Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Pemerintah Indonesia menolak memulangkan warga bekas simpatisan ISIS di Suriah.
Pemerintah hanya akan memulangkan anak yatim-piatu berusia di bawah 10 tahun.
Ada ratusan warga Indonesia di Suriah yang terlunta-lunta di kamp pengungsian.
DI kamp pengungsian Al-Roj di kawasan timur laut Suriah, Ummu Abdul Jalil terdiam begitu membaca kabar melalui telepon selulernya. Warga negara Indonesia yang pernah bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu tak percaya terhadap keputusan pemerintah Indonesia yang hanya akan memulangkan anak-anak yatim-piatu berusia di bawah 10 tahun dari Suriah. “Kami sedih. Kami mau pulang bukan untuk membawa ideologi ISIS,” ujar Ummu kepada Tempo melalui aplikasi pesan Telegram, Kamis, 13 Februari lalu.
Ummu sudah hampir empat tahun berada di Suriah. Perempuan 25 tahun itu berangkat dari Indonesia melalui Turki pada Desember 2015 setelah keranjingan belajar agama di Internet dengan membaca-baca artikel di situs buatan ISIS. Salah satunya Azzammedia.net. Tapi baru enam bulan kemudian ia bisa masuk ke Suriah. Ummu bukan nama sebenarnya. Ia meminta nama aslinya tak ditulis dengan alasan keamanan.
Di Suriah, Ummu tinggal di Al-Bukamal bersama suaminya yang ia kenal saat singgah di Turki. Selama di Negeri Syam, lulusan Universitas Muhammadiyah Jakarta ini mengaku tak pernah mengikuti kegiatan ISIS. “Di rumah saja sebagai istri,” ucapnya. Belakangan, apa yang dibaca Ummu di dunia maya tak sesuai dengan kenyataan. Menurut dia, kebohongan ISIS mulai terbuka setelah beberapa pusat kekuatannya, seperti Mosul di Irak, jatuh ke pasukan Irak.
Setelah ISIS tersudut, Ummu beserta suaminya berencana kabur ke Desa Baghouz al-Fawqani di Dayr az-Zawr, sekitar 120 kilometer barat laut Al-Bukamal, pada Desember 2017. Tapi Ummu ditangkap pasukan Kurdi dan dibawa ke kamp pengungsian Al-Hawl di timur laut Suriah. Dua pekan tinggal di sana, ia dipindahkan ke kamp Al-Roj hingga sekarang. Kamp ini lebih manusiawi dibanding Al-Hawl, yang dihuni lebih dari 73 ribu pengungsi. Di Al-Roj, Ummu tinggal satu tenda bersama putranya yang berusia 3 tahun.
Di dalam tenda itu ada televisi tabung, matras, dan karpet bercorak bunga. Listrik di pengungsian pun tak pernah mati dan air selalu tersedia. Ummu menggunakan ponsel secara diam-diam. Sehari-hari ia mengurus anak, memasak, menonton film, membaca, dan berbincang-bincang dengan sesama pengungsi. “Enggak produktif,” katanya. “Semacam hidup sekadar hidup selama napas berembus.”
Tempo mengirimkan video yang menampilkan Ubaid Mustofa Mahdi, salah satu tahanan asal Indonesia di penjara Derik. Ummu langsung mengenalinya sebagai Abu Tsabitah. Istri dan anak Ubaid alias Abu Tsabitah satu kamp dengan Ummu. Di Al-Roj, ada sekitar 50 warga Indonesia yang terdiri atas perempuan dan anak-anak. Menurut Ummu, istri Ubaid tidak mau melihat video suaminya tersebut. “Daripada sedih,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo