Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Ma'ruf Amin Dijuluki King of Silent, Akademikus: Tak Ambil Peran Sebagai Wapres

Ubedilah Badrun, mengatakan wajar jika BEM Unnes menjuluki Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebagai King of Silent. Sebab, dia lebih banyak diam.

8 Juli 2021 | 06.27 WIB

Wakil Presiden Ma'ruf Amin menerima suntik vaksin Covid-19 di kediaman resmi Wapres, Jalan Diponegoro, Jakarta, 17 Februari 2021. Doc Setwapres RI
Perbesar
Wakil Presiden Ma'ruf Amin menerima suntik vaksin Covid-19 di kediaman resmi Wapres, Jalan Diponegoro, Jakarta, 17 Februari 2021. Doc Setwapres RI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sosiolog bidang politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, mengatakan wajar jika BEM Unnes menjuluki Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebagai King of Silent. Sebab, kata dia, Ma'ruf memang lebih banyak diam di tengah penanganan pandemi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Tidak mengambil peran penting atas wewenangnya sebagai wakil presiden dalam situasi rakyat yang sedang menghadapi penderitaan akibat Covid-19," kata Ubed lewat keterangan tertulis pada Rabu, 7 Juli 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia melihat BEM Unnes kecewa terhadap elit penguasa, baik itu Presiden Joko Widodo atau Wakil Presiden Ma'ruf.

Selain mengkritik Ma’ruf, BEM Unnes juga menyematkan julukan Ketua DPR Puan Maharani sebagai Queen of Ghosting. Menurut Ubed, kritikan tersebut karena Puan meninggalkan rakyat dalam setiap mengambil keputusan membuat undang-undang.

“DPR lebih terlihat sebagai stempel pemerintah dan meninggalkan aspirasi rakyat banyak. Fungsi pengawasan terhadap eksekutif juga tidak dijalankan. Hal itu terlihat dari penetapan UU yang banyak ditolak rakyat banyak, mahasiswa, buruh, cendekiawan dan lain-lain,” ujar Ubed.

BEM Unnes sebelumnya menyematkan gelar The King of Silent kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Mereka berpendapat, Ma’ruf tidak dapat mengisi kekosongan peran yang tidak mampu ditunaikan Presiden Jokowi. Adapun kritik pada Puan karena dinilai tidak berparadigma kerakyatan dan tidak berpihak pada kalangan rentan dalam pengesahan produk legislasi.

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus