Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Pertahanan DPR Fadli Zon mengatakan permintaan Presiden Joko Widodo alias Jokowi kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk mengelola informasi intelijen di berbagai instansi tidak menjadi soal. Musababnya, kata dia, sifatnya hanya koordinasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya kira ngga ada masalah kalau misalkan itu keinginan Presiden. Dalam arti kan koordinasi, sifatnya. Karena biasanya kan badan intelijen itu langsung kepada Presiden,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 24 Januari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut politikus Gerindra itu, permintaan kepada Kementerian Pertahanan untuk mengorkestrasi informasi intelijen yang tersebar di berbagai instansi itu merupakan hak Presiden. Ia menilai Jokowi ingin informasi intelijen yang beragam itu bisa dipadukan di Kementerian Pertahanan. Dia menyebut sistem ini juga diterapkan di sejumlah negara lain.
Adapun Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia atau PBHI menilai langkah Presiden Jokowi yang menginginkan Kementerian Pertahanan menjadi koordinator intelijen di Indonesia berpotensi mengancam kebebasan sipil. Selain itu, mereka menilai langkah Jokowi itu melanggar konstitusi karena Kementerian Pertahanan merupakan satu dari tiga kementerian yang tidak bisa diubah maupun dibubarkan.
Kendati demikian, menurut Fadli, keputusan Jokowi itu tidak melanggar konstitusi. Pasalnya, kata dia, sifat koordinasi yang dimaksud berupa flow of information alias alur informasi. Sehingga, Kementerian Pertahanan tidak mengambil tanggung jawab instansi intelijen sepenuhnya.
“Sifatnya itu koordinatif, ya. Tetap sesuai dengan perundang-undangan. Tapi hal itu saya kira menyangkut masalah flow of information, bagian dari koordinasi. Bukan tanggung jawab sepenuhnya,” kata dia.
Selanjutnya, soal pernyataan Jokowi di acara Kemhan...
Sebelumnya, Presiden Jokowi memenuhi undangan Prabowo Subianto untuk hadir dalam Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan Tahun 2023. Dalam pertemuan itu, Jokowi memerintahkan Prabowo untuk bisa mengorkestrasi alias memadukan informasi intelijen yang tersebar di berbagai instansi.
"Di dalam saya menyampaikan pentingnya Kemenhan menjadi orkestrator bagi informasi-informasi intelijen di semua lini yang kita miliki," kata Jokowi usai memberikan arahan dalam rapat yang digelar di Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Rabu, 18 Januari 2022.
Jokowi menyebut informasi intelijen yang bakal dipadukan Kementerian Pertahanan berasal dari BIN (Badan Intelijen Negara), Polri, sampai Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
"Semuanya itu harus diorkestrasi sehingga menjadi info yang solid, tiap info itu diberikan ke kita untuk membangun sebuah kebijakan," kata Jokowi singkat.
Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan pernyataan Presiden Jokowi jelas melanggar UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen negara, dari segi fungsi, struktur tata negara, dan tujuan dari intelijen itu sendiri.
“Pernyataan ini juga akan mengaburkan tata kelola kenegaraan karena Kementerian Pertahanan bukan leading sector dari pengelolaan informasi terkait dengan keamanan negara. Kementerian Pertahanan bukanlah lembaga yang menurut undang-undang sebagai lembaga koordinasi intelijen negara,” kata Julius Ibrani dalam pernyataan tertulis, Ahad, 22 Januari 2023.
Ia menjelaskan, pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 menegaskan Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.
Julius mengatakan definisi tersebut menjelaskan fungsi intelijen sebagai bahan perumusan kebijakan dan straegi nasional, yang menstrukturkan hierarki instansi sektoral (TNI, Polri, Kejaksaan, Kementerian/Lembaga) sebagai pengumpul informasi dan fakta, seperti tercantum pada pasal 9, melalui isu dan perspektif sektoral, sehingga dapat dirumuskan secara holistik dan komprehensif oleh koordinator Intelijen, yakni BIN, yang dirinci pada pasal 38.
Perpres Nomor 67 tahun 2013 tentang Koordinasi Intelijen Negara, menegaskan kembali relasi fungsi dan hierarki tersebut dalam pasal 3, yakni "BIN sebagai koordinator penyelenggara Intelijen Negara bertugas mengoordinasikan penyelenggaraan Intelijen Negara; memadukan produk Intelijen; melaporkan penyelenggaraan koordinasi Intelijen Negara kepada Presiden; dan mengatur dan mengoordinasikan Intelijen pengamanan.”
“Menempatkan Kementerian Pertahanan di atas BIN jelas melanggar UU No. 17/2011, dan justru terlihat hendak mengutamakan pendekatan sektoral pertahanan yang bernuansa militerisme, dan artinya isu pertahanan membawahi isu hukum, hak asasi manusia, dan lainnya, dan berpotensi semakin menjauhkan kebijakan negara dari supremasi dan kebebasan sipil sebagai mandat reformasi,” ujar Julius.
Ia mengatakan mengubah posisi Kementerian Pertahanan dalam fungsi dan strukur intelijen juga melanggar konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945 karena mengubah Kementerian Pertahanan secara ketatanegaraan. Padahal, Kementerian Pertahanan adalah 1 dari 3 Kementerian yang tidak dapat dibubarkan atau diubah Presiden karena diatur langsung oleh konstitusi UUD 45.
“Presiden Jokowi telah merusak fungsi dan struktur intelijen berbasis prinsip dasar sebagaimana UU No. 17/2011, bahkan berpotensi mengubah Kementerian Pertahanan yang artinya melanggar konstitusi. Jangan sampai, pendekatan militerisme yang anti-supremasi sipil jadi basis utama fungsi intelijen ke depannya,” tuturnya.
PBHI juga menegaskan Presiden Jokowi agar tidak mempolitisasi Kementerian Pertahanan melalui perubahan fungsi dan struktur intelijen hanya karena investasi politik melalui Menhan Prabowo. PBHI khawatir ini menjadi ajang peralihan pijakan politik dari parpol pendukung dan seluruh komponennya ke calon penguasa yang baru.
IMA DINI SHAFIRA | EKA YUDHA