Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETEBAL sembilan halaman, dokumen jeda kemanusiaan Papua diteken di Jenewa, Swiss, pada Jumat, 11 November lalu. Berkas itu salah satunya menyebutkan ihwal protokol penanganan pengungsi di enam wilayah konflik di Papua mulai Desember 2022 hingga Februari 2023.
“Ada 67 ribu pengungsi yang terkena dampak konflik bersenjata di Papua,” kata Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Markus Haluk saat dihubungi Tempo, Selasa, 13 Desember lalu. Selain Markus, yang turut meneken kesepakatan itu adalah Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib dan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia saat itu, Ahmad Taufan Damanik.
Jeda kemanusiaan Papua adalah upaya penyelesaian konflik dan kekerasan di wilayah tersebut. Pada 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupaya mengakhiri konflik di Papua dengan menunjuk Farid Husain sebagai juru runding dengan kelompok perlawanan di Papua. Namun dialog yang dibangun Farid—yang berperan dalam Perjanjian Helsinki dengan Gerakan Aceh Merdeka–tak membuahkan hasil.
Sebelum nota kesepahaman ditandatangani pada pekan kedua November lalu, digelar dua pertemuan di Jenewa pada 15 Juni serta 18-19 Agustus lalu. Perwakilan Komnas HAM dan kelompok di Papua bersepakat bahwa kekerasan bersenjata di sana harus diakhiri. “Pengungsi di wilayah konflik juga harus segera ditangani,” kata Ketua MRP Timotius Murib, yang hadir di Jenewa.
Dalam pertemuan di Jenewa, para peserta dilarang membawa telepon seluler dan komputer jinjing. Pembuatan notula dilakukan secara tertulis dengan pena dan kertas. Hanya seorang fasilitator yang memiliki rekam jejak sebagai pembela hak asasi yang boleh membawa laptop. Pada pertemuan ketiga, sejumlah aktivis keberagaman dan birokrat diundang sebagai pemantau dan dilarang berpendapat.
Tiga peserta diskusi bercerita, dokumen jeda kemanusiaan disorongkan oleh perwakilan ULMWP saat pertemuan kedua pada Agustus lalu lewat proposal setebal enam halaman. Markus Haluk membenarkan bahwa prakarsa itu dirumuskan bersama wakil masyarakat setempat seperti Dewan Gereja dan Majelis Rakyat Papua. “Kami serius menjajaki langkah damai,” ucap Markus.
Menurut Markus, usul wakil rakyat Papua tak berbeda dengan hasil kesepakatan yang diteken. Mereka menuntut agar koridor kemanusiaan dibuka untuk menangani pengungsi. Selain itu, memenuhi hak dasar para narapidana di Papua serta menghentikan kekerasan bersenjata.
Baca: Enam Dekade Berlumur Konflik di Papua
Sebelum pertemuan di Jenewa digelar, Komnas HAM gencar melobi tokoh adat dan pentolan kelompok bersenjata untuk mengegolkan jeda kemanusiaan Papua. Kepala Kantor Komnas HAM Papua Frits Ramandey dan sejumlah komisioner Komnas HAM periode 2017-2022 menemui pemimpin adat dan kelompok bersenjata di pedalaman Papua. “Kami mencoba membangun kepercayaan dan komunikasi,” tuturnya.
Frits bercerita, ia menemui pemimpin kelompok bersenjata dari jaringan Goliat Tabuni di Kabupaten Puncak sampai faksi Damianus Magai Yogi yang menguasai wilayah Kabupaten Paniai. Kepada Frits, perwakilan kelompok itu menginginkan adanya perundingan yang melibatkan pihak internasional serta menyetop aksi kekerasan.
Kelompok bersenjata juga meminta penarikan pasukan tentara nonorganik. Mereka menuding prajurit dari luar Papua kerap memicu masalah ketimbang pasukan teritorial yang lebih memahami budaya masyarakat Papua. “Mereka juga menuntut kasus Paniai dan Wasior diusut tuntas,” kata Frits.
Kepada pemimpin kelompok bersenjata, Komnas HAM menjelaskan inisiatif jeda kemanusiaan yang sedang dibahas di Jenewa. Frits dan timnya mengatakan prakarsa itu digelar untuk tujuan kemanusiaan. Terutama menangani pengungsi perempuan dan anak di wilayah konflik.
Menggalang dukungan dari tokoh politik, Komnas HAM juga berkomunikasi dengan Gubernur Papua Lukas Enembe. Sejumlah pejabat Komnas HAM menyambangi rumah pribadi Lukas di Jayapura, Papua, akhir September lalu. Mantan Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, yang ikut ke sana, mengatakan pertemuan dengan Lukas menyinggung persoalan dialog damai di Papua.
“Kelompok politik ini kami temui untuk merundingkan hal yang harus diperbaiki,” ujar Beka. “Targetnya adalah menurunkan angka kekerasan dan memperbaiki kondisi pengungsi di Papua.”
Baca: Aktor Penyulut Serangan di Kiwirok, Papua
Jeda kemanusiaan didukung oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin, yang juga Ketua Badan Pengarah Papua. Menggelar rapat pada 19 Oktober lalu, Ma’ruf meminta pihak yang berunding membuat peta jalan dan rencana aksi. Rapat itu dihadiri Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Andika Perkasa, petinggi kepolisian dan Badan Intelijen Negara, serta komisioner Komnas HAM.
Juru bicara Wakil Presiden, Masduki Baidlowi, membenarkan adanya dukungan Ma’ruf terhadap jeda kemanusiaan. “Wakil Presiden menyokong semua upaya yang mengarah terciptanya perdamaian di Papua,” tutur Masduki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey (kaos putih) menemui masyarakat di Memberamo, Papua, untuk mendiskusikan soal dialog damai Papua, Februari 2022. Dok. Istimewa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan di kantor Wakil Presiden membahas sikap masing-masing institusi. Menurut dua peserta rapat, Jenderal Andika memaparkan strategi TNI yang telah berubah dalam menangani Papua. Menantu bekas Kepala Badan Intelijen Negara, Abdullah Mahmud Hendropriyono, itu menyampaikan bahwa tentara menerapkan pendekatan nonmiliter dan komunikasi sosial dengan warga Papua.
Jenderal Andika dan Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Kisdiyanto tak merespons permintaan wawancara. Laksamana Yudo Margono, pengganti Andika, dalam uji kepatutan dan kelayakan di Dewan Perwakilan Rakyat pada Jumat, 2 Desember lalu, menyatakan bakal menerapkan pola operasi berdasarkan tingkat kerawanan. Ia berjanji meneruskan pendekatan kemanusiaan untuk menangani persoalan di Papua.
Dua pejabat yang ikut dalam rapat bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin bercerita, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan sejumlah panduan dialog jeda kemanusiaan di Jenewa. Retno meminta pembahasan tak menyimpang dari koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia, tak melibatkan lembaga internasional, dan sedapat mungkin digelar di dalam negeri.
Hingga Jumat, 16 Desember lalu, Retno tak merespons pertanyaan yang dikirim ke nomor telepon seluler pribadinya. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengaku belum mendengar informasi kehadiran perwakilan pemerintah dalam pertemuan di Jenewa. “Saya hanya mendengar bahwa pengurus Komnas HAM yang lama bertemu dengan perwakilan kita di Swiss,” ucapnya, Rabu, 14 Desember lalu.
Setelah pertemuan itu, Ma’ruf meminta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. berkoordinasi dengan lembaga lain. Sejak pertengahan 2022, Mahfud setidaknya dua kali bertemu Majelis Rakyat Papua bersama perwakilan Amnesty International—lembaga pegiat hak asasi manusia.
Ketua MRP Timotius Murib mengatakan ia menyerahkan keputusan kultural untuk menyelesaikan konflik di Papua kepada Mahfud. Di antaranya penghentian kekerasan oleh aparat serta pelindungan terhadap perempuan dan anak di wilayah konflik.
Baca: Jejak Tentara dalam Pembunuhan Pendeta Yeremia di Papua
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pemerintah juga diminta melindungi hak rakyat Papua. Khususnya pengelolaan tanah adat dan sumber daya alam. “Penjajakan jeda kemanusiaan harus mengutamakan agenda hak asasi, termasuk pemenuhan janji Jokowi mengundang Komisioner Tinggi HAM PBB ke Papua,” ujarnya.
Mahfud membenarkan ikut membahas prakarsa jeda kemanusiaan Papua. Ia meneken surat yang menjamin kekebalan hukum para pihak yang ikut dalam dialog jeda kemanusiaan, tapi meminta semua hasil diskusi disampaikan kepada pemerintah. “Kami mendukung upaya mencari penyelesaian damai,” tuturnya.
Meski nota kesepahaman telah ditandatangani, masih ada perbedaan sikap dari perwakilan masyarakat Papua. Pengurus United Liberation Movement for West Papua, misalnya, belum satu suara menyikapi jeda kemanusiaan. Direktur Eksekutif ULMWP Markus Haluk mengatakan ketua organisasi itu, Benny Wenda, mempertanyakan komitmen pemerintah agar rakyat Papua bisa menentukan nasib sendiri.
Markus mengungkapkan, tuntutan itu telah disampaikan dalam diskusi di Jenewa. Belakangan, Benny Wenda juga mempertanyakan komitmen pemerintah mengundang perwakilan Komisioner Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa ke Papua. Padahal sebelumnya Markus sudah berkomunikasi dengan Benny sebelum pertemuan di Jenewa digelar. “Silakan jalan,” kata Markus menirukan pesan Benny.
Dalam wawancara tertulis dengan Tempo pada Rabu, 14 Desember lalu, Benny mengatakan pembahasan jeda kemanusiaan harus melibatkan pihak ketiga yang berposisi netral. Ia mendesak agar mekanisme penyelesaian konflik di Papua turut melibatkan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB. “Indonesia harus memberi akses agar pihak internasional bisa melihat sendiri situasi HAM di Papua,” ucap Benny.
Jeda kemanusiaan juga dikecam Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap militer Organisasi Papua Merdeka. Juru bicara TPNPB, Sebby Sambom, menyebutkan hasil pembahasan jeda kemanusiaan akan sia-sia. Ia beralasan diskusi dan kesepakatan di Jenewa tak melibatkan aktor yang berkonflik. “Korban dari dua pihak akan terus berjatuhan,” ujarnya.
Pelaksanaan jeda kemanusiaan masih belum terang meski para pihak telah menandatangani nota kesepahaman. Dokumen pembahasan yang dibaca Tempo menyebutkan jeda kemanusiaan semestinya dimulai pada Sabtu, 10 Desember lalu. Direktur Eksekutif ULMWP Markus Haluk menyatakan para pihak belum memutuskan pembentukan dewan pengarah dan pelaksana.
Meski demikian, Markus optimistis jeda kemanusiaan bisa segera berjalan. ULMWP telah mengantongi beberapa kandidat yang untuk mengisi struktur dewan pengarah dan pelaksana jeda kemanusiaan. “Ini langkah awal untuk menyelesaikan konflik yang lebih besar,” kata Markus.
Aparat keamanan pun belum bersikap setelah ada pembahasan jeda kemanusiaan. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo menyebutkan penyelesaian konflik di Papua harus dibahas secara lintas lembaga, seperti Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelijen Negara, dan kementerian lain. Ia mengklaim polisi telah menggunakan pendekatan kesejahteraan masyarakat selama beroperasi di Papua.
“Kami akan mengevaluasi Operasi Damai Cartenz untuk melihat perkembangan di sana,” ujar Dedi. Cartenz adalah sandi operasi aparat yang memakai pendekatan kemanusiaan dan digulirkan sejak Januari 2022. Operasi ini menggantikan Satuan Tugas Nemangkawi yang bertugas menggulung kelompok bersenjata di Papua.
Komnas HAM, yang dipimpin pengurus baru sejak November lalu, pun masih mengkaji jeda kemanusiaan Papua. Mereka juga menjaring masukan dari sejumlah tokoh perihal konflik di Papua. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyebutkan lembaganya membutuhkan waktu untuk mempelajari jeda kemanusiaan. “Agar Komnas HAM dapat mengembangkan strategi yang efektif,” tuturnya.
EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo