Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RANCANGAN Undang-Undang Penyiaran menjadi salah satu beleid yang tak kunjung beres dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota DPR periode 2009-2014 gagal menyepakati pelbagai kepentingan dan ketegangan hingga masa kerja mereka berakhir. Badan Legislasi DPR periode sekarang akan mulai membahasnya kembali dalam masa sidang setelah reses pada Rabu pekan ini.
Para politikus lintas fraksi dan komisi itu sudah menelurkan draf revisi RUU Penyiaran berdasarkan usul-usul yang dibahas di Komisi Penyiaran DPR. Salah satu pasal krusial menyangkut soal multiplexing. Ini berkaitan dengan pemakaian frekuensi sisa yang tak terpakai oleh stasiun televisi swasta. "Kami menyusun drafnya dari nol lagi," kata Elnino Husein Mohi, anggota Komisi, pekan lalu.
Masalahnya, draf yang disusun komisi itu tak sepenuhnya disetujui para anggota Badan Legislasi, terutama soal multiplexing tersebut. Badan Legislasi menganulir penguasaan pemerintah atas frekuensi publik yang diajukan dalam draf yang disusun Komisi Penyiaran DPR. Badan Legislasi mengubahnya menjadi sistem hibrida.
Dalam sistem ini, pengelola stasiun televisi swasta diizinkan menguasai kanal sisa yang tak terpakai ketika televisi beralih ke digital. Di era analog seperti sekarang, satu frekuensi televisi dikuasai satu korporasi dan menghabiskannya untuk satu kanal. Saat televisi beralih ke digital, frekuensi itu akan dipecah menjadi beberapa kanal.
Pemecahan kanal itulah yang disebut multiplexing, dan sebagai akibatnya akan ada frekuensi yang menganggur. Komisi Penyiaran DPR ingin kanal tak terpakai itu dikembalikan kepada pemerintah karena milik publik, sementara Badan Legislasi membuka pintu pengelola stasiun televisi swasta tetap menguasainya. Ini yang disebut dengan sistem hibrida.
Dalam draf yang dibuat pada 6 Februari 2017, Komisi Penyiaran menyatakan semua sisa frekuensi itu harus dikuasai pemerintah. Caranya dengan menerapkan sistem multiplexing tunggal.
Pemerintah berwenang memakai dan menguasai semua pemancar. Mereka yang akan membagi-bagi kanal untuk digunakan stasiun-stasiun televisi swasta. Sisa kanal-kanal itu bisa dipakai pemerintah untuk banyak hal: menambah kapasitas Internet atau membuat informasi tentang bencana.
Oleh Badan Legislasi, draf itu diubah lewat pasal 26, yang mengatur pecahan frekuensi itu tetap dalam penguasaan lembaga penyiaran berizin. Implikasinya jelas, pengelola stasiun televisi akan bebas memakai frekuensi itu untuk kepentingannya. Jika pemilik stasiun televisi itu seorang politikus, ia bisa leluasa memakai kanal publik tersebut untuk berkampanye.
Tentu saja perubahan ini disambut dengan antusias oleh pengelola stasiun televisi swasta. Menurut Ketua Asosiasi Televisi Swasta (ATVSI) Ishadi Soetopo Kartosapoetro, sistem hibrida ini lebih masuk akal. Sebab, pemancar dan frekuensi adalah pilar yang sangat penting dalam bisnis televisi. "Kalau semua pemancar diambil pemerintah, apa beda kami dengan production house?" kata Komisaris Trans 7 itu, Jumat pekan lalu.
Ishadi menyatakan stasiun televisi perlu menguasai infrastruktur karena teknologi bisnis ini berkembang dengan sangat cepat. Menyerahkan pengembangan infrastruktur kepada pemerintah, menurut dia, membuat pengelola stasiun televisi swasta tak leluasa mengikuti perkembangan teknologi.
Usul multiplexing hibrida ini sudah lama diajukan Ishadi, sejak ia diminta menjadi pakar ahli oleh Komisi Penyiaran DPR lima tahun lalu ketika DPR merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ini. Ia diampu DPR bersama lima orang ahli lain dengan pelbagai latar belakang.
Belakangan, tim ahli ini malah pecah. Ia dan beberapa pengelola stasiun televisi swasta berseberangan dengan kelompok akademikus dan peneliti semacam Ade Armando dari Universitas Indonesia, Amir Effendi Siregar, dan mantan Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara Parni Hadi. Mereka mengusung gagasan frekuensi publik harus dikuasai pemerintah.
Adapun Ishadi tergabung dengan para praktisi televisi yang mengusung konsep hibrida ini. "Ya, bagaimana lagi, saya kan memang orang industri," kata Ishadi, yang kala itu sudah menjabat Komisaris Trans 7.
Karena tak ada titik temu, menurut Ade Armando, kedua kelompok itu sepakat membuat draf sendiri-sendiri dan menyerahkannya kepada Komisi Penyiaran. "Biar DPR yang memilih," ujarnya.
Kelompok Ade mengusulkan multiplexer dikuasai lembaga pemerintah, yakni Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI), dan konsorsium. Konsorsium ini terdiri atas stasiun televisi swasta dan badan usaha milik negara. "Jadi negara tetap hadir melalui BUMN," kata Paulus Widiyanto dari Komisi Informasi yang menjadi ahli di DPR itu.
Usul Ade dan Paulus yang diserap Komisi Penyiaran. Dalam rancangan undang-undang yang diajukan ke pemerintah saat itu, multipleksing diserahkan kepada RTRI dan konsorsium. Namun pembahasan undang-undang ini mandek sampai masa tugas anggota Dewan periode 2009-2014 berakhir.
Menurut Elnino, di Komisi Penyiaran pun kesepakatan mengajukan multiplexing tunggal tak mulus-mulus amat. Mereka baru menyepakatinya di hari-hari terakhir sebelum tenggat menyerahkan ke Badan Legislasi dua bulan lalu. "Akan kami bahas lagi supaya mulus saat di sidang paripurna," ujarnya.
Setelah dari paripurna, draf tersebut akan didiskusikan bersama pemerintah. Pemerintah lebih setuju memakai sistem multiplexing tunggal karena bisa memakai kanal tak terpakai dalam televisi digital untuk banyak kepentingan umum.
Menurut Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad Ramly, sistem multipleksing tunggal paling masuk akal untuk mendapatkan digital dividend. Selain itu, dengan kuasa multipleksing yang ada di pemerintah, persaingan antarlembaga penyiaran menjadi lebih sehat karena semua perusahaan bakal memiliki akses yang sama terhadap sumber daya kanal. "Itu semangat revisi undang-undang penyiaran ini," kata Ramly.
Badan Legislasi berjanji mendengarkan segala protes dan pembelaan soal penguasaan kanal penyiaran ini. "Kami belum memutuskan soal itu," ujar Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas. "Draf dari 17 Juni 2017 dari Baleg belum final." GADI MAKITAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo