Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Salah Kaprah Menindak Kejahatan Seksual

Pegiat hukum menentang pendekatan restorative justice dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Kasus pemerkosaan pegawai Kementerian Koperasi dan UKM menjadi buktinya. 

25 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Kalangan pegiat hukum menilai pendekatan restorative justice, yaitu penyelesaian tindak pidana yang berfokus pada mediasi hingga perdamaian, tidak tepat digunakan dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Apalagi jika caranya dijadikan alasan untuk menghentikan proses penyidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jawa Barat, Ratna Batara Munti, menyesalkan keputusan polisi menutup kasus dugaan pemerkosaan terhadap seorang pegawai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang sedang ditanganinya. Polisi, kata dia, berdalih pelaku dan korban telah berdamai dengan menikah. “Ini sangat tidak tepat, merugikan hak-hak korban atas keadilan dan hak atas pemulihan,” kata Ratna, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Ratna, restorative justice tidak bisa dijadikan alasan untuk penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). “Apalagi kasus pemerkosaan ini delik biasa, bukan delik aduan,” ujarnya.

Dalam kasus tersebut, seorang korban berinisial N melaporkan empat pelaku kasus pemerkosaan kepada Kepolisian Resor Kota (Polresta) Bogor pada akhir Desember 2019. Saat itu, N adalah pegawai honorer Kementerian Koperasi dan UKM. Adapun para pelakunya diduga pegawai Kementerian Koperasi dan UKM.

Pada 1 Januari 2020, Polresta Bogor menetapkan empat pelaku sebagai tersangka dan menahan keempatnya atas dugaan tindak asusila. Namun, belakangan, polisi menutup kasus ini dengan mengeluarkan SP3 Nomor S.PPP/238/III/RES.1.24/2020 tertanggal 18 Maret 2020. Surat itu terbit hanya berselang beberapa hari setelah ZPA, seorang pelaku, menikahi korban.  

Kasus ini kembali ramai menjadi perbincangan setelah Konde.co, portal berita yang mengusung perspektif perempuan dan minoritas, menerbitkan berita tentang nasib terbaru N dan keluarganya. ZPA dikabarkan menggugat cerai N pada 17 Oktober lalu. Seiring dengan itu, terungkap dugaan perdamaian dua tahun lalu dilatarbelakangi adanya intimidasi dari keluarga pelaku kepada korban dan keluarganya. Polisi ditengarai juga mendorong perdamaian tersebut.  

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bogor, Komisaris Dhoni Erwanto, membenarkan adanya SP3 dalam kasus tersebut. Salah satu pertimbangannya, kata dia, adalah adanya pernikahan serta perjanjian antara korban dan pelaku. "Serta ada lampiran surat permohonan pencabutan laporan polisi yang ditujukan kepada Kapolresta Bogor Kota Up. Kasat Reskrim pada 3 Maret 2020," kata Dhoni saat dimintai konfirmasi, kemarin.

Ratna Batara menyatakan keluarga korban tidak pernah mencabut laporan dan tak mengetahui adanya penghentian penyidikan tersebut. Kini, untuk itu, LBH APIK Jawa Barat akan segera mengajukan gugatan praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan kepolisian dalam kasus ini.

Ratna mempersoalkan kepolisian yang menganggap bahwa perjanjian damai berarti perkara hukum tidak dilanjutkan. “Padahal itu dua hal berbeda. Damai itu tidak bisa menjadi dasar perkara hukum terhenti karena tidak ada pencabutan laporan," ujarnya.

Menyimak kasus yang dialami N, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, merasa miris. Dalam menangani tindak pidana kekerasan seksual, penegak hukum semestinya mengutamakan kepentingan korban. “Jangan sampai justru korban menjadi 'korban' berulang, korban yang mendapat kekerasan berlipat-lipat,” kata Isnur. “Korban sudah diperkosa berarti seharusnya pelaku kena pasal pidana. Bukan malah diampuni dengan cara korban dan pelaku dinikahkan. Itu tidak boleh.”

Konferensi pers terkait kasus dugaan kekerasan seksual oleh PNS KemenKopUKM kepada pegawai honorer KemenKopUKM pada 2019 di Jakarta, 24 Oktober 2022. Dok. KemenKopUKM

Semangat mengutamakan kepentingan korban itu pulalah yang melatarbelakangi penerbitan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Penanganan kasus kekerasan seksual harus mengacu pada aturan tersebut.

Menurut Isnur, restorative justice adalah cara lama yang merupakan bagian dari impunitas. "Cara untuk melindungi pelaku. Itu adalah tindakan yang keliru. Seharusnya adanya perlindungan maksimal untuk korban dan hukuman maksimal untuk pelaku," tuturnya. "SP3 untuk kasus ini sungguh aneh."

Pakar hukum Ninik Rahayu juga menyesalkan kasus tersebut. Kendati ketika pemerkosaan terjadi UU TPKS belum diundangkan, Pasal 286 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jelas menyebutkan, "Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun."

Adanya ancaman hukuman 9 tahun kurungan itulah, kata Ninik, yang mewajibkan kepolisian menahan para pelaku. “Artinya kasus ini bukan dari aduan, melainkan tindak kriminal murni yang tidak bisa diselesaikan secara restorative justice," ujarnya. "Apalagi pelakunya juga orang dewasa, bukan anak-anak.”

Fakta bahwa korban dinikahkan dengan pelaku semakin membuat mantan anggota Ombudsman RI itu tak habis pikir. "Itu kesalahan yang luar biasa," kata Ninik. "Saya bersama kawan-kawan pembela akan terus memperjuangkan keadilan dalam kasus ini. Hak-hak korban harus dipenuhi.”

Isu restorative justice dalam kasus kekerasan seksual ini juga menjadi perhatian Ombudsman RI. Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih, memastikan lembaganya akan ikut mengawal kasus ini. Ombudsman, kata dia, juga telah menerima laporan dari korban.

Menurut Najih, Ombudsman menduga telah terjadi maladministrasi dalam penanganan kasus pemerkosaan yang berujung pada penghentian penyidikan ini. Saat ini, timnya masih memeriksa sejumlah pihak yang berkaitan dengan kasus tersebut. "Seharusnya tidak ada restorative justice dalam kasus ini karena hal ini meninggalkan trauma bagi korban," kata Najih. Dia berharap pimpinan penegak hukum berkomitmen agar pengambilan putusan memihak korban kekerasan seksual.

DEWI NURITA | FENTI GUSTINA (MAGANG) | HELMALIA PUTRI (MAGANG) | ILONA PIRI

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus