Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Agus Widjojo adalah wajah proreformasi di tubuh TNI. Ketika Orde Baru digulingkan, ia memimpin Fraksi TNI/Polri di DPR-MPR untuk mundur. Ia pun menyusun konsep reformasi tentara yang disebut “Paradigma Baru TNI”. Salah satu agendanya adalah menghapus peran tentara di dunia politik. Maka, ketika tentara mencoba-coba kembali ke dunia sipil, publik berpaling kepada Agus Widjojo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Agenda reformasi TNI kembali menjadi perbincangan setelah Presiden Joko Widodo dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mencuatkan usul revisi Undang-Undang TNI. Lebih jauh lagi, Hadi mengusulkan agar kementerian dan lembaga pemerintah menyerap lebih banyak perwira TNI.
Menurut Agus, 71 tahun, jenderal-jenderal yang tak memiliki jabatan struktural menjadi salah satu tanda bahwa manajemen personel di TNI belum profesional. Seharusnya, kata dia, pemimpin TNI mengantisipasi hal tersebut sejak Undang-Undang TNI disahkan pada 2004. Agus pun menilai masih ada agenda reformasi yang tersendat.
Berikut ini petikan wawancara wartawan Tempo Friski Riana dengan Agus Widjojo di ruang kerjanya pada Kamis, 7 Februari 2019.
Mengapa banyak jenderal tidak punya jabatan setelah reformasi?
Ini mulai terjadi sejak perpanjangan masa dinas aktif untuk perwira yang tadinya pensiun 55 tahun menjadi 58 tahun. Tapi seharusnya ini bisa diantisipasi. Jika setelah reformasi itu TNI difokuskan pada tugas pokok, yaitu pertahanan nasional, maka perencanaan personelnya harus diantisipasi. Misalnya masuk sekolah staf dan komando angkatan. Ini harus difungsikan sebagai sarana seleksi, agar tidak jebol semuanya ke atas. Jadi, kelihatannya, apa yang terjadi pada hari ini merupakan akibat kelemahan manajemen internal yang belum profesional.
Ada wacana untuk menempatkan perwira TNI pada kementerian dan lembaga. Pendapat Anda?
Jalan keluar itu harus tetap mempertimbangkan kepentingan nasional dari segala perspektif. Kalau akan mengisi jabatan birokrasi, jangan hanya dilihat dari kepentingan TNI. Juga harus dilihat dari kepentingan bahwa kementerian itu juga punya pegawai yang memiliki karier. Selama ini perwira aktif memang dapat mengisi sejumlah jabatan di kementerian, tapi sangat terbatas, hanya berkaitan dengan fungsi-fungsi pertahanan dan keamanan.
Bagaimana Anda melihat jalannya reformasi TNI selama ini?
Menurut saya, agak tersendat. Masih ada pola pikir masa lalu yang tersisa, yaitu TNI masih terlalu memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah dalam negeri. Padahal seharusnya memusatkan perhatian pada ancaman militer dari luar negeri. Kemarin ada berita Tiongkok akan mengembangkan kapal induk nuklir. Apakah kita siap menghadapi itu? Sedangkan keamanan dalam negeri adalah fungsi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. TNI tidak terlibat di dalamnya.
Misalnya dalam hal apa TNI terlalu fokus pada urusan dalam negeri?
Misalnya ada kasus babinsa (bintara pembina desa) yang bisa ditafsirkan mendorong penduduk untuk memilih salah satu calon seperti pada pemilu masa lalu. Ada juga kemudian upaya pencetakan sawah baru oleh tentara. Padahal tentara itu baru terlibat jika institusi fungsional sudah tidak mampu melaksanakan tugas itu. Lalu, harus dipikirkan juga apakah bintara itu tidak meninggalkan tugas pokok TNI untuk tugas utama, yaitu perang, saat melakukan kegiatan lain?
Bagaimana Anda melihat wacana restrukturisasi TNI yang dilontarkan Presiden dan Panglima?
Restrukturisasi itu perubahan struktur organisasi. Tapi, kalau penempatan personel TNI ke luar struktur dan masuk ke dalam kementerian, itu bukan restrukturisasi. Setiap jabatan dalam organisasi TNI itu sudah ada indeks pangkatnya dan harus tetap memelihara bentuk piramida. Tidak bisa asal dikembangkan saja dan tidak boleh menjadi gemuk. Misalnya, jabatan bintang empat harus lebih sedikit dari bintang tiga, dan seterusnya.