Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Masalah

Masalah pembagian kasta di india tidak sesederhana di bali. mengatasi soal kasta menjadi sulit karena adanya anggapan bahwa kasta identik agama hindu. padahal, tidak ada kaitannya.

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalah kasta di India tak sesederhana di Bali. Konon, soal kasta sudah melibat ke banyak persoalan, dari rumah tangga sampai politik, dari agama sampai pekerjaan. Dari mulut Dewa Brahma lahirlah warna brahmana, dari tangannya kesatria, dari perutnya waisya, dan dari kakinya sudra (Reg We da Mandala X) INI masih terjadi di India, pada tahun 1991 ini. Di desa Sahanavaly, di Negara Bagian Rajasthan, 200 km dari New Delhi, terdengar gelak tawa dari tiga orang wanita yang sedang mencuci di sebuah sumur. Sementara itu, sejumlah perempuan lain yang membawa pakaian yang hendak mereka cuci hanya lewat, menuju ke sumur lain yang lebih jauh. Padahal, di sumur itu masih cukup tempat bila ada yang hendak ikut mencuci di situ. Baru setelah mendapat penjelasan dari seorang penduduk, wartawan TEMPO Yuli Ismartono mengerti yang sebenarnya terjadi. Tiga wanita yang sedang mencuci itu adalah wanita bahesele, lapisan tertinggi dari kasta sudra. Sedang yang lewat tadi wanita sudra juga, tapi dari lapisan yang lebih rendah, yakni chaman. "Sumur ini hanya untuk anggota sekte kami. Orang-orang chaman dilarang ke sini," kata Mohan Devi, salah seorang dari yang sedang mencuci. Inilah persoalan besar India. Kata seorang pengamat, seandainya masalah politik terpecahkan, permusuhan agama bisa didamaikan, kekerasan dan permusuhan sosial masih akan berlangsung di India. Perkelahian dan pembunuhan, seperti yang terjadi di masa kampanye di bulan lalu, masih akan terjadi, dan seorang Rajiv Gandhi yang lain masih akan terbunuh. Soalnya, menyelesaikan sebab-sebab permusuhan tanpa mengatasi akibat buruk perkastaan, rasanya tak mungkin. Masalah kasta, tulis Barbara Crossette di New York Times Magazine, sudah mencampuri segala persoalan di India hingga jadi begitu ruwet. Dari soal perkawinan dan pembagian jatah pekerjaan, sampai politik. Di warung-warung di desa-desa, wartawan Amerika itu mengaku melihat bahwa gelas-gelas minum untuk kasta sudra disendirikan. Dan sekitar dua bulan lalu, majalah Time melaporkan di Mathura, di Negara Bagian Uttar Pradesh, tidak jauh dari Desa Sahanavaly, tiga remaja harus mati karena kasta. Ceritanya, Roshni, 15 tahun, seorang gadis dari kasta jat, dan kekasihnya Brijendra, 20 tahun, dari kaum harijan, dengan dibantu seorang teman sekastanya, mencoba melakukan kawin lari. Tapi maksud mereka bocor, dan para tetua kasta jat menjatuhkan hukuman gantung bagi ketiganya. Polisi terlambat mengetahui Romeo dan Juliet versi Mathura ini. Dan itu rupanya diterima dengan wajar oleh warga setempat. Kata Mohan Devi, wanita bahesele itu, "Anak-anak itu melanggar adat, itu hukumannya tepat." Bahkan bagi ibu Roshni sendiri, lebih baik kehilangan putrinya karena hukuman mati daripada membiarkannya menikah dengan laki-laki dari kasta yang lebih rendah. "Perkawinan campuran itu hanya bisa diterima di kota, tapi tidak di desa katanya. Betapa rawannya soal kasta ini, pemerintah India mencatat dalam 1989 saja terdapat 14.200 kasus pembunuhan, perkosaan, perlakuan tak adil, dan pembakaran terhadap kaum berkasta rendah atau mereka yang dianggap tak punya kasta -- yang oleh Mahatma Gandhi disebut sebagai "anak-anak Tuhan". Pada 1990, angka itu bertambah menjadi 15.600 kasus. Dari soal sepele karena seorang berkasta rendah tak turun dari sepedanya ketika lewat di depan rumah orang berkasta lebih tinggi, sampai soal kawin lari. Yang menjadikan tak mudah mengatasi masalah kasta, karena adanya anggapan umum yang sudah berabad-abad, bahwa kasta identik dengan agama Hindu. Dan tak sesederhana pembagian "kasta" di Bali (lihat Kasta pun Mampir di Bali), selain empat kasta besar, masih berpuluh sub kasta dan golongan di luar kasta. Padahal, penelitian mengatakan antara kasta dan agama Hindu pada awalnya tak ada kaitannya. Sekitar dua ribu tahun sebelum masehi, datanglah bangsa Arya dari Eropa Tengah menaklukkan bangsa Dravida di India. Bangsa yang berbadan tinggi, kulit putih, mata biru, dan rambut lurus ini membaca kitab Weda. Menurut Jai Singh Yadav, sejarawan dari Universitas Jawaharlal Nehru, dalam kitab Hindu yang bernama Weda itu, diuraikan adanya empat warna atau vri (artinya memilih pekerjaan), yang mengacu pada pembagian pekerjaan yang ada dalam masyarakat kaum Arya itu, yakni yang diuraikan dalam Reg Weda Mandala X. Diduga, dengan maksud agar bangsa Arya tetap bisa menguasai bangsa Dravida, empat kasta dalam Weda dipraktekkan bukan untuk membagi berbagai jenis pekerjaaan, melainkan membagi derajat manusia. Tujuan praktisnya jelas. Menurut Huston Smith, ahli perbandingan agama, dalam bukunya Agama-Agama Manusia, kasta lahir akibat keangkuhan bangsa Arya yang merasa dirinya besar. Mereka takut kalau terjadi perkawinan antara kaumnya dan bangsa Dravida, karena itu menodai martabat mereka. Untuk menghindarkan itu, para pendeta bangsa Arya membuat tafsiran sendiri terhadap kitab Weda sesuai dengan keinginan mereka. Maka, terciptalah empat kasta: brahmana, kesatria, waisya, dan sudra. Hak-hak sosial mereka jelas berbeda-beda. Paling rendah, tentu saja, golongan kelima, yakni golongan di luar kasta. Golongan terakhir inilah, sampai sekarang, yang biasanya jadi kuli di pasar-pasar, atau petugas kebersihan kakus. Berbagai tokoh pembaru agama, mulai dari Budha, Dayananda, sampai Mahatma Gandhi berjuang untuk meniadakan kasta-kasta ini. Gandhi, tokoh spritual India ini, menyediakan dirinya untuk tinggal bersama kaum tanpa kasta ini, yang tak boleh disentuh, tak boleh makan bersama mereka. Bahkan, sang Mahatma melakukan puasa "kepahlawan" untuk membela nasib kaum "najis" ini. Hasilnya, untuk pertama kalinya setelah beribu-ribu tahun, Candi Kalighat di Calcutta dan Ram Mandir di Benares dibuka untuk kaum tak berkasta. Padahal, berabad lampau, bila kaum tak berkasta ini, meski secara tak sengaja, mendengar pembacaan kitab Weda, akan dihukum. Ketika India merdeka, 1947, pemerintahan Jawaharlal Nehru yang sekuler, yang mementingkan agama satu dari yang lain, melarang sistem kasta sejak 1950. Tapi bagaimana menghapuskan keyakinan yang sudah terbentuk berabad lampau, dengan satu undang-undang? Pelan-pelan sejumlah kota besar memang terbebas dari masalah kasta, yang mirip masalah perbedaan ras ini. Tapi di desa-desa, dan tiga perempat penduduk India tinggal di desa, soal ini tetap hidup. Usaha pemerintah selalu mendapat tantangan, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Vishwanath Pratap Singh (Desember 1989-November 1990) muncul protes dari kasta kesatria. Pasalnya, Singh menaikkan jatah lowongan kerja bagi kaum yang dianggap berkasta rendah menjadi 27%. Itu sebabnya di negeri mayoritas Hindu ini agama lain pun ternyata cukup berkembang. Islam mendapat pengikut sekitar 100 juta. Menurut Fr. Lucio Countinho, wakil ketua keuskupan Katolik di India, setiap tahun ratusan orang Hindu berkasta rendah masuk Katolik. Berbagai analisa dibuat oleh para ahli, Kesepakatan paling umum, selain soal kasta ini dilekatkan dengan agama Hindu sejak berabad lampau, kemiskinan dan kebodohan di India ikut menyulitkan usaha penghapusannya. India adalah negara dengan persentase tertinggi buta hurufnya. Julizar Kasiri dan R. Fadjri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus