Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Calon guru di gubug-gubug

Sejumlah mahasiswa yang kuliah di universitas cenderawasih tak tertampung di asrama dan tak mampu membayar pondokan mendirikan gubug-gubug disekitar kampus. kebanyakan bercita-cita menjadi guru. (pdk)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA tidak menyerah. Sejumlah putra daerah Ir-Ja mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura, yang tak tertampung di asrama dan tak mampu membayar pondokan, dengan tangkas mendirikan gubuk sendiri di sekitar kampus. Dalam gubuk 2,5 x 2,5 m, berdinding gaba-gaba, beratap rumbia dan berpintu seng bekas itulah mereka belajar, istirahat, makan dan tidur. Mereka adalah sebagian dari 1.962 mahasiswa Uncen kini -- 60% mahasiswa Uncen adalah putra daerah Ir-Ja. Tak lagi ketahuan siapa pelopor pendiri gubuk yang mengelilingi kampus universitas di ujung timur tanah air itu, universitas yang bulan lalu merayakan Dies Natalisnya yang ke-18. Yang jelas, gubuk terlama di situ telah miring ditimpa panas dan hujan, dan telah berusia lebih dari tiga tahun. Dan kini ada 6 gubuk yang jaraknya dari kampus sekitar 200-500 m. Tentu saja fasilitas sebuah gubuk jauh dari memadai dibanding rumah tinggal atau asrama. Di gubuk Simyapen, mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan tingkat II, misalnya. Di situ hanya ada sebuah balai-balai kayu tanpa kasur, sebuah papan kayu yang berfungsi sebagai meja belajar dengan papan kayu juga sebagai kursi. Antara tempat tidur dan dinding ada tungku api untuk memasak. Lantai, tentu saja hanya tanah, yang kini lembab karena hujan suka mengguyurnya lewat celah-celah atap rumbia yang tak rapat betul itu. "Asrama sudah penuh," itu yang bisa dikatakan Sim, asal Bosnik, Biak Timur ini. Dan susulnya: "Saya tak punya uang untuk mencari kost." Sim yang lulusan Sekolah Pendidikan Guru, 1979, dengan bekal tekad pergi ke Jayapura untuk melanjutkan kuliah. Anak keenam dari tujuh bersaudara ini kedua orang tuanya telah tiada. Ia mendapat biaya hidup dan kuliah dari pamannya: Rp 3 ribu untuk membayar SPP per semester, Rp 10 ribu untuk makan sebulan. "Tapi itu pun harus dengan akal, supaya cukup," ceritanya. "Saya masak pakai kayu, yang gampang dicari. Dan sesekali makan di rumah teman." Maklum, biaya hidup di Ir-Ja memang tinggi -- lebih tinggi dari Jakarta. Lampu Minyak Dan dengan uang kirirnan yang pas itu ia memang tak bisa membeli buku. Itulah kesulitannya kini. "Di perpustakaan kebanyakan bukunya bahasa Inggris," keluhnya. Gagasan mendirikan gubuk ini memang orisinal. Dan bukannya asal mendirikan saja, agaknya. Ada perhitungan pula. Sebab, untuk keperluan mandi dan buang hajat, misalnya, tak ada masalah sama sekali. Di sekitar kampus Uncen ada sumur. Pun di dekat kampus itu mengalir sebuah sungai, yang tak pernah kering sepanjang tahun. Hanya penerangan tentu saja, tak bisa lebih dari sebuah lampu minyak. Dengan lampu itulah mereka belajar malam hari. Tak diketahui persis, berapa mahasiswa Uncen asal luar kawasan Jayapura. Tapi memang asrama yang ada tak mampu menampung mereka. Asrama Uncen sendiri hanya mampu menampung 24 orang. Sebuah asrama dari Misi Katolik pun hanya mampu menampung 100 orang, dan calon penghuni tentu saja dibebani persyaratan tertentu. Misalnya, harus beragama Katolik atau bersedia bekerja di Kantor Keuskupan. Juga Pemda Tingkat II yang merasa ikut bertanggungawab terhadap warganya yang menjadi mahasiswa Uncen, mendirikan asrama: Pemda Biak, Fak-Fak, Wamena, antara lain. Tapi asrama yang didirikan Pemda Tingkat II itu rata-rata hanya bisa menampung 30-an mahasiswa, sementara jumlah mahasiswa asal daerah tersebut lebih dari itu. Mahasiswa asal Jayapura sendiri agaknya yang tak mengalami kesulitan. Meski kampus Uncen -- yang memiliki 4 fakultas FK (Fakultas Keguruan), FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan. FIHES (Fakultas Ilmu-ilmu Hukum, Ekonomi dan Sosial) dan FPPK (Fakultas Peternakan, Pertaniandan Kehutanan) -- terletak di Abepura, sekitar 15 km dari Jayapura, tiap hari ada angkutan yang ongkosnya relatif murah: Rp 150 sekali jalan. Dan bila seorang mahasiswa tinggal di Jayapura, artinya keuangan memang cukup. Yang menarik, para penghuni gubuk yang datang dari daerah pedalaman itu sebagian besar bercita-cita menjadi guru. Tak jelas mengapa, tapi kedudukan guru dalam masyarakat di pedalaman Ir-Ja memang dihormati. Guru, sesudah pendeta dan pastor adalah tempat bertanya masyarakat. "Pendeta, pastor dan guru selalu dekat dengan masyarakat," tutur John Keranop 24 tahun, mahasiswa tingkat II FK. "Itu mungkin disebabkan petugas pemerintah jarang berada di tempat." Si John ini, yang datang ke Jayapura dari Muyu, 300 km dari Merauke, pun ingin menjadi guru di daerahnya, meski motifnya begitu lumrah. "Supaya dekat orang tua dan saudara." Bahkan di daerah Biak, menurut Adrianus Kawer, 24 tahun, mahasiswa FIHES asal Biak, "banyak orang tua yang mempunyai anak gadis, ingin punya menantu guru. " Lalu mengapa Adrianus tak masuk FK atau FIP? Ia hanya tertawa lebar. Tentu saja, kecuali soal kedudukan guru dalam masyarakat, dorongan menjadi guru didasari pula motif pribadi. Ayub Pikei, 22 tahun, mahasiswa tingkat III FIP terdorong menjadi guru karena melihat generasi muda di daerahnya yang begitu bersemangat belajar tapi miskin. Itulah yang membuatnya tetap teguh, menghuni gubuk lebih dari 3 tahun, tanpa semangatnya menjadi luntur. Lain dengan Simyapen, misalnya. Meski ia pun bercita-cita menjadi guru, tapi ingin ditempatkan di Jawa. "Supaya dapat istri perempuan Jawa," katanya. Antara gubuk dan cita-cita menjadi guru barangkali tak ada hubungan langsung. Yang bisa diharap sementara ini, mereka para penghuni gubuk itu, akan menjadi guru yang mampu menularkan semangat belajar yang tinggi kepada anak didiknya, nanti. Sebab, menurut pengamatan mahasiswa asal Fak-Fak, Umar Chottob Renhoren, 25 tahun, misalnya, "semangat belajar anak-anak di pedalaman mula-mula kuat. Melemahnya semangat itu disebabkan kemiskinan, sehingga mereka tak melanjutkan lagi setelah lulus SD."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus