Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Porsi anggaran pendidikan sekolah kementerian disebut lebih besar ketimbang anggaran kampus negeri di bawah Kemendikbudristek.
Pemerintah menyediakan anggaran pendidikan Rp 660,8 triliun atau 20 persen dari APBN 2024.
Presiden harus turun tangan mengatasinya.
SEBANYAK 22 kementerian dan lembaga menggelar pertemuan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di Auditorium Randi-Yusuf, Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK. Dalam pertemuan yang berlangsung pada Kamis siang pekan lalu itu, KPK memanggil mereka untuk mengetahui pemanfaatan anggaran pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang dialokasikan ke sekolah kedinasan di kementerian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan persamuhan itu bertujuan mendalami tata kelola alokasi 20 persen anggaran pendidikan dari APBN 2024. Dia mengatakan komisi antirasuah ingin mengetahui secara detail ihwal pos anggaran pendidikan di kementerian senilai Rp 32,859 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pahala menyebutkan merasa gerah atas pemberitaan bahwa Kemendikbudristek dinilai gagal mengelola anggaran pendidikan sehingga bantuan untuk perguruan tinggi negeri (PTN) sedikit. Padahal dana pendidikan tinggi juga digunakan oleh kampus-kampus yang dikelola kementerian berupa sekolah kedinasan. "Kami mencoba me-review anggaran pendidikan mereka," ujar Pahala saat dihubungi Tempo pada Jumat, 14 Juni 2024.
Mahasiswa mengikuti kuliah di kampus Politeknik Kelautan dan Perikanan Dumai yang berada di bawah Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP) di Dumai, Riau. ANTARA/Aswaddy Hamid
Pemerintah sejatinya menyediakan anggaran pendidikan sebesar Rp 660,8 triliun atau 20 persen dari APBN 2024. Anggaran itu terbagi atas alokasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp 237,3 triliun, transfer ke daerah Rp 346,6 triliun, dan pembiayaan investasi Rp 77,0 triliun. Pos anggaran pendidikan di kementerian dan lembaga juga ada, yakni senilai Rp 32,859 triliun.
Dalam pertemuan itu, KPK menemukan dugaan masalah anggaran pendidikan yang digunakan oleh kementerian. Mereka disebut tidak mengikuti aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi oleh Kementerian Lain dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (PP PTKL).
Peraturan tersebut menyatakan perguruan tinggi kementerian harus menetapkan standar biaya pendidikan sesuai dengan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPTN) yang dikeluarkan oleh Kemendikbudristek. Namun kementerian dinilai tidak menetapkan standar biaya pendidikan berdasarkan aturan tersebut.
Aturan tersebut juga meminta anggaran pendidikan harus digunakan untuk sekolah kedinasan. Lulusan sekolah kedinasan juga disebutkan dijamin untuk bekerja di perguruan tinggi kementerian yang menyelenggarakan pendidikan tersebut. Namun, menurut Pahala, banyak perguruan tinggi di kementerian yang tidak menjamin lulusannya bekerja di instansinya. "Ada juga kementerian yang mengalokasikan dana pendidikan untuk sekolah menengah kejuruan atau SMK. Padahal seharusnya untuk pendidikan tinggi," ujar Pahala.
Selain itu, kampus yang dikelola kementerian harus memiliki program studi unik. Artinya, program studi yang ada di sekolah kedinasan kementerian seharusnya tidak boleh sama dengan PTN di bawah naungan Kemendikbudristek. Namun, dari pertemuan tersebut, KPK menilai program studi yang dimiliki kementerian dan lembaga yang mengelola sekolah kedinasan hanya sedikit yang dikategorikan unik.
Menurut Pahala, akibat aturan itu tidak ditaati, perguruan tinggi di kementerian menetapkan biaya pendidikan dengan cara mereka sendiri. Akibatnya, sejumlah pos anggaran dan standar biaya pendidikan tinggi menjadi mahal. "Alasannya buat boarding, pembiayaan asrama, hingga baju. Ini pantas mahal," kata Pahala.
Pahala mencontohkan perguruan tinggi di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). PUPR disebut mendapat anggaran pendidikan sebesar Rp 104 miliar. Uang itu diperuntukkan bagi 221 mahasiswa yang tersebar di tiga program studi. "Kalau dihitung, jumlah per mahasiswa Rp 16-20 juta standar biaya pendidikannya," kata Pahala.
Pahala lantas menyandingkan standar biaya pendidikan tinggi dengan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di setiap PTN. Berdasarkan paparan data Kemendikbudristek dalam pertemuan itu, untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi yang layak, seharusnya setiap mahasiswa mendapat bantuan Rp 10 juta setiap semester. Uang tersebut merupakan SBOPTN. Namun pemerintah hanya memberikan bantuan operasional sebesar Rp 3 juta. "Sedangkan perguruan tinggi di bawah kementerian biaya pendidikannya bisa mencapai Rp 20 juta," kata Pahala.
Pahala juga membandingkan pengelolaan dana oleh PTN. Dia mengatakan anggaran yang dialokasikan untuk mahasiswa kampus-kampus negeri juga hanya sekitar Rp 7 triliun. Sementara itu, anggaran untuk sekolah kedinasan yang diselenggarakan oleh kementerian dan lembaga sebesar Rp 32,859 triliun. "Jadi anggaran pendidikan untuk PTN lebih kecil ketimbang perguruan tinggi kementerian atau sekolah kedinasan," kata Pahala.
Dia juga menyoroti porsi anggaran pendidikan sekolah kementerian yang lebih besar ketimbang anggaran bagi kampus-kampus negeri di bawah Kemendikbudristek. Jumlah mahasiswa di sekolah kedinasan kementerian juga lebih sedikit ketimbang di PTN. Banyaknya jumlah mahasiswa di kampus negeri membuat Kemendikbudristek hanya memberikan porsi bantuan yang sedikit. "Kasihan PTN yang ingin membuat mahasiswa berkualitas, tapi anggarannya sedikit," kata Pahala.
Berdasarkan data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) 2023, jumlah perguruan tinggi di Indonesia mencapai 4.523. Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah mahasiswa di Indonesia pada 2023 mencapai 7,8 juta. Jumlah tersebut terdiri atas 3,3 juta mahasiswa di universitas negeri dan 4,4 juta mahasiswa di universitas swasta.
Adapun berdasarkan data dari Kemendikbudristek, terdapat 125 perguruan tinggi di bawah 24 kementerian pada 2023. Jumlah sekolah kedinasan ini berkurang dibanding pada tahun lalu yang sebanyak 179. Pada tahun lalu, total mahasiswanya sebanyak 170 ribu dengan rincian 161.378 mahasiswa vokasi dan 7.445 mahasiswa akademik.
Dari pertemuan itu, Pahala menyimpulkan, Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2022 tak dijalankan. Menurut dia, hal tersebut terjadi karena pelaksanaan peraturan tersebut tidak diawasi. "Juga tak ada sanksi," kata Pahala.
Praja mengikuti prosesi wisuda di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, 28 Juli 2020. ANTARA/Raisan Al Farisi
Pertemuan tersebut berakhir sekitar pukul 12.30 WIB. Pahala mengatakan tak ada arahan terhadap kementerian soal pengelolaan anggaran bagi sekolah kedinasan. Namun KPK menyatakan akan mendalami temuan ini. KPK sejatinya sudah pernah mengkaji pos anggaran ini pada 2016. Dari kajian saat itu, KPK meminta Presiden menghapus pos anggaran pendidikan bagi kementerian dan lembaga. "Lebih baik mereka menggunakan pos anggaran masing-masing saja," kata Pahala.
Besaran dana pendidikan yang dinilai jomplang antara sekolah kedinasan dan perguruan tinggi negeri juga menjadi sorotan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat. Sepekan setelah pertemuan KPK dengan sejumlah kementerian, Komisi X DPR menggelar rapat kerja dengan Mendikbudristek Nadiem Makarim pada Kamis, 13 Juni lalu. Dalam rapat tersebut, anggota Komisi X DPR, Ratih Megasari Singkarru, sempat menyinggung temuan KPK tentang kampus di Indonesia.
Ratih mengatakan pendidikan tinggi di Indonesia memiliki sistem yang tergolong unik. Menurut dia, banyak kampus tidak dikelola langsung oleh Kemendikbudristek, melainkan oleh kementerian atau lembaga lainnya. Dia menilai kondisi tersebut bisa menghambat efisiensi pengelolaan pendidikan tinggi.
Menurut Ratih, sistem tersebut menyebabkan alokasi anggaran tidak terkelola dengan baik. “Banyak lembaga pemerintahan atau kementerian yang mempunyai perguruan tinggi sendiri yang menyebabkan alokasi anggaran pendidikan tersebar dan tidak terpusat dengan baik,” ucap politikus Partai NasDem itu dalam rapat yang berlangsung di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis, 13 Juni lalu. “Sistem pendidikan tinggi memiliki keunikan yang membuat tidak optimal dalam hal efisiensi.”
Ratih menegaskan, pemerintah sebaiknya melakukan perubahan agar pendidikan tinggi bisa lebih terfokus dan terkoordinasi di bawah Kemendikbudristek. Salah satunya dengan melakukan restrukturisasi dan manajemen ulang persoalan pendidikan tinggi.
Menanggapi hal tersebut, Nadiem Makarim mengatakan bakal mengirim jawaban secara tertulis untuk Komisi X DPR. Dalam rapat tersebut, Nadiem juga sempat meminta tambahan anggaran Kemendikbudristek sebesar Rp 25 triliun pada 2025.
Nadiem mengatakan saat ini pagu indikatif tahun anggaran 2025 untuk Kemendikbudristek sebesar Rp 83,19 triliun. “Seperti yang kita ketahui, alokasi tersebut masih belum dapat mengakomodasi semua kebutuhan kita atau keinginan kita untuk melanjutkan dan memperbesar beberapa program,” kata Nadiem.
Dalam kesempatan terpisah, anggota Komisi X DPR, Andreas Hugo, mengatakan penghitungan biaya pendidikan satuan mahasiswa yang dibiayai pemerintah dengan biaya dari sekolah kedinasan sudah tepat. Penghitungan tersebut membuka ketidakadilan dukungan pembiayaan negara terhadap mahasiswa kampus negeri dengan sekolah kedinasan.
Menurut anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini, Komisi X beberapa kali membahas masalah ini. Namun kewenangan Komisi X dan Kemendibudristek hanya membahas 20 persen anggaran pendidikan secara keseluruhan. Alokasi anggaran pendidikan untuk sekolah kedinasan ditentukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan. "Karena itu, Komisi X DPR tidak punya kewenangan itu," kata Andreas saat dihubungi, kemarin.
Menurut Andreas, masalah ini berhubungan dengan kewenangan kementerian atau lembaga yang membawahkan sekolah-sekolah kedinasan. Menurut dia, Presiden harus turun tangan mengatasinya.
Hingga berita ini ditulis, Tempo belum mendapat konfirmasi dan komentar dari sejumlah pejabat di kementerian yang berhubungan dengan masalah ini. Pelaksana harian Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Aang Witarsa Rofik, mengatakan tidak berwenang menjawab soal ini.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Abdul Haris mengatakan berjanji akan untuk menyiapkan jawaban. Namun ia belum mengirim jawaban hingga berita ini diturunkan. Adapun Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie juga tak menjawab permintaan konfirmasi Tempo.
Tempo juga menghubungi Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR Endra Saleh Atmawidjaja, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa, serta juru bicara Kementerian Keuangan, Yustinus Prastowo. Namun pesan Tempo yang dikirim melalui aplikasi perpesanan WhatsApp belum dibalas hingga berita ini terbit.
Respons Pengamat
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan temuan KPK itu menunjukkan 20 persen anggaran pendidikan tidak sepenuhnya digunakan untuk tujuan pendidikan. Menurut dia, anggaran pendidikan yang sebesar 20 persen dari anggaran negara masih digunakan untuk perguruan tinggi kementerian berupa sekolah-sekolah kedinasan. Semestinya sekolah kedinasan tidak mengambil anggaran 20 persen anggaran pendidikan dari APBN, melainkan mengambil dari anggaran masing-masing kementerian.
Menurut Ubaid, penganggaran model saat ini membuat kampus-kampus negeri di bawah naungan Kemendikbudristek tidak mendapat bantuan pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan. Kurangnya anggaran, menurut dia, menjadi alasan PTN berjibaku mencari dana dari mahasiswa dengan menaikkan UKT. “Akibatnya, biaya di PTN mahal, sementara sekolah-sekolah kedinasan penuh dengan fasilitas dan tunjangan yang berlimpah,” kata Ubaid saat dihubungi, kemarin.
Ubaid juga menyoroti penggunaan anggaran pendidikan sekolah-sekolah kedinasan. Menurut dia, pemanfaatan anggaran itu selama ini dinilai tidak transparan sehingga bisa membuka ruang praktik korupsi.
Dihubungi secara terpisah, Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul, mengatakan lebih besarnya anggaran untuk sekolah-sekolah kedinasan membuat PTN harus mencari dana sendiri. Dampak itu, kata Satria, menunjukkan seakan-akan pemerintah lepas tangan untuk membiayai pendidikan tinggi. "Akhirnya terjadi liberalisasi pendidikan yang ekstrem. PTN harus berjuang dari nol untuk mencari tambahan dana," kata Satria.
Menurut Satria, cara paling mudah bagi PTN mencari dana untuk memenuhi kebutuhan kampusnya adalah melalui UKT. Mereka akan menaikkan biaya UKT untuk menutupi biaya operasional kampus. Namun kenaikan UKT itu tidak berbanding lurus dengan fasilitas pembelajaran yang diperoleh mahasiswa. "Juga tidak berbanding lurus dengan ketersediaan gedung dan SDM," kata Satria.
Untuk itu, Satria meminta Kemendikbudristek dan lembaga yang berhubungan dengan masalah ini duduk bersama mencari solusi. Satria menilai mereka harus meninjau tata kelola pendidikan yang bermasalah dengan membuka semua data secara transparan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.