Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Istilah Propaganda Rusia yang dilontarkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Surabaya, Sabtu, 2 Februari 2019, belakangan menuai polemik, lantaran diprotes oleh Kedutaan Besar Rusia di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: 5 Pro Kontra Ucapan Jokowi soal Propaganda Rusia
Atase Pers Kedubes Rusia di Indonesia, Denis Tetiushin mengatakan, kedutaannya tak ingin istilah ini digunakan dalam kontestasi politik di Indonesia. "Kami tidak ingin istilah ini dipakai, karena istilah propaganda Rusia adalah fitnah murni yang diciptakan oleh Amerika Serikat," ujar Denis kepada Tempo, Senin, 4 Februari 2019.
Sebetulnya, jauh sebelum mantan Gubernur DKI ini mengungkapkan istilah tersebut, Tim Kampanye Nasional Jokowi - Ma'ruf telah menggunakan Propaganda Rusia pada Oktober 2018 lalu, ketika kasus hoaks Ratna Sarumpaet terbongkar.
Influencer TKN, Budiman Sudjatmiko menuding kubu Prabowo Subianto - Sandiaga Uno telah menggunakan teori Propaganda Rusia atau yang dikenal dengan Firehose of Falsehood atau “slang pemadam kebohongan", yang memanfaatkan kebohongan sebagai alat politik.
Identifikasi adanya dugaan strategi ini digunakan, kata Budiman, dinilai karena adanya konten-konten kampanye yang tidak objektif dan dilakukan secara masif, cepat, serta terus berulang. Tujuan utamanya untuk membangun ketidakpercayaan terhadap informasi. "Drama politik Ratna ini merupakan bagian teknik kampanye jahat bernama Firehose of Falsehoods," ujar politikus PDIP itu di Posko Cemara, Jakarta pada Jumat, 5 Oktober 2018.
Budiman mencontohkan, Rusia mempraktekan strategi ini pada saat menginvasi Georgia, dan beberapa waktu lalu Trump memenangkan pemilu Amerika Serikat dengan menggunakan cara yang sama, yaitu menebar kebohongan.
Dugaan bahwa teori Propaganda Rusia ini digunakan kubu Prabowo, tak berhenti di sana. Pertengahan November 2018, Ketua TKN Erick Thohir dan Wakil Direktur Komunikasi Politik TKN Meutya Viada Hafid, bertemu dengan pakar neurosains Roslan Yusni Hasan di kawasan Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta. Mereka membahas panjang-lebar soal kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat dan Jair Messias Bolsonaro di Brasil. Roslan menjelaskan peran ilmu saraf otak dalam kampanye Trump dan Bolsonaro.
“Kampanye mereka menggunakan jasa ilmuwan neurologi untuk memetakan otak masyarakat agar mereka memilih kandidat. Apa pun caranya untuk menang,” ujar dokter saraf otak yang kerap disapa Ryu Hasan ini, November 2018 lalu.
Dalam kampanye pemilihan Presiden Amerika 2016, Donald Trump kerap melontarkan pernyataan yang membakar masyarakat. Misalnya, ia mengatakan warga Amerika sulit mencari lapangan kerja karena negeri itu dibanjiri imigran.
Trump pun bertekad mendeportasi jutaan imigran ilegal. Trump juga menuduh Presiden Amerika sebelumnya, Barack Obama, bukan putra asli Amerika, melainkan kelahiran Mombasa, Kenya. Pesaing Trump dalam pemilihan Presiden Amerika ketika itu, Hillary Clinton, menyebutkan Trump keterlaluan karena telah berbohong.
Di Brasil, Bolsonaro juga sering memekikkan jargon populis dalam kampanyenya. Ia terang-terangan mendukung hukuman mati, penyiksaan, dan penembakan terhadap musuh politik.
Pensiunan tentara ini dijuluki sebagai “Trump dari Negeri Tropis” karena mereplikasi gaya kampanye Trump. Ia membuat slogan “Brasil di depan semuanya dan Tuhan di atas segalanya” seperti Trump dengan jargonnya “Amerika-lah yang Pertama”.
Dokter Roslan Yusni Hasan menuturkan, metode “slang pemadam kebohongan” memanipulasi kerja otak dengan ancaman dan kengerian. Otak manusia, kata dia, cenderung tertarik pada teori konspirasi. Ketika dicekoki informasi palsu dan mengancam, otak akan penasaran terhadap kabar tersebut. “Informasi palsu itu seperti lalat yang ingin menghancurkan toko, tapi hanya bisa berdengung,” ujar Roslan.
Dengungan itu mempengaruhi bagian otak yang bernama amigdala dan insula. Ukuran amigdala dan insula tiap orang bisa berbeda. Pada kaum konservatif, amigdalanya lebih tebal ketimbang insulanya. Sebaliknya, orang moderat dan liberal, yang mengutamakan kebahagiaan dan hak-hak individu, memiliki insula yang lebih besar. “Kalau ketakutan bangkit, amigdala menebal. Sifat progresif bisa menjadi konservatif,” ujar Roslan.
Banjir informasi, ujar dia, juga menyebabkan otak kelelahan untuk menganalisis. Akhirnya, otak menerima begitu saja informasi tanpa melakukan verifikasi lagi. “Slang pemadam kebohongan” efektif bekerja pada kondisi demikian. Penjelasan Roslan ini, serupa dengan yang disampaikan Budiman Sudjatmiko.
Dalam pemilihan presiden di Indonesia, Budiman menilai gejala itu mulai tampak. Penantang, Joko Widodo-Ma’ruf Amin yakni Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dinilai kerap kali melontarkan pernyataan yang provokatif.
Prabowo, misalnya, sempat melontarkan slogan “Make Indonesia Great Again” karena menilai pemerintah gagal menyejahterakan rakyat. Ia juga mengkritik situasi ekonomi saat ini dengan nada keras. “Ini lebih parah dari neoliberalisme. Yang terjadi ekonomi kebodohan, the economics of stupidity,” katanya.
Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga membantah kubunya meniru gaya kampanye Trump dan Bolsonaro. Calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, juga membantah pernyataannya yang menyebut "Make Indonesia Great Again" menjiplak slogan kampanye yang digunakan Donald Trump dalam Pemilu Amerika Serikat 2016. "Tidak jiplak. Masak, kamu tidak mau Indonesia kuat?" kata Prabowo di Jakarta, Jumat malam, 12 Oktober 2018.
Kemarin, Direktur Luar Negeri BPN Prabowo-Sandi, Irawan Ronodipuro mensinyalir dugaan munculnya istilah Propaganda Rusia dan konsultan Rusia Prabowo, lantaran beredarnya video Ketua Umum Gerindra itu, saat berjabat tangan dengan seorang pejabat Kedutaan Besar Rusia sebelum pidato kebangsaan di Jakarta Convention Center, Jakarta, 14 Januari lalu. Sementara, ujar dia, acara itu memang mengundang sejumlah pejabat tinggi dari kedutaan besar negara sahabat.
Dia mengklaim tak ada konsultan asing yang membantu pemenangan capres-cawapres penantang ini. "Jadi siapa yang memberikan masukan kepada presiden, itu salah besar. Jadi, kami sesalkan tuduhan tersebut," kata Irawan, Selasa, 5 Februari 2019.
Simak juga: Jokowi Sebut Mengenai Propaganda Rusia, Simak 3 Fakta Berikut
Soal Propaganda Rusia ini, Prabowo juga membantah menggunakan jasa konsultan politik luar negeri selama masa kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2019. "Enggak ada konsultan ini. Gimana bayarnya? Mahal dan mereka enggak ngerti apa-apa tentang politik Indonesia," kata Prabowo lewat video berdurasi satu menit yang beredar luas melalui platform media sosial Whatsapp.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini