Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Korban Seremoni Tim Non-Yudisial Jokowi

Korban tragedi Tanjung Priok, Timor Timur, Abepura, dan Paniai terpinggirkan di tengah hajatan program non-yudisial ala Jokowi.

1 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Korban peristiwa Tanjung Priok 1984 kembali merasa menjadi korban karena tak masuk program penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat.

  • Korban Peristiwa Abepura menilai penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM hanya melanggengkan impunitas bagi para pelaku.

  • Hampir semua pengadilan HAM yang melibatkan perwira militer sebagai pelaku selalu menjatuhkan vonis bebas.

WANMA Yetti, anak korban Peristiwa Tanjung Priok 1984, sekali lagi merasa terinjak-injak. Tragedi yang merenggut nyawa ayahnya itu tak tercantum dalam laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (TPPHAM) kepada Presiden Joko Widodo. "Saat Presiden RI Joko Widodo tidak menyebut peristiwa Tanjung Priok, kami merasa menjadi korban lagi," kata Yetti kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jokowi mengumumkan pengakuan negara atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu pada 11 Januari lalu. Pengakuan itu dilontarkan Jokowi setelah menerima rekomendasi TPPHAM yang dibentuknya pada September 2022. Dari rekomendasi ini pulalah pemerintah memulai program pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat yang seremoninya digelar di Kabupaten Pidie, Aceh, pada 27 Juni lalu. Program itu berisi paket bantuan dari kementerian dan lembaga, antara lin berupa pemberian jaminan kesehatan, beasiswa pendidikan, modal usaha, hunian, serta kesempatan kerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada Peristiwa Tanjung Priok 1984 dalam laporan TPPHAM. Insiden berdarah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, ini terjadi pada 12 September 1984. Kala itu, ribuan umat Islam setempat berunjuk rasa atas penangkapan sejumlah warga yang lima hari sebelumnya memprotes tindakan aparat Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang mencopot spanduk di Musala As-Sa’adah, Kelurahan Koja. Tentara pun menembaki mereka.  

Pemerintah menyebutkan setidaknya 23 orang tewas dan 55 orang terluka dalam insiden tersebut. Namun Solidaritas untuk Tanjung Priok (Sontak) menyebutkan sekitar 400 orang tewas. Banyak di antaranya hilang. Termasuk Bachtiar bin Johan, ayah Yetti. 

Protes keluarga korban peristiwa Tanjung Priok di depan Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, September 2002. Dokumentasi TEMPO/ Rendra

Pelanggaran HAM berat dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984 itu telah disidangkan di pengadilan. Namun para terdakwa dari Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Utara dan Batalyon Artileri Pertahanan Udara, yang semula divonis bersalah di pengadilan tingkat pertama, akhirnya divonis bebas oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi pada 2006. Litigasi dalam kasus ini juga menuai sorotan lantaran tak menjerat para elite militer TNI Angkatan Darat yang dinilai turut bertanggung jawab. 

"Hasil persidangan tak berpihak kepada kami. Pelaku divonis bebas, kompensasi kepada korban dan keluarga korban pun otomatis gugur," kata Yetti. 

Itu sebabnya, Yetti dan keluarga korban Peristiwa Tanjung Priok 1984 kembali merasa menjadi korban seiring dengan hajatan pemerintah yang mendorong penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat. Selama ini, kata Yetti, keluarga korban bukan saja tak memperoleh keadilan, tapi juga kerap mendapat perlakuan diskriminatif karena dicap sebagai pemberontak. "Sebelum reformasi, saat saya melamar kerja ditolak. Adik saya mendapatkan beasiswa di Universitas Indonesia juga ditolak saat tahu ayah kami terlibat peristiwa Tanjung Priok," ujarnya. "Kami sudah lama dimiskinkan.”  

Menurut Yetti, keluarga korban Peristiwa Tanjung Priok sebenarnya pernah menyurati Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang menjadi Dewan Pengarah TPPHAM. Mereka ingin agar empat peristiwa pelanggaran HAM berat yang tidak mendapatkan keadilan dalam proses yudisial juga diperhatikan. “Kami juga ingin meminta ada penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ini juga merupakan salah satu penyelesaian lewat jalur non-yudisial," kata Yetti. Namun semua tahu, hingga kini harapan tersebut tak terwujud. 

Tuntutan dari Papua Tak Didengar

Peristiwa Tanjung Priok 1984 hanya satu dari empat kasus pelanggaran HAM berat yang pernah disidangkan. Tiga lainnya adalah Peristiwa Timor Timur 1999, Abepura 2000, dan Paniai 2014. Seperti dalam kasus Peristiwa Tanjung Priok, tiga perkara tersebut berujung pada bebasnya para terdakwa. 

Berbeda dengan korban Tanjung Priok, korban peristiwa Abepura dan Paniai menolak penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur non-yudisial. Mereka, bersama para korban Peristiwa Wasior 2001-2002 dan Wamena 2003, bergabung dalam koalisi Bersatu untuk Kebenaran (BUK). 

Korban peristiwa Abepura, Peneas Lokbere, mengatakan proses persidangan peristiwa Abepura sejak awal tidak berpihak kepada korban. Pelaku divonis bebas oleh hakim. Permintaan 104 korban agar mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi juga tidak dikabulkan. "Pelaku bebas. Jadi, keinginan kami tidak diakomodasi," ujar Peneas kepada Tempo, kemarin.

Menurut Peneas, negara tidak pernah memperhatikan nasib para korban. Padahal korban dan keluarga korban mendapatkan dampak besar akibat peristiwa tersebut. Dia mencatat 12 korban meninggal akibat luka parah yang dialami dalam peristiwa Abepura. Sebanyak 20 mahasiswa juga terpaksa berhenti kuliah. 

"Banyak orang tua yang tidak bisa bekerja lagi karena cacat. Korban juga mendapat stigma negatif. Saat ada bantuan desa, korban mendapatkan perlakuan diskriminatif," kata Peneas.  

Kejahatan Kemanusiaan yang Terabaikan

Peneas dan korban lainnya tidak ingin meminta ganti rugi materi kepada pemerintah Indonesia. Mereka hanya meminta namanya dibersihkan. "Kami juga meminta Presiden Joko Widodo meminta maaf karena melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM berat," ujar Peneas. 

Korban Peristiwa Abepura, kata Peneas, menilai penyelesaian pelanggaran HAM melalui jalur non-yudisial hanya melanggengkan impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM berat. "Kalau pelaku tidak diadili, hal serupa akan terjadi di masa depan. Semestinya proses yudisial didahulukan, baru berbicara soal kompensasi," ujarnya. Peneas mendesak Kejaksaan Agung kembali mendalami laporan penyelidikan Komnas HAM dalam peristiwa Abepura.

Pendamping keluarga korban Peristiwa Paniai, Yones Douw, mengatakan proses peradilan dalam perkara peristiwa Paniai sejak awal sudah tidak beres. Komnas HAM telah merekomendasikan empat pelaku kepada Kejaksaan Agung dalam tragedi berdarah di pengujung 2014 tersebut. Namun hanya seorang tersangka yang diadili, yakni Mayor (Purn.) Isak Sattu. "Tak mungkin pelaku pelanggaran HAM berat hanya satu orang. Dari awal sudah tidak beres," ujar Yones kepada Tempo, kemarin.

Karena itu, keluarga korban sejak awal memutuskan tidak akan mengakui proses persidangan itu. Kecurigaan mereka terbukti setelah Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Paniai yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar memvonis bebas Isak Sattu. "Vonis itu hanya sandiwara," kata Yones. 

Seperti Peneas, Yones mendesak Kejaksaan Agung segera menyelidiki ulang kasus Paniai. "Apalagi ini bukan kasus lama. Ini kasus 2014. Masih banyak saksi yang bisa didalami," ujar Yones. 

Aksi Kamisan menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di seberang Istana Merdeka, Jakarta, 4 Mei 2023. TEMPO/Subekti.

Alasan TPPHAM Abaikan Tiga Perkara

Anggota Tim Pelaksana TPPHAM, Amiruddin al Rahab, mengatakan pelanggaran HAM berat dalam putusan pengadilan tiga peristiwa itu tak terbukti sehingga terdakwa bebas. Maka, dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000, korban tidak mendapatkan kompensasi, restitusi, ataupun rehabilitasi. 

Perihal permintaan mendapatkan program pemulihan, Amiruddin menuturkan, TPPHAM hanya ditugasi merekomendasikan program pemulihan kepada 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang belum menempuh jalur yudisial. "Jadi, kalau mau mendapatkan pemulihan, pengadilan yang harus memutuskan seperti itu. Jadi, kalau mau mendapatkan, minta ke pengadilan," kata Amiruddin.

Amiruddin pun menegaskan, korban 12 peristiwa pelanggaran HAM berat tetap bisa menempuh jalur yudisial. Bahkan dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023, Kejaksaan Agung diminta berkoordinasi dengan Komnas HAM agar pengadilan HAM bisa segera dilaksanakan nanti.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, tidak membalas pesan dan telepon Tempo hingga berita ini diturunkan. Namun, sebelumnya, dia menyatakan kejaksaan kesulitan mendapatkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat di masa lalu. 

Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan hampir semua pengadilan HAM yang melibatkan perwira militer sebagai pelaku selalu menjatuhkan vonis bebas. Menurut Gufron, proses pengadilan seperti itu tidak berorientasi pada keadilan korban. "Pengadilan itu juga tidak sesuai dengan standar HAM," kata dia kepada Tempo.

Gufron mengatakan pemerintah berkewajiban memulihkan para korban pelanggaran HAM, termasuk yang telah disidangkan. Pemulihan hak semestinya juga diberikan atas hak korban dan keluarganya untuk mendapatkan kepastian hukum tentang pelaku pelanggaran HAM berat. "Jadi, pemulihan tidak sekadar memberikan kompensasi. Korban juga memiliki hak atas keadilan. Hak untuk menuntut para pelaku dan membawa pelaku diadili di pengadilan," kata Gufron. "Itu semua kewajiban pemerintah."  

HENDRIK YAPUTRA 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus