Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Ketua KPK Beberkan Betapa Jahatnya Korupsi Sektor Privat

Ketua KPK Agus Rahardjo mengajak aparat di lembaga negara meningkatkan budaya kerja dan mendapat remunerasi wajar. Korupsi sektor privat masih marak.

27 Februari 2017 | 22.02 WIB

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Agus Rahardjo saat memberikan sambutan pada acara Anti-Corruption Summit 2016 di kampus UGM Yogyakarta. TEMPO/Handwahyu
Perbesar
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Agus Rahardjo saat memberikan sambutan pada acara Anti-Corruption Summit 2016 di kampus UGM Yogyakarta. TEMPO/Handwahyu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo berceramah di hadapan beberapa pejabat lembaga penegak hukum, dan auditor. Mereka merupakan peserta kegiatan Pelatihan Bersama Aparat Penegak Hukum Wilayah Hukum Provinsi Banten di Hotel Santika Premiere Bintaro, CBD Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Senin, 27 Februari 2017.

Agus beberapa kali menyampaikan aspirasinya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang juga hadir dalam acara tersebut. Menurut Agus, kewenangan KPK sebatas menangani kasus korupsi yang dilakukan penyelenggara negara.

Di daerah, kata Agus, KPK hanya menyentuh bupati, wakil bupati, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. "Kami belum bisa menangani secara langsung korupsi di private sector, padahal kami lihat sehari-hari banyak tindak kejahatan korupsi yang dilakukan oleh private sector," ujar Agus.

Baca: Ketua KPK Sebut 'Pasien' pada Pimpinan Daerah yang Korup

Agus menyebutkan, sektor privat banyak mempunyai pembukuan ganda. Ketika berhadapan dengan bank, pajak, maupun untuk dirinya sendiri, pembukuannya bisa berbeda-beda. "Kalau kita ke daerah-daerah, izin usaha pertambangan atau IUP, perizinan pun kadang-kadang tidak punya, NPWP kadang-kadang tidak punya," katanya.

Menurut Agus, diperlukan langkah-langkah yang drastis agar yang ditangani KPK  bukan hanya korupsi di birokrasi, namun juga korupsi-korupsi di sektor privat. "KPK kalau menangkap pengusaha itu terkait dengan pelaku lain, dalam hal ini penyelenggara negara," ujarnya

Agus berharap ada perubahan undang-undang sehingga kejahatan di sektor privat masuk ranah KPK. Agus menambahkan, di Hong Kong dan Singapura, aparat penegak hukum 90 persen menangani sektor privat dan 10 persen sisanya birokrasi. "Mari mencoba mengusulkan undang-undang yang bisa mencakup kebutuhan seperti itu," kata dia.

Lihat: Panglima Gatot: TNI Kerja Senyap Berantas Korupsi

Agus juga mengusulkan kepada Wiranto agar membicarakan dengan Presiden Jokowi terkait beberapa hal. Pertama, perbaikan birokrasi. Sebab, kata dia, birokrat merupakan mesin jalannya negara. "Jadi mohon bapak juga mendukung dilakukannya reformasi dan transformasi secara mendasar terhadap birokrasi kita," ujarnya. "Dan yang tidak kalah penting, yang namanya korupsi karena (alasan) basic need atau karena kebutuhan dasar tidak terjadi lagi."

Jika birokrat korupsi karena rakus, ujar Agus, KPK pasti akan menghukumnya dengan keras. Namun, menurut Agus, ada juga korupsi atas dasar kebutuhan. Dia mencontohkan beberapa penegak hukum dan pegawai negeri yang nyambi usaha lain. Misalnya Brigadir Kepala Seladi, seorang polisi yang juga pemulung sampah. Selain itu banyak juga guru yang jadi tukang ojek.

"Pasti ada sesuatu yang salah dalam birokrasi kita. Oleh karena itu Pak Menkopolhukam, mari kita dorong teman-teman di birokrasi mendapatkan reward yang wajar, mendapat remunerasi yg wajar," ucap Agus. "Maaf kalau saya membandingkan penyidik di Polri dan KPK kesenjangannya bukan main. Mari kita dorong kesetaraan."

Simak: Kalla: Kesenjangan di Indonesia Berbahaya karena...

Agus mengajak aparat di tiap lembaga negara meningkatkan budaya kerja dan mendapat remunerasi yang wajar. Tujuannya agar tindak korupsi karena dorongan mencukupi kebutuhan dasar tidak terjadi. "Tidak boleh orang menerima remunerasi karena dia berasal dari satu instansi tertentu," kata Agus.

Agus mencontohkan sopir di Kejaksaan Agung  berbeda remunerasinya dengan sopir di Kementerian Keuangan. Dia memaklumi jika pemimpin suatu lembaga mendapatkan gaji yang paling tinggi.

"Misalkan Dirjen Pajak, bisa dimaklumi (gajinya paling tinggi). Tapi tidak wajar  kalau Panglima TNI gajinya lebih rendah dari direktur bank," ujarnya. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang hadir dalam acara itu hanya tertawa.

Baca: Bom Bandung, Pelaku: Ledakkan, Lari, Bakar, Tembak, Tewas

Kedua, Agus juga membahas soal tumpang tindih kewenangan instansi pemerintah. Dia mencontohkan, lembaga yang menangani soal laut di Amerika Serikat hanya dua. Sedangkan di Indonesia ada lima atau enam. "Di banyak negara hanya satu lembaga yang mengurusi pegawai negeri. Di Indonesia ada LAN, BKN, Kemenpan, ASN, dan kalau di daerah ada Kemendagri," ujarnya.

Wiranto pun merespons masukan dari Agus. "Soal gaji dan remunerasi, beliau lupa (gaji) saya juga kecil," kata dia sambil tertawa. "Menkopolhukam tidak lebih dari Rp 20 juta per bulan. Ini bukan keluh kesah, tapi hanya laporan saja."

Wiranto menilai instrumen perundang-undangan memang perlu direformasi dan ditata kembali. "Kita sadar selama beberapa rezim sudah banyak peraturan sudah tumpang tindih terutama di wilayah hukum. Ada yang tidak saling memperkuat bahkan saling melemahkan," katanya.

Simak juga: Vonis 10 Tahun Bui, OC Kaligis Ajukan Peninjauan Kembali

Menurut Wiranto, dalam waktu singkat pemerintah sudah melakukan kegiatan untuk menyehatkan kembali referensi dari perundang-undangan, sehingga ribuan peraturan daerah dan undang-undang dipangkas. "Belum selesai. 45 ribu (aturan) yang harus digarap kembali."

REZKI ALVIONITASARI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kukuh S. Wibowo

Kukuh S. Wibowo

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus