia memiliki “monolingual mindest” atau gagasan bahwa komunikasi terjadi melalui dan hanya dengan satu bahasa pada satu waktu. Ada sikap warga Australia yang merasa tidak perlu mempelajari bahasa lain. Mantan perdana menteri John Howard (1996-2007) menggambarkan sikap ini, dengan beragumen bahwa bahasa Inggris adalah lingua franca–atau bahasa umum–di Asia.
Menurut hasil PISA 2018, yang membandingkan kemajuan akademis anak usia 15 tahun di berbagai negara, Australia menempati peringkat negara kedua terakhir untuk pembelajaran bahasa asing di antara negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), organisasi internasional dari 38 negara yang berkomitmen pada demokrasi dan ekonomi pasar.
Studi ini juga menemukan bahwa 64 persen anak usia 15 tahun di Australia mengatakan belajar bahasa asing bukanlah bagian dari kehidupan mereka, dibandingkan dengan rata-rata keseluruhan OECD yang hanya sebesar 12 persen.
Sementara Itu, Cina Sedang Belajar Bahasa Indonesia
Meski tingkat literasi atas Indonesia di Australia menurun, literasi atas Indonesia di Cina sedang meningkat. Di Cina, kini terdapat 19 universitas yang mengajarkan bahasa Indonesia.
Literasi bahasa Mandarin di Indonesia juga meningkat. Terdapat bukti signifikan yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mulai belajar bahasa Mandarin (yang pernah dilarang) seiring upaya pemerintah Indonesia meningkatkan hubungan dengan Cina.
Pada saat yang sama, Indonesia juga mulai mendorong menduniakan bahasa Indonesia atau “mengangkat bahasa Indonesia ke status global”. Ini berarti sebagian orang Indonesia ingin bahasa mereka digunakan dan dipahami secara luas, khususnya di Asia.
Ilustrasi bahasa asing. Shutterstock
Australia Akan Tertinggal
Warga Australia dapat terus berkomunikasi dengan sebagian masyarakat Indonesia melalui bahasa Inggris. Namun, jika mereka melakukan hal tersebut, akan semakin banyak pembicaraan yang terjadi tanpa melibatkan mereka.
Sulit untuk menemukan angka pasti mengenai penutur bahasa Inggris di Indonesia dan seberapa baik bahasa Inggris digunakan. Ada beberapa perkiraan hingga 30 persen sebagaimana dipromosikan oleh industri bimbingan belajar dan pengajaran bahasa Inggris. Namun beberapa sumber akademis menunjukkan bahwa hanya 5 persen orang Indonesia yang memiliki “kemampuan berbahasa Inggris fasih”.
Penelitian juga menunjukkan bahwa penutur bahasa Inggris saja berada dalam posisi yang dirugikan saat berdiskusi dengan bukan penutur asli bahasa Inggris.
Dalam pertemuan bisnis, penutur asli bahasa Inggris lebih kecil kemungkinannya untuk mengakomodasi atau memahami apa yang terjadi dalam interaksi bukan penutur asli dan lebih cenderung menyela.
Perlunya Pemikiran Pelangi
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan berbagai pendekatan, atau yang kita sebut dengan pemikiran pelangi. Pertama, kita perlu meninjau kembali investasi pemerintah. Puncak studi bahasa Indonesia di Australia terjadi pada pertengahan 1990-an ketika Keating menginvestasikan dana yang signifikan untuk pembelajaran bahasa Indonesia. Jumlah pembelajar bahasa Indonesia di Victoria, Australia, naik dua kali lipat dari 493 pada 1995 menjadi 1.044 pada 2001.
Kedua, sebagian dari pendanaan ini harus didedikasikan untuk pendekatan bahasa yang lebih inovatif dan berkelanjutan. Misalnya pemerintah Amerika Serikat (AS) mendanai program STARTALK, yang memberikan hibah bagi siswa untuk mempelajari bahasa-bahasa yang “sangat diperlukan”, termasuk Arab, Mandarin, Korea, Persia, dan Rusia.
Program ini berupaya untuk lebih memahami motivasi dan hambatan dalam mempelajari bahasa yang jarang diajarkan dan kemudian merancang kurikulum untuk memenuhi kebutuhan guru dan siswa. Kami sebelumnya berpendapat bahwa program serupa dapat berhasil dan berkelanjutan di Australia. Namun hal ini memerlukan pendanaan yang cukup.
Ketiga, Indonesia membutuhkan strategi yang andal. Academy for Korean Studies milik pemerintah Korea memberikan investasi luar negeri yang signifikan dalam penelitian dan pendidikan bahasa dan budaya Korea. Alliance Française memiliki 31 cabang di seluruh Australia. Indonesia belum melakukan investasi kuat yang serupa.
Dalam beberapa dekade terakhir, sulit untuk menghindari pejabat pemerintah dan dunia usaha membicarakan pentingnya Indonesia. Namun jauh lebih sulit untuk menemukan orang atau organisasi dengan sumber daya yang baik yang benar-benar melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah ini.
---
Artikel ini ditulis oleh Howard Manns (Monas University), Jessica Kruk (University of Western Australia), Michael Ewing (The University of Melbourne), dan Sharyn G. Davies (Monash University). Terbit pertama kali di The Conversation.