Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemimpin Redaksi Majalah Tempo periode 1999 hingga 2006, Bambang Harymurti, menjelaskan marwah Tempo sebagai media saat ini, tidak berubah dari sejak pertama kali terbit pada 1971 hingga saat ini. Ia mengatakan, Tempo selalu berusaha menjaga integritasnya dalam bekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Tempo itu bukan sekedar majalah atau media, itu Mas Goen (Goenawan Mohamad) berhasil menciptakan orang Jepang itu bilangnya jalan pedang. Jalan Tempo itu jadi budaya sendiri sehingga orang masuk Tempo lama-lama jadi suku tersendiri yang sering kali jadi suku aneh juga di luar," kata BHM, panggilan akrab Bambang, dalam acara talkshow memperingati 50 tahun Tempo, Sabtu, 6 Maret 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
BHM mencontohkan adalah terkait dengan budaya wartawan yang menerima amplop. Pada era dia menjabat Pemred, ia mengatakan wartawan yang menolak pemberian uang dari narasumber jumlahnya sangat sedikit. Bahkan mereka kerap dimusuhi oleh wartawan lain. Namun ia mengatakan wartawan Tempo akan tetap menjaga integritas jurnalismenya.
"Menurut saya cita-cita Mas Goen membuat Tempo menjadi the island of integrity, pulau integritas saya kira itu terus berjalan. Saya lihat teman-teman yang aktif di Tempo, saya bangga mereka bisa bernafas dalam lumpur tapi lumpurnya tidak nempel," kata BHM.
Baca: Resep dari Dapur Tempo: Bagaimana Menjadi Ilustrator yang Bisa Berkembang
Selain menjaga integritas, BHM mengatakan Tempo juga terus mencoba menjaga Indonesia dengan berjuang untuk demokrasi. Hal ini paling tercermin saat pembredelan Tempo dicabut pada 1998 silam.
Saat itu, BHM menceritakan ada beberapa alumni Tempo yang merasa Tempo tak perlu terbit kembali. Mereka khawatir Tempo yang baru tak bisa menyaingi kualitas Tempo sebelum pembredelan yang ia sebut sudah melegenda. Namun Tempo akhirnya tetap memutuskan terbit kembali.
"Sebagian (lain) merasa Tempo kan berjuang untuk demokrasi. Kok ketika ada kesempatan malah tak mau melakukannya," kata BHM.
Terbitnya kembali Tempo pada saat reformasi, juga menandai kemunculan Opini Redaksi Tempo, di halaman depan majalah. BHM bercerita saat itu, redaksi mengikuti Majalah The Economist. Kemerdekaan pers yang lebih bebas, kata BHM, menandai kemunculan jurnalisme interpretatif atau jurnalisme analisa. Opini Redaksi Tempo, menegaskan sikap redaksi terhadap suatu laporan interpretatif yang disajikan. "Jadi pada saat itu kita merasa The Economist itu bagus, karena paling tidak pembaca di halaman pertama sudah dikasih tahu ini loh sudut pandang Tempo. Jadi lebih jujur. Apalagi saat itu baru reformasi, (rubrik Opini) itu jadi tempat masukan-masukan kita bagaimana membangun demokrasi," kata BHM.