Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEGIAT demokrasi dan masyarakat sipil mengkritik rencana Kementerian Komunikasi dan Informatika membentuk dewan media sosial. Mereka khawatir keberadaan lembaga itu nantinya justru menjadi alat pemerintah untuk mengekang kebebasan pers dan kebebasan berpendapat publik di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan pembentukan lembaga ini patut diwaspadai karena berkelindan dengan revisi Undang-Undang Penyiaran yang isinya akan memberangus kebebasan pers. Ia juga khawatir lembaga itu nantinya justru menjadi alat pemerintah untuk membungkam kebebasan berekspresi publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Publik dilarang kritis, baik di dunia nyata maupun dunia digital," katanya, Ahad, 26 Mei 2024.
Isnur pun tak percaya Kementerian Komunikasi akan betul-betul mengadopsi kajian Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), UNESCO—lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa di bidang pendidikan dan kebudayaan—Universitas Gadjah Mada, serta Center for Digital Society (CfDS) pada 2022.
Ia beralasan, SAFEnet sudah mengusulkan pembentukan dewan media sosial saat revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tahun lalu. SAFEnet meminta lembaga itu masuk revisi UU ITE. Tapi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menolaknya.
Karena itu, Isnur ragu akan klaim Kementerian Komunikasi bahwa keberadaan dewan media sosial akan mengadopsi kajian SAFEnet dan UNESCO. Ia juga sangsi keberadaan dewan media sosial akan serupa dengan Dewan Pers sebagai lembaga independen. Sebab, dasar hukum pembentukan Dewan Pers adalah undang-undang. Sedangkan pijakan dewan media sosial kemungkinan besar bukan undang-undang.
"Jika undang-undangnya saja tidak ada, bagaimana bisa lembaga ini nantinya seperti Dewan Pers dengan posisi yang independen," kata Isnur.
Ilustrasi pengguna media sosial. Reuters/Jonathan Raa / Sipa USA
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar berpendapat serupa. Ia mengatakan syarat membentuk lembaga independen adalah institusi tersebut harus diatur dan dibentuk melalui undang-undang. Selain itu, komposisi keanggotaan lembaga harus berasal dari non-pemerintah. "Jika lembaganya dibentuk dengan cara tidak independen, ini sama saja dengan memberikan peluang bagi pemerintah lebih powerfull," ujarnya.
Wahyudi mencontohkan beberapa kasus sengketa di media sosial, terutama mengenai konten yang dinilai pemerintah mengganggu kestabilan politik, hukum, dan keamanan. Pemerintah acapkali bertindak serampangan dengan menurunkan konten tersebut secara sepihak. Pemerintah juga melabelinya sebagai kebohongan.
Ia pun sangsi pemerintah betul-betul akan membentuk lembaga yang independen. Sebab, tidak ada aturan yang mewajibkan lembaga itu melibatkan unsur masyarakat dalam memoderasi konten. "Bisa jadi rencana membentuk dewan media sosial yang independen hanya menjadi angan-angan."
Menurut Wahyudi, jika dewan media sosial nantinya tak independen, upaya memoderasi konten di media sosial bisa menjadi dalih untuk memberangus kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Pemerintah akan mengatur seluruh tata kelola konten media sosial dengan dalih moderasi konten. "Ini upaya membatasi hak atas informasi bagi publik dengan membatasi konten yang dinilai mengganggu," ucapnya.
Rencana pembentukan dewan media sosial ini disampaikan Menteri Komunikasi dan informatika Budi Arie Setiadi, Kamis, 23 Mei lalu. Ia mengatakan tujuan pembentukan lembaga itu adalah memediasi sengketa di media sosial serta mengatur tata kelola konten di ruang digital. "Bentuknya independen sama seperti Dewan Pers," katanya.
Mantan Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, mengatakan keberadaan dewan media sosial bukan sesuatu yang baru dalam sejarah kebijakan Internet, Sebab, PBB justru adalah pihak pertama yang mendukung pembentukan lembaga tersebut di seluruh dunia.
Damar bercerita, konsep pembentukan dewan media sosial pertama kali diperkenalkan oleh pelapor khusus PBB untuk kebebasan berekspresi, David Kaye, pada April 2018. Laporan Kaye itu mengusulkan adanya kerangka kerja untuk memoderasi konten online buatan pengguna yang berbasis pada hak asasi manusia. Di antara ide terbaik untuk program tersebut adalah membentuk dewan media sosial yang independen.
Kaye mengusulkan adanya mekanisme yang dapat mendengar keluhan pengguna individu dan mengumpulkan umpan balik dari publik tentang masalah moderasi konten, seperti penyensoran berlebihan. Lalu negara wajib mendukung mekanisme banding terukur secara konsisten dengan standar hak asasi manusia. "Jika mengacu pada konsep ini, pembentukan dewan media sosial tidak menjadi mudarat," kata Damar.
Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum berharap pemerintah berkoordinasi dengan kelompok masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lain lebih dulu sebelum membentuk dewan media sosial. Sebab, pembentukan lembaga tersebut saat ini menjadi tidak ideal setelah pemerintah menolak keberadaan dewan media sosial dalam UU ITE.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Francisca Christy Rosana berkonstribusi dalam penulisan artikel ini