Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOTAK kaca itu membawa Ario Guritno dan Reza Aulia hingga ke Baku, Azerbaijan, sebuah negeri di persimpangan Eropa Timur dan Asia Barat. Namun mereka bukan pergi berekreasi. Dalam ajang International Environmental Project Olympiad awal April lalu itu, Ario dan Reza harus menjelaskan cara kerja kotak kaca yang tak lain dari miniatur sebuah rumah kaca alias green house. ”Di hari pertama, para juri datang dan menanyakan cara kerjanya,” kata Ario, 16 tahun.
Di depan juri, Ario fasih menjelaskan cara kerja kotak kaca hasil rekayasanya itu. Miniatur ini dibuat untuk mengatur kadar cahaya dan kelembapan sebuah rumah kaca. Dengan sensor, rumah ini akan mendapatkan pasokan cahaya yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis. ”Saat sinar matahari berkurang, otomatis lampu akan menyala untuk memasok energi pada tumbuhan di dalamnya,” kata Ario.
Kepada juri, dia juga menjelaskan pengaturan kelembapan dalam kotak itu. Nah, berbagai jawaban siswa kelas X SMA Pribadi, Depok, Jawa Barat, itu—dalam bahasa Inggris tentu—ternyata cukup memuaskan. Hasilnya, Ario dan Reza pulang dengan membawa medali emas. ”Tapi rumah kacanya ditinggalkan di Turki,” katanya sambil tersenyum. Sepulang dari Baku, mereka memang mampir di negeri itu.
Turki, negeri yang terletak di Asia dan Eropa, tidak semata menjadi tempat persinggahan. Negeri ini memiliki arti penting bagi siswa sekolah yang berdiri sejak 1995 itu. Perjalanan ke Turki penting bagi mereka. Setidaknya di negeri itu mereka bisa mempraktekkan bahasa yang juga diajarkan di sekolahnya.
SMA Pribadi dan juga SMA Bangsa adalah sekolah yang didirikan Pacific Countries Social and Economic Solidarity, yang dalam bahasa Turki disingkat menjadi Pasiad. Lembaga ini adalah buah dari gerakan di Turki yang ingin memajukan ekonomi dan sosial di berbagai belahan dunia. Untuk kawasan Pasifik, mereka bernama Pasiad. Organisasi nonpemerintah asal Turki ini bekerja sama dengan Yayasan Yenbu dan Yayasan Kharisma Bangsa dari Indonesia.
Sekolah sejenis lainnya terdapat di Bandung, yaitu Sekolah Pribadi, di Semarang (Sekolah Semesta), dan di Banda Aceh (Fatih Bilingual School). Selain mendirikan sekolah menengah, kegiatan Pasiad adalah membuka mata kuliah bahasa Turki, melalui kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia, dan menyelenggarakan kompetisi matematika secara rutin.
Sekolah Turki? Terdengar asing, memang. Selama ini, sekolah ”internasional” di Indonesia biasanya berasal dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, atau negara Barat lainnya. Ternyata sekolah-sekolah Pasiad kini masuk daftar sekolah pilihan di berbagai kota besar di Indonesia.
Di Bandung, Surjadi Jasin, notaris terkenal di kota itu, tak ragu menyekolahkan anaknya, Muhammad Dhika Ramadhan, 15 tahun, ke SMA Pribadi—meski untuk itu dia harus membayar uang pangkal Rp 14 juta dan iuran sekolah Rp 1 juta per bulan.
Surjadi sudah pasti tidak sendirian mempercayakan pendidikan anaknya ke sekolah Turki. Buktinya, hanya dalam sepuluh tahun, jumlah sekolah hasil kerja sama Indonesia dan Turki ini berbiak hingga lima sekolah. ”Saat ini sudah ada permohonan membuka sekolah di Makassar dan Sragen,” ujar Sabar Risdadi, koordinator pendidikan Pasiad Indonesia. Kedua pemohon itu berasal dari Departemen Pendidikan Nasional dan pemerintah daerah.
Menurut Sabar, untuk bekerja sama mendirikan sekolah dengan Pasiad tidaklah mudah. Setidaknya harus tersedia bangunan dan fasilitas memadai, termasuk asrama untuk tempat tinggal murid-murid—sekolah Pasiad menerapkan sistem boarding school. Semua siswa wajib tinggal di asrama dengan disiplin ketat. Aktivitas murid, guru, dan pengasuh asrama membaur mulai pukul 07.00 sampai menjelang waktu tidur. Interaksi antara guru dan murid tidak lagi satu arah atau terpusat pada guru, tapi guru hanya sebagai pengarah dan kawan diskusi.
Kendati ”berbendera Turki”, kurikulum sekolah-sekolah itu tetap menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan negara yang ditempati. Di Indonesia, lima sekolah itu menggunakan kurikulum berbasis kompetensi yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional pada 2004. Hanya, dalam beberapa mata pelajaran, mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar.
Selain itu, sekolah Turki punya kurikulum tambahan sendiri. Isinya kurang-lebih memantau bakat dan minat siswa yang bersekolah di sana. ”Ke mana bakat mereka. Kalau ke fisika, diarahkan ke fisika, matematika ke matematika,” kata Angky Dwi Seffyanto, Kepala Sekolah Fatih Bilingual Aceh. Kurikulum plus itu disusun oleh sebuah tim khusus sekolah Turki yang ada di Indonesia dan negara lain. Tim berembuk menyusun cara pendidikan sesuai dengan standar pendidikan terbaik di dunia.
Tak hanya punya kurikulum khusus, sekolah-sekolah ini membuka kelas khusus. Di Sekolah Semesta, misalnya, ada kelas olimpiade. Siswa kelas ini memperoleh beasiswa dari yayasan. Syaratnya adalah memiliki IQ minimal 125 serta pernah menjuarai olimpiade, baik tingkat nasional maupun internasional. Di kelas ini, pelajaran matematika, baik SMP maupun SMA, hanya diberikan pada kelas satu. ”Karena matematika merupakan dasar dari semua ilmu eksakta,” kata Mohammad Haris, Kepala SMP dan SMA Semesta. Saat ini di kelas olimpiade untuk tingkat SMP terdapat 34 siswa dan di SMA ada 25 murid.
Wadah lain adalah pembentukan kelompok ekstrakurikuler. ”Kami biasanya menyebutnya dengan klab,” kata Muhammad Jafar, Kepala SMP dan SMA Pribadi Depok. Biasanya kegiatan ini dilakukan setelah jam belajar dan pada akhir pekan. Banyak klab yang dibentuk di sekolah-sekolah ini. Salah satunya Klab Fisika.
Barangkali itulah sebabnya sekolah-sekolah Turki cukup merajai ajang lomba tingkat internasional. Medali emas Ario hanya satu di antaranya. Lainnya, waduh, berderet. Di antaranya, dari Aceh, Jufri Mahardi dan Dally Teguh Sesario meraih medali perak dan perunggu dalam Olimpiade Fisika di Turki dan Bosnia, Mei lalu.
Dari SMA Pribadi, Bandung, awal Mei lalu, Adi Dharma, Muhammad Yusuf Ritonga, dan Muhammad Dhika Ramadhan membawa alat pendeteksi tsunami mengikuti olimpiade ke Georgia. Hasilnya, mereka mendapat medali emas mengalahkan 50 peserta lain dari berbagai negara. Mereka lalu mendapat hadiah uang dan beasiswa kuliah di Universitas Fatih di Istanbul.
Sekolah Semesta mengirimkan Lorenz V.G. da Silva, siswa kelas X SMU Semesta, ke Asia Pacific Astronomy Olympiad di Vladivostok, Rusia, Desember lalu. Lorenz berhasil meraih medali perunggu. Bisa jadi inilah yang membuat sekolah-sekolah Turki terbilang mahal. Kecuali bagi siswa yang diterima melalui jalur beasiswa, orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya harus merogoh saku dalam-dalam. Di Semesta, misalnya, siswa harus membayar uang pangkal sekitar Rp 25 juta.
Namun banyak orang tua yang tak mempersoalkan mahalnya sekolah Turki. Eli Milia, salah seorang orang tua murid, misalnya. Yang penting, kata dia, selain maju di bidang akademis, anaknya memiliki kepribadian yang unggul. ”Investasi untuk masa depan dia,” kata Eli.
Kendati biaya sekolah sudah tergolong mahal, pihak yayasan mengaku uang dari siswa tersebut jauh dari cukup untuk penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar dan pengadaan fasilitas. Itu karena murid di sana sedikit. Dalam satu kelas hanya ada 24 murid. Sekolah ini rata-rata hanya menampung 200-an siswa. ”Uang dari murid habis untuk operasional. Untungnya, para guru dari Turki menjadi tanggung jawab Pasiad,” kata Haris.
Penyelenggaraan pendidikan dengan mutu dan fasilitas baik memang membutuhkan biaya tak sedikit. Sekadar gambaran, masing-masing laboratorium di Semesta menghabiskan sekitar Rp 250 juta. Harga papan tulis elektronik yang ada di tiap kelas saja sekitar US$ 3.000 atau Rp 27 juta. Untuk menutupi bolongnya, bantuan antara lain mengucur dari para pengusaha Turki atau pribumi yang peduli pada pendidikan.
Irfan Budiman, Rinny Srihartini (Bandung),Adi Warsidi (Banda Aceh), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo