UNTUK ke-13 kalinya, para gelandangan digiring masuk Istana Olah
Raga Senayan, 30 Desember lalu. Yayasan Kampus Diakonia Modern
(KDM) sebetulnya mentargetkan 5.000 orang hadir pada acara Natal
gelandallgan tersebut. Tapi 1.000 orang yang datang itu cukuplah
buat memeriahkan suasana.
Sebagai pembuka acara, sebuah drumband tampil dengan aksi yang
meyakinkan. Dan Pendeta Eka Darmaputera menyambut mereka dengan
pesan Natal. Kemudian dimainkan drama kelahiran Yesus. Tetapi
bagi 1.000 orang tamu yang sebelum masuk sudah dibagi
kartu-kartu itu - yang bisa mereka tukar dengan sebungkus kue
dan sebotol limun yang paling rnemikat tampaknya adalah acara
pembagian paket. 4.160 buah paket sudah disediakan untuk mereka
ini. Yang menarik ialah bahwa rebut-rebutan tak mudah
dihindarkan. Ada yang menyerobot sampai mendapat 3 paket,
misalnya - dan paket-paket itu berisi rok atau blus atau
lainnya.
Menurut Lumy S. Th, Ketua KDM dan lulusan Sekolah Tinggi
Theologia, biasanya ada semacam kesukaran untuk bisa
beramah-ramah dengan kaum gelandangan. "Ada semacam tembok yang
membatasi". Tetapi dengan pendekatan yang bersahabat semacam
itulah bisa dicapai manfaat. Bagi Lumy sendiri, cara seperti
yang digunakan Pemerintah DKI Jakarta terhadap gelandangan
dianggapnya sebagai 'tekanan'. "Merupakan tekanan-tekanan
polisionil seperti di zaman kolonial", katanya. Menurut dia cara
tersebut tidak efektif: hanya akan menebabkan mereka
berpindah-pindah.
Berapa Jumlah Gelandangan?
Sudah sejak 1963 Lumy dan kawan-kawan merintis pesta Natal
bersama gelandangan. Sudah punya niat membuat tempat
penampungan. Tapi niat tersebut baru kesampaian di awal 1972.
ketika Yayasan KDM didirikannya dan Djakarta Community Church
(DCC) memberi dana Rp 120.000 setahun. Lumy mampu mengontrak
sebuah rumah, di mana beberapa anak gelandangan dirawat dengan
amat sederhana. Bekas peti dijadikan dipan tempat tidur. Begitu
juga kamar mandi. Sedang buat makan mereka cari sendiri. Tak
sedikit pula yang kabur. "Proses peralihan dari hidup liar ke
hidup tertib memang sulit", tutur Lumy. Menurut Lumy bagaimana
pun ikatan keluarga lebih membuat betah anak-anak yang ditampung
KDM ketimbang kebutuhan materi yang cukup.
Tapi dengan bantuan yang didapat dari Lembaga Pelayanan Kristen
Indonesia (Lepki) sejak 1972 (Rp 100.000 sebulan), DCC (Rp 1
juta setahun), Gereja Kebayoran (Rp 20 ribu) dan perorangan, KDM
mampu mencukupi kebutuhan makan, tidur dan biaya sekolah
anak-anak tersebut.
10 anak di antaranya sudah duduk di kelas II SMP PSKD Slamet
Riyadi dan 8 orang di SD Kristen PSKD Prapatan. Cobalah dengar
pernyataan Masduki, 14 tahun, asal Indramayu. Anak yang
menggelandang bersama ibunya ini masuk KDM tahun 1973, dan
sekarang punya cita-cita jadi pendeta atau dokter. Tapi lebih
suka jadi pendeta. "Pendeta bisa berbakti memberi penerangan
pada orang-orang. Yah, pendeta melarat tapi kalau mati kan masuk
surga?", tuturnya kepada reporter Eddy Herwanto. Ketika masih
menggelandang di Tanjung Priok Masduki mengaku belum mengenal
agama. Kini ia rajin ke gereja dan duduk di kelas 1 SMP PSKD
Slamet Riyadi.
Sedikit berbeda dengan Masduki Nurdin mengaku sebelum masuk KDM
memeluk agama Islam. Dijumpai anggota Panitia Natal di kakilima
Senen, 1973 Nurdin ikut natal KDM. Setelah itu resmi dicatat
sebagai warga KDM dan kini rajin pula ke gereja. Nurdin, 17
tahun, yang mengaku tak ingat lagi dari mana berasal tapi
dilahirkan di keluarga miskin, kini duduk di kelas II PSKD
Slamet Riyadi. Mana lebih enak di KDM atau di luar? "Di KDM
makan memang kurang. Tapi di luar, hidup tak teratur", katanya.
Itulah sebagian dari 18 anak gelandangan yang diasuh Yayasan
Diakonia Kampus Modern. Omong-omong, berapakah jumlah seluruh
gelandangan di Jakarta? Konon kira-kira 100.000 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini