YANG diberitakan sebagai "penelitian keperawanan" bulan lalu,
setelah diselidiki, ternyata tak pernah ada. Tapi perhatian
terhadap masalah sex di kalangan remaja Indonesia kini tetap
hidup rupanya. Majalah untuk remaja puteri Gadis (oplah: sekitar
70.000) dalam nomor awal Januari ini menampilkan satu hasil
pengumpulan pendapat lewat angket yang menarik: "Pandangan
remaja tentang kegadisan dalam perkawinan." Yang menjawab angket
sebanyak 283 remaja -- lebih dari 50% dari 400 orang yang
dikirimi amplop buat menjawab.
Orang di belakang angket itu ialah Sarlito Wirawan, 35 tahun
doktor psikologi Universitas Indonesia. Ia terdorong mengadakan
angket tersebut karena membaca hasil penelitian sejenis terhadap
remaja elit Filipina. Di sana, ternyata sikap remaja prianya
menimbulkan persoalan. Para remaja pria Filipina setuju saja
adanya hubungan sex sebelum perkawinan, tetapi mereka tetap
menghendaki isteri yang masih perawan. Karena itu lalu Sarlito
"ingin melihat bagaimana pandangan remaja kita mengenai
pergaulan sex."
Faktor Orangtua
Hasilnya ternyata tidak mencemaskan -- meski Sarlito sendiri
ragu, bagaimana kalau para remaja itu nanti meningkat sedikit
dewasa.
Dari ansket Gadis tersebut 227 remaja tidak setuju adanya
hubungan sex sebelum menikah -- jadi lebih dari 75%. Ini sesuai
pula dengan angket Gadis, di tahun lalu, tentang pengetahuan sex
di kalangan remaja: sebagian besarnya menyatakan tidak setuju.
Dan dari penelitian yang dilakukan dua sarjana psikologi UI --
Ny. Saparinah Sadli dan Zainul Biran -- pada akhir tahun 1972,
dari 1156 pelajar SLA di Jakarta ternyata sebagian besar juga
tak menyetujui juga hubungan sex sebelum menikah.
Apa sebabnya? Angket itu mencoba menebak latar belakang yang
menyebabkan adanya sikap menolak dan menerima. Sarlito
--berdasarkan hasil angketnya -- mengatakan bahwa agama adalah
faktor penghambat utama. Mereka yang taat beribadat (ada 186,
sekitar 65%) bersikap lebih ketat. Namun ini belum tentu karena
agamanya. Mungkin karena faktor orangtua. Disimpulkan oleh
Sarlito, remaja yang tekun beribadat tentulah orangtuanya
mempunyai kontrol ketat terhadap mereka. Sebuah riset yang
dijalankan seorang mahasiswa psikologi di antara para hostes di
Jakarta beberapa waktu yang lalu memperoleh kesimpulan agama tak
berpengaruh terhadap sikap pergaulan sex seseorang. Ternyata
banyak hostes yang tekun beribadat.
Adapun faktor yang mendorong adanya sikap lebih longgar ada
beberapa. Pertama tentu saja lingkungan hidup. Mereka yang hidup
di kota besar (dari angket ini hanya 67 yang datang dari kota
kecil) ternyata lebih bersikap tak teramat ketat. Ini mungkin
pengaruh kebudayaan kota, film, majalah, buku dan lainnya. Dan
dari kalangan yang punya status tinggi, keluarga direktur
perusahaan besar misalnya, sikap longgar itu makin mendapatkan
prosentase besar.
Mereka yang berkesempatan ke luar negeri, juga lebih menampakkan
sikap "serba boleh" itu. Dengan demikian apakah tidak bisa
ditarik kesimpulan, bahwa dari kalangan berada sikap "serba
boleh" itu kuat? "Bukan status sosialnya, terutama. Tapi soal
hubungan anak-orangtua. Memang benar bagi yang kaya dunia makin
terbuka luas. Karena itu diperlukan kontrol yang lebih besar.
Tapi selama orangtua masih dominan, masih berwibawa, kontrol
akan bisa dijalankan dengan baik," bantah Sarlito.
Sudah Terlanjur
Masalahnya kemudian, sempatkah anak-anak itu ketemu orangtuanya?
Dengan hanya 283 remaja itu memang tak bisa ditarik satu
kesimpulan umum. Dari jumlah itu, yang mengaku ketemu orangtua
setiap hari ada 240 anak. Tapi bagaimana sifat pertemuan itu,
kurang tergambar.
Yang juga mempengaruhi adanya sikap longgar terhadap hubungan
sex sebelum menikah ialah pendidikan ibu. Makin tinggi
pendidikan ibu makin longgar sikap si remaja. Tetapi ternyata
grafik itu tak langsung lurus ke atas. Ada mencengnya. Kesediaan
menerima kenyataan anaknya hamil sebelum menikah bagi ibu-ibu
berpendidikan SD dan SMP, rupanya bukan karena luas wawasannya,
tapi justru sebaliknya. Ibuibu itu tak cukup punya alternatif
selain menyetujui. 'Kan sudah terlanjur? Sedangkan yang
berpendidikan SMA lebih tegas mengatakan "langsung putus"
hubungan dengan pacar yang membuatnya hamil.
Latar belakang lain ialah soal suku bangsa. Sebagian besar
peserta angket bersuku Jawa (126), lalu keturunan Cina (63),
kemudian suku Sunda (36), Minang (14), Tapanuli (10), Minahas
(7) dan suku-suku lain (Maluku, Makasar, lrian, Betawi dan
lain-lainnya) berjumlah 27. Menurut hasil angket ternyata suku
Minahasa paling besar prosentasenya dalam sikap "serba boleh'
soal sex ini. Ini sesuai dengan hasil penelitian Ny. Saparinah
Sadli dan Zainul Biran akhir tahun 1972, yang urutannya
demikian: suku Minahasa, lalu Jawa, Betawi, Minangkabau, Maluku,
Tionghoa, Sunda dan Tapanuli.
Yang mungkin berpengaruh ialah jenis, kegiatan di luar sekolah.
Ternyata para remaja pencinta alam lebih "serba boleh "
sikapnya. "Mereka yang lebih suka ke gunung pada dasarnya lebih
permisif daripada yang tidak suka. Ke gu nung merupakan
kegiatan yang jauh dari keluarga, dari orangtua dan kesempatan
terbuka lebih besar," kata Sarlito.
Remaja peserta angket itu 27 pria dan 256 wanita. Ternyata yang
pria lebih bersikap "serba boleh" (lebih dari 30%). Namun lain
dari remaja pria Filipina, remaja pria kita lebih konsekwen.
Artinya, mereka juga tak menuntut keperawanan calon pengantin
wanita mereka.
Angket ini memang terbatas. "Apa itu bisa diproyeksikan lebih
luas, memerlukan pemikiran yang hati-hati, " kata Sarlito.
Apalagi hasil satu angket dengan angket lain bisa bertentangan.
Pada angket Gadis, tahun 1978, misalnya, ternyata remaja yang
Katolik lebih cenderung bersikap "serba boleh". Sementara hasil
angket Gadis, terakhir ini, |yang memeluk Katolik ternyata lebih
ketat dibanding dengan yang beragama udha dan Kristen
Protestan.