Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Kali Ini: Angket Keperawanan

Remaja Indonesia tidak menyetujui hubungan sex sebelum pernikahan. alasannya: faktor agama, orang tua. Yang mendorong adanya sikap lebih longgar adalah faktor lingkungan hidup, pendidikan ibu, dll. (pdk)

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG diberitakan sebagai "penelitian keperawanan" bulan lalu, setelah diselidiki, ternyata tak pernah ada. Tapi perhatian terhadap masalah sex di kalangan remaja Indonesia kini tetap hidup rupanya. Majalah untuk remaja puteri Gadis (oplah: sekitar 70.000) dalam nomor awal Januari ini menampilkan satu hasil pengumpulan pendapat lewat angket yang menarik: "Pandangan remaja tentang kegadisan dalam perkawinan." Yang menjawab angket sebanyak 283 remaja -- lebih dari 50% dari 400 orang yang dikirimi amplop buat menjawab. Orang di belakang angket itu ialah Sarlito Wirawan, 35 tahun doktor psikologi Universitas Indonesia. Ia terdorong mengadakan angket tersebut karena membaca hasil penelitian sejenis terhadap remaja elit Filipina. Di sana, ternyata sikap remaja prianya menimbulkan persoalan. Para remaja pria Filipina setuju saja adanya hubungan sex sebelum perkawinan, tetapi mereka tetap menghendaki isteri yang masih perawan. Karena itu lalu Sarlito "ingin melihat bagaimana pandangan remaja kita mengenai pergaulan sex." Faktor Orangtua Hasilnya ternyata tidak mencemaskan -- meski Sarlito sendiri ragu, bagaimana kalau para remaja itu nanti meningkat sedikit dewasa. Dari ansket Gadis tersebut 227 remaja tidak setuju adanya hubungan sex sebelum menikah -- jadi lebih dari 75%. Ini sesuai pula dengan angket Gadis, di tahun lalu, tentang pengetahuan sex di kalangan remaja: sebagian besarnya menyatakan tidak setuju. Dan dari penelitian yang dilakukan dua sarjana psikologi UI -- Ny. Saparinah Sadli dan Zainul Biran -- pada akhir tahun 1972, dari 1156 pelajar SLA di Jakarta ternyata sebagian besar juga tak menyetujui juga hubungan sex sebelum menikah. Apa sebabnya? Angket itu mencoba menebak latar belakang yang menyebabkan adanya sikap menolak dan menerima. Sarlito --berdasarkan hasil angketnya -- mengatakan bahwa agama adalah faktor penghambat utama. Mereka yang taat beribadat (ada 186, sekitar 65%) bersikap lebih ketat. Namun ini belum tentu karena agamanya. Mungkin karena faktor orangtua. Disimpulkan oleh Sarlito, remaja yang tekun beribadat tentulah orangtuanya mempunyai kontrol ketat terhadap mereka. Sebuah riset yang dijalankan seorang mahasiswa psikologi di antara para hostes di Jakarta beberapa waktu yang lalu memperoleh kesimpulan agama tak berpengaruh terhadap sikap pergaulan sex seseorang. Ternyata banyak hostes yang tekun beribadat. Adapun faktor yang mendorong adanya sikap lebih longgar ada beberapa. Pertama tentu saja lingkungan hidup. Mereka yang hidup di kota besar (dari angket ini hanya 67 yang datang dari kota kecil) ternyata lebih bersikap tak teramat ketat. Ini mungkin pengaruh kebudayaan kota, film, majalah, buku dan lainnya. Dan dari kalangan yang punya status tinggi, keluarga direktur perusahaan besar misalnya, sikap longgar itu makin mendapatkan prosentase besar. Mereka yang berkesempatan ke luar negeri, juga lebih menampakkan sikap "serba boleh" itu. Dengan demikian apakah tidak bisa ditarik kesimpulan, bahwa dari kalangan berada sikap "serba boleh" itu kuat? "Bukan status sosialnya, terutama. Tapi soal hubungan anak-orangtua. Memang benar bagi yang kaya dunia makin terbuka luas. Karena itu diperlukan kontrol yang lebih besar. Tapi selama orangtua masih dominan, masih berwibawa, kontrol akan bisa dijalankan dengan baik," bantah Sarlito. Sudah Terlanjur Masalahnya kemudian, sempatkah anak-anak itu ketemu orangtuanya? Dengan hanya 283 remaja itu memang tak bisa ditarik satu kesimpulan umum. Dari jumlah itu, yang mengaku ketemu orangtua setiap hari ada 240 anak. Tapi bagaimana sifat pertemuan itu, kurang tergambar. Yang juga mempengaruhi adanya sikap longgar terhadap hubungan sex sebelum menikah ialah pendidikan ibu. Makin tinggi pendidikan ibu makin longgar sikap si remaja. Tetapi ternyata grafik itu tak langsung lurus ke atas. Ada mencengnya. Kesediaan menerima kenyataan anaknya hamil sebelum menikah bagi ibu-ibu berpendidikan SD dan SMP, rupanya bukan karena luas wawasannya, tapi justru sebaliknya. Ibuibu itu tak cukup punya alternatif selain menyetujui. 'Kan sudah terlanjur? Sedangkan yang berpendidikan SMA lebih tegas mengatakan "langsung putus" hubungan dengan pacar yang membuatnya hamil. Latar belakang lain ialah soal suku bangsa. Sebagian besar peserta angket bersuku Jawa (126), lalu keturunan Cina (63), kemudian suku Sunda (36), Minang (14), Tapanuli (10), Minahas (7) dan suku-suku lain (Maluku, Makasar, lrian, Betawi dan lain-lainnya) berjumlah 27. Menurut hasil angket ternyata suku Minahasa paling besar prosentasenya dalam sikap "serba boleh' soal sex ini. Ini sesuai dengan hasil penelitian Ny. Saparinah Sadli dan Zainul Biran akhir tahun 1972, yang urutannya demikian: suku Minahasa, lalu Jawa, Betawi, Minangkabau, Maluku, Tionghoa, Sunda dan Tapanuli. Yang mungkin berpengaruh ialah jenis, kegiatan di luar sekolah. Ternyata para remaja pencinta alam lebih "serba boleh " sikapnya. "Mereka yang lebih suka ke gunung pada dasarnya lebih permisif daripada yang tidak suka. Ke gu nung merupakan kegiatan yang jauh dari keluarga, dari orangtua dan kesempatan terbuka lebih besar," kata Sarlito. Remaja peserta angket itu 27 pria dan 256 wanita. Ternyata yang pria lebih bersikap "serba boleh" (lebih dari 30%). Namun lain dari remaja pria Filipina, remaja pria kita lebih konsekwen. Artinya, mereka juga tak menuntut keperawanan calon pengantin wanita mereka. Angket ini memang terbatas. "Apa itu bisa diproyeksikan lebih luas, memerlukan pemikiran yang hati-hati, " kata Sarlito. Apalagi hasil satu angket dengan angket lain bisa bertentangan. Pada angket Gadis, tahun 1978, misalnya, ternyata remaja yang Katolik lebih cenderung bersikap "serba boleh". Sementara hasil angket Gadis, terakhir ini, |yang memeluk Katolik ternyata lebih ketat dibanding dengan yang beragama udha dan Kristen Protestan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus