Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMPLOP cokelat berisi tiga lembar surat itu sampai di meja pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pada saat magrib, Senin pekan lalu. Bergiliran, mereka membaca surat berkop Markas Besar Kepolisian RI itu. Kelegaan setelah memutuskan penahanan Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka perkara simulator pelan-pelan menguap.
Surat bertanggal 30 November 2012 dari Mabes Polri itu diteken Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia Inspektur Jenderal Prasetyo. Di situ disebutkan masa tugas 13 penyidik Kepolisian di KPK habis pada 3 November lalu. Markas Besar Kepolisian menolak permintaan perpanjangan masa tugas mereka. Enam penyidik yang telah beralih status menjadi pegawai tetap di KPK juga diminta kembali ke Kepolisian. "Polri belum memberhentikan mereka," begitu kira-kira bunyi surat itu.
Sembilan dari 13 orang yang tak diperpanjang masa tugasnya itu telah mengajukan permintaan alih status menjadi penyidik tetap. Mereka bagian dari 28 penyidik yang mengambil langkah serupa pada Oktober lalu. Permintaan alih status ini telah dilaporkan ke Markas Besar Polri pada 1 Oktober. Namun Polri menolak memproses permintaan itu. Repotnya, masa dinas sejumlah penyidik polisi yang beralih status di KPK juga bakal habis beberapa pekan mendatang. "Kami khawatir banyak perkara akan terbengkalai," kata seorang penyidik.
Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, penyidik KPK dari Kepolisian kini tersisa 52 orang. Mereka harus menangani 68 kasus korupsi, 34 di antaranya sedang disidik. Jika penarikan terus dilakukan, pada Maret nanti penyidik KPK ludes. "Tidak akan sampai berhenti, tapi kecepatannya berkurang," kata Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK.
Kecemasan pimpinan KPK beralasan. Semua penyidik yang ditarik itu umumnya berpangkat komisaris dan telah lima tahun bertugas di KPK. Mereka adalah Imam Turmudhi, Robertus Yohanes De Deo, Edy Wahyu Susilo, Yohanes Richard, Usman Thoif Purwanto, Asep Guntur, Bagus SuÂpraptomo, Taufik Herdiansyah, Afief Yulian Miftach, Salim Riyad, Budi Santoso, Budi Agung Nugroho, dan Novel Baswedan. Sebagian dari penyidik itu adalah penelisik kasus simulator kemudi yang menjerat Jenderal Djoko, termasuk Novel.
Seorang pejabat penting Kepolisian menyebutkan penarikan penyidik akan terus dilakukan. Mabes Polri juga tidak akan memproses alih status penyidik Polri menjadi pegawai tetap KPK. Alasannya, permintaan tak melalui prosedur resmi. Mabes Polri mengancam mereka yang menolak dengan pemecatan. Surat dari Sumber Daya Manusia pun ditembuskan ke Kepala Divisi Propam Mabes Polri.
Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Sutarman menyangkal penarikan penyidik itu terkait dengan perkara Djoko. Menurut dia, penarikan penyidik ke korps semata karena selesainya masa tugas mereka. "Itu hanya kebetulan habis," kata Sutarman. "Jangan dikait-kaitkan."
Mabes Polri juga menyangkal berupaya melemahkan KPK. Toh, kata Sutarman, Mabes menyediakan 30 penyidik pengganti. Lagi pula, para perwira yang jadi penyidik KPK itu sudah lebih dari empat tahun dan butuh rotasi untuk pembinaan karier.
Sebenarnya, kata Bambang, dasar hukum pengangkatan personel Polri itu menjadi penyidik tetap KPK sudah jelas. Itu sudah sesuai dengan Undang-Undang KPK dan PP Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK. Setelah diangkat menjadi pegawai negeri di KPK, kata Bambang, para penyidik tersebut semestinya diberhentikan dengan hormat oleh Polri.
Polisi tetap berkukuh dengan argumen bahwa penyidik harus mengajukan pengunduran diri dan disetujui Kapolri sebelum beralih status. Jika tidak, menurut juru bicara Mabes Polri, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, mereka berpotensi melanggar aturan karena pindah tanpa melapor. "Pindah tanpa prosedur bisa diberhentikan secara tidak hormat," kata Boy. "Mereka yang bertahan saat masa tugasnya berakhir juga akan dikenai sanksi melalui mekanisme kode etik."
Sengkarut alih status penyidik yang kini dipersoalkan Kepolisian dan KPK sebenarnya berpangkal pada revisi PP tentang Sumber Daya Manusia KPK yang tak kunjung diteken Presiden Yudhoyono. Aturan yang dijanjikan Yudhoyono dalam pidatonya di Istana Negara pada 8 Oktober lalu itu ditunggu untuk mengatasi krisis penyidik komisi antikorupsi.
Naskah rancangan revisi PP itu ternyata sudah dua kali bolak-balik ke Istana dan kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Masuk pertama pada Juni 2012, naskah itu belum mengakomodasi pidato Presiden tentang hubungan KPK-Polri di Istana Negara pada 8 Oktober lalu.
Selain soal koordinasi KPK-Polri, menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Azwar Abubakar, ada sejumlah poin yang jadi perdebatan. Salah satunya soal masa tugas dan waktu penempatan polisi sebagai penyidik di KPK. "Ada dua hal yang menjadi pertimbangan, pembinaan polisi dan kepastian staf penyidik dalam jangka waktu tertentu," kata Azwar.
Dalam peraturan presiden yang lama, masa tugas penyidik KPK hanya dibatasi hingga empat tahun. Akibatnya, beberapa penyidik yang masih memegang kasus besar harus ditarik dan meninggalkan tugas. Selain itu, birokrasi pergantian surat tugas juga dilakukan per tahun dan bukan empat tahun. "Benturan kepentingan masih terjadi di pembahasan," kata Azwar tanpa mau memerinci apa yang dimaksud.
Benturan itu dibahas dalam rapat di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Senin pekan lalu. Perdebatan tetap berkisar pada masa tugas penyidik. Polisi mengusulkan dua tahun dan bisa diperpanjang dua tahun lagi. Padahal, dalam aturan lama, penyidik bertugas empat tahun dan bisa diperpanjang paling lama empat tahun lagi.
Dalam rapat sebelumnya, KPK mengusulkan masa tugas penyidik Kepolisian empat tahun dan bisa diperpanjang hingga 12 tahun. Rapat pada Senin pekan lalu kemudian menyepakati masa dinas penyidik empat tahun dan bisa diperpanjang dua tahun. Untuk penyidik yang sedang menangani perkara dan habis masa tugasnya, perlu pengaturan lain. Begitu juga kemungkinan alih status. "Mekanisme ini diperlukan supaya KPK bisa leluasa mengambil penyidik dari kejaksaan, kepolisian, ataupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)," begitu tertulis dalam notulen rapat yang dihadiri perwakilan dari Kementerian Keuangan, Sekretariat Negara, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepolisian, serta Badan Kepegawaian Nasional.
Azwar berharap materi ini bisa tuntas pada pekan ini. "Supaya segera masuk meja Presiden," kata Azwar. " Tak ada lagi gaduh dan tak ada lagi yang tersandera."
Widiarsi Agustina, Rusman Paraqbueq, Febriyan, Febriana Firdaus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo