Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta-Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menyatakan terjadi diskriminasi terhadap perempuan dalam kasus penodaan agama. Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, perempuan dari agama minoritas mengalami dua lapis kerentanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Baik sebagai perempuan sekaligus penganut agama minoritas," kata Siti dalam peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) 2020 di Hotel Mercure Cikini, Jakarta, Jumat, 6 Maret 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komnas mencatat, sepanjang 2019 ada dua perempuan yang menjadi tersangka dalam kasus penodaan agama. Siti pun menyebut ada ketidakadilan dalam proses hukum kasus penodaan agama yang melibatkan perempuan beragama minoritas ini.
"Kami menemukan ada bentuk ketidakadilan hukum yang diterapkan," kata dia.
Kasus pertama menyangkut M, perempuan Tionghoa beragama Buddha yang tinggal di Tanjungbalai, Sumatera Utara. M dituduh menodai agama karena mengeluhkan suara toa masjid yang kencang. Keluhan M kemudian menyebar dengan versi berbeda, hingga berujung pada tindakan sekelompok orang merusak dan membakar vihara di Tanjungbalai.
Pengadilan memvonis M menodai agama dan menghukumnya satu tahun enam bulan penjara. Adapun delapan orang tersangka perusak dan pembakar vihara hanya dipidana rata-rata satu bulan 16 hari.
Kasus kedua menimpa SM, perempuan yang masuk ke Masjid al-Munawwaroh Sentul Bogor dengan membawa seekor anjing yang digendongnya. Dalam halusinasinya SM mencari suaminya yang masuk ke dalam masjid itu untuk perkawinan poligami.
Setiba di dalam masjid, SM marah-marah dan memukul beberapa orang sambil mempertanyakan keberadaan suaminya. Anjing yang digendongnya pun terlepas dan berlarian di dalam masjid. SM kemudian dilaporkan atas tuduhan penodaan agama, perbuatan tak menyenangkan, dan penganiayaan.
Dalam memberikan keterangan ahli di pengadilan, Komnas menyarankan pengadilan melihat dari perspektif agama dan bahwa SM mengalami ketidakadilan gender. Komnas menyatakan bahwa tindakan itu tak dapat dikategorikan penodaan agama karena tidak dilakukan secara sengaja.
Siti mengatakan pasal penodaan agama ini sebenarnya telah berkali-kali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pasal yang tertuang dalam KUHP dan UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ini dianggap tak memberikan penjelasan mengenai kriteria suatu perbuatan dapat dianggap menodai agama.
"Luasnya tafsir penodaan agama ini menyebabkan kuasa kelompok agama minoritas menjadi sasaran penerapan tindak pidana berdasarkan kuasa kelompok agama mayoritas," kata Siti.
BUDIARTI UTAMI PUTRI