Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Andika Perkasa menyatakan akan mempelajari dugaan korupsi pembelian helikopter AW101.
Kasus helikopter AW101 dinilai menjadi tantangan bagi Andika dalam pemberantasan korupsi di TNI.
Ada selisih pembelian sekitar Rp 224 miliar per satu helikopter AW101.
SEBULAN lebih menjadi Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jenderal Andika Perkasa berhadapan dengan kasus dugaan korupsi di lembaganya, yaitu kasus korupsi helikopter AgustaWestland (AW) 101. “Saya janji akan menelusuri ke internal kami, dari penyidik maupun oditur,” ujar Andika di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Selasa, 28 Desember 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TNI Angkatan Udara telah menghentikan kasus yang menjerat sejumlah perwira tinggi dan menengah korps biru langit itu. Namun Komisi Pemberantasan Korupsi masih menelusurinya. Andika berjanji akan berkoordinasi dengan KPK untuk membahas perkara yang mencuat pada 2017 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga orang yang mengetahui perkara itu menyebutkan Andika telah menugasi anak buahnya untuk mempelajari kasus pembelian heli AW101 senilai Rp 738 miliar tersebut. Jenderal TNI itu diminta mempelajari keluarnya surat penghentian penyidikan perkara yang diteken oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo pada 23 dan 31 Agustus 2021.
Surat itu menghentikan penyidikan lima tersangka yang sebelumnya diusut oleh Pusat Polisi Militer TNI pada 2017. Mereka adalah mantan Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal Muda Purnawirawan Suprianto Basuki; dan Wakil Gubernur Akademi TNI AU Marsekal Pertama Fachri Adamy.
Selanjutnya mantan Sekretaris Dinas Pengadaan Angkatan Udara, Kolonel Purnawirawan Fransiskus Teguh Santosa; dan Kepala Seksi Garbiaku Korps Pasukan Khusus Khas Lapangan Udara Sulaiman, Bandung, Letnan Kolonel Wisnu Wicaksono. Yang terakhir Pembantu Letnan Dua Sigit Suwastono dari Bagian Urusan Bayar Pemegang Kas Dinas Keuangan TNI Angkatan Udara.
Dalam lima surat itu, Fadjar Prasetyo menyatakan penghentian perkara dilakukan karena tak ditemukan bukti dalam kasus pembelian AW101. “Perlu dihentikan penyidikannya,” ucap Fadjar seperti dikutip dalam surat tersebut.
Fadjar juga menuliskan sejumlah rujukan sehingga penyidikan kasus ini dihentikan, yaitu surat Oditur Jenderal TNI yang berisi petunjuk penyelesaian perkara dan warkat Kepala Oditurat Militer Tinggi II Jakarta mengenai Pendapat Hukum dan Saran Penyelesaian Perkara. Tertulis juga dalam surat itu, penyidikan bisa dibuka kembali jika ditemukan alat bukti.
Selain itu, barang sitaan terhadap dua orang dikembalikan karena dianggap tak berkaitan dengan perkara, yaitu uang Rp 7,3 miliar yang disita dari Letnan Kolonel Wisnu Wicaksono serta telepon seluler dan kamera digital milik Marsekal Pertama Fachri Adamy.
Dimintai tanggapan, Jenderal Andika Perkasa hanya membaca pesan dari Tempo. Pada Ahad, 2 Januari lalu, ia menyatakan baru mempelajari kasus itu. “Setelah saya memahami, baru akan dijelaskan ke publik,” ujarnya. Inspektur Jenderal TNI Letnan Jenderal Bambang Suswantono irit bicara. “Silakan dengan Panglima,” tutur mantan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden ini.
Adapun Fadjar Prasetyo enggan berkomentar ihwal penghentian penyidikan perkara tersebut. Ia meminta Tempo menghubungi Kepala Dinas Penerangan Marsekal Pertama Indan Gilang Buldansyah. Indan mengatakan akan berkoordinasi dengan Dinas Hukum TNI Angkatan Udara. “Saya kabari jika sudah ada info,” ujarnya. Hingga Sabtu, 8 Januari lalu, Indan tak memberikan jawaban.
Direktur Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi mengatakan kasus AW101 menjadi tantangan bagi Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dalam menghadapi dugaan korupsi di TNI. Apalagi, selama ini, ia kerap bergerak cepat jika ada persoalan yang terkait dengan keuangan TNI.
Khairul mencontohkan, saat menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Andika marah karena ada pemotongan uang makan siswa pendidikan bintara. “Kasus helikopter AW ini bisa menjadi acuan apakah Andika mendukung pemberantasan korupsi atau tidak,” katanya.
Pengadaan helikopter AgustaWestland 101 berawal dari Rencana Strategis TNI Angkatan Udara 2009-2014 yang akan membeli 16 helikopter combat search and rescue. Realisasinya, TNI AU membeli enam helikopter full combat SAR mission EC725 dari PT Dirgantara Indonesia pada 2012 dengan dana Kementerian Pertahanan. Nilai kontraknya 155,6 juta euro.
Sedangkan pengadaan 10 helikopter sisanya masuk Rencana Strategis TNI Angkatan Udara 2015-2019. Awalnya TNI AU mengincar helikopter full combat SAR mission EC725. Belakangan, Kepala Staf TNI AU ketika itu, Marsekal Agus Supriatna, mengusulkan pembelian AW101 sebagai helikopter very very important person (VVIP) untuk presiden.
Pembelian itu untuk menggantikan Europcopter EC225 Super Puma buatan PT Dirgantara yang sudah berumur lebih dari 20 tahun. Menurut Agus, ketika itu pemilihan AW101 sudah melalui kajian panjang serta memenuhi syarat keamanan, kenyamanan, dan keselamatan. AW101 diharapkan tiba di Indonesia pada April 2016 sehingga kontraknya harus segera dibuat.
Helikopter Agusta Westland (AW) 101. TEMPO/Imam Sukamto
Untuk mengejar kedatangan itu, PT Diratama Jaya Mandiri sebagai rekanan membayar uang muka US$ 1 juta kepada AgustaWestland pada Oktober 2015. Proses pun berjalan. Namun, pada akhir 2015, Presiden Joko Widodo menolak pengadaan heli VVIP itu. Dana pembelian helikopter itu sempat dibintangi oleh Kementerian Keuangan karena adanya penolakan tersebut.
Mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal Madya (Purnawirawan) Hadiyan Sumintaatmadja, menuturkan, ia ditugasi oleh Marsekal Agus Supriatna untuk bertemu dengan pejabat Kementerian Keuangan. Bersama Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Muda Purnawirawan Suprianto Basuki, Hadiyan bertemu dengan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo.
“Tiga hari setelah itu, anggaran tak lagi dibintangi. Artinya dana diperbolehkan untuk digunakan,” ujar Hadiyan kepada Tempo, Kamis, 6 Januari lalu. Panglima TNI saat itu, Jenderal Gatot Nurmantyo, mengirimkan surat untuk membatalkan pembelian AW101 kepada Agus Supriatna. Namun Agus tak menggubris.
Gatot menilai pengadaan helikopter AW101 penuh kejanggalan. Selain pengadaan berjalan lebih dulu, helikopter yang dibeli tak sesuai dengan pesanan awal, yaitu dari helikopter angkut menjadi AW101, lalu kembali menjadi helikopter angkut. “Menteri Pertahanan belum setuju, tapi kontrak langsung diteken,” tuturnya, Rabu, 5 Januari lalu.
Pembelian AW101 pun berlanjut, tidak untuk VVIP, melainkan helikopter angkut biasa. Heli angkut itu pun tiba di Indonesia pada Januari 2017 dan berada di Skuadron Udara 45 Halim Perdanakusuma.
Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh, pun ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 16 Juni 2017. Ketika itu KPK menganggap ada selisih pembelian satu unit kapal angkut AW101 sekitar Rp 224 miliar.
Empat tahun menjadi tersangka, Irfan berencana mengajukan lagi praperadilan atas kasusnya. Penyebabnya, TNI Angkatan Udara telah mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara. Pada November 2017, Irfan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi upaya hukum itu gagal.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menuturkan, selama ini penyidik lembaganya mengalami kesulitan mendapatkan dokumen pembelian heli AW101 dari TNI Angkatan Udara. Penghentian perkara di TNI pun menjadikan cantolan kasus yang diusut KPK tidak ada lagi karena tak ada penyelenggara negara yang terlibat. “Akan kami kaji lagi,” katanya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI, MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo