Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siklus maut itu datang lima tahun sekali, membenamkan Jakarta dalam gelombang air bah. Air menggelegak di segala penjuru, menjadikan wajah Ibukota remuk-redam seperti petarung yang kalah pagi-pagi. Dari dalam pusaran, manusia bertempur melawan maut. Mereka memeluk ban, menggapai tepi perahu karet, atau sekadar melata di atas batang-batang pisang. Hingga Sabtu lalu, 10 orang tewas, 15 stasiun kereta api terendam, 70 ribu sambungan telpon putus, 1.250 gardu listrik dimatikan. Hujan sepekan melumpuhkan kota dengan 12 juta penduduk dalam sekejap.
Siklus maut itu melintas lima tahun sekali. Ketika Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso berjanji lebih siap tahun ini, orang-orang mendengarkannya, media massa mengutipnya. "Kita akan lebih fokus lagi," kata Gubernur seraya merinci rencana perbaikan.
Di jalanan Ibukota kita menyaksikan janji itu seperti fatamorgana: tanggul-tanggul kanal jebol. Sembari para korban menggapai-gapai, memohon pertolongan yang tak kunjung tiba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo