Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengungkapkan ada dua masalah riset di Indonesia. “Mengapa Presiden harus membuat kebijakan yang cukup drastis dengan membentuk BRIN? Problem riset kita ada dua yang sangat fundamental,” kata Laksana kepada Tempo, Selasa, 4 Januari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Laksana menuturkan masalah pertama adalah riset di Indonesia terlalu didominasi pemerintah. Hal itu bisa terlihat dalam belanja riset nasional di mana 80 persen berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan sisanya dari nonpemerintah. Padahal, jika merujuk standar UNESCO, belanja penelitian itu 80 persen swasta atau industri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Masalah kedua, Laksana mengungkapkan sumber daya terkait dengan riset, baik itu sumber daya manusia, infrastruktur, dan anggaran. Sumber daya tersebut saat ini tercecer dan berada di 74 kementerian dan lembaga, termasuk LAPAN, BATAN, BPPT, LIPI, dan Kementerian Riset dan Teknologi. Akibatnya, sumber daya menjadi kecil untuk melakukan riset dan inovasi.
“Semua kesulitan berkompetisi. Melakukan riset proper saja sulit, apalagi kompetisi. Padahal riset itu kompetisi global,” kata dia.
Dengan adanya BRIN, kata Laksana, critical mass dari sumber daya langsung besar, baik dari sisi SDM yang unggul, infrastruktur riset, dan anggaran. Sebab, ketiganya dirembukkan menjadi open platform yang bisa dipakai industri. Artinya, industri bisa masuk ke riset tanpa modal karena difasilitasi pemerintah.
“Karena melakukan riset itu kan mahal. Investasinya mahal. Hasilnya enggak jelas. Jadi untuk high cost high risk ini lah pemerintah hadir,” ujar Kepala BRIN.
FRISKI RIANA