Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Mayoritas Responden Tempo Setuju Istilah Kafir Tidak Digunakan

Rekomendasi Munas Alim Ulama NU mengusulkan tidak menggunakan istilah kafir.

11 Maret 2019 | 12.03 WIB

Suasana rapat pleno dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, 27 Februari 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Suasana rapat pleno dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, 27 Februari 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Mayoritas responden survei Tempo.co menyetujui usulan yang muncul di dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas Alim Ulama NU) untuk tidak menggunakan sebutan kafir kepada warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama Islam.

 
Baca: 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

 

Jumlah responden yang setuju dengan usulan ini sebanyak 1158 orang. Namun, ada juga responden yang tidak setuju dengan usulan ini, yang jumlahnya sebanyak 892 orang. Sebagian kecil responden mengaku tidak tahu soal isu ini dengan jumlah 19 orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti diberitakan, usulan soal tidak menggunakan penyebutan kafir ini muncul dalam pembahasan Sidang Komisi Bahtsul Masail Masail Maudluiyyah dalam acara Musyawarah Nasional Alim Ulama, yang digelar Nahdlatul Ulama. Acara berlangsung di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat pada 27 Februari hingga 1 Maret 2019.

Pimpinan sidang komisi, Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan para kiai berpandangan penyebutan kafir dapat menyakiti warga nonmuslim di Indonesia.

 

Baca: 

Munas Ulama NU Rekomendasikan Warga NU Tidak Golput

 

“Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis, karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi Muwathinun atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain,” kata dia pada Sabtu, 2 Maret 2019.

Moqsith mengatakan rekomendasi dari Bahtsul Masail Maudlyuiyyah ini bukan berarti NU akan menghapus penggunaan kata kafir di dalam Al Quran atau hadis. Keputusan ini hanya berlaku pada penyebutan kafir untuk warga Indonesia yang nonmuslim.

Bahstsul Masail Maudluiyyah juga membuat empat rekomendasi lainnya. Ada rekomendasi soal sampah plastik, yang penanganannya diusulkan melibatkan elemen budaya.

Juga ada rekomendasi mengenai bisnis multi level marketing, yang dianggap haram. Bisnis ini disebut menggunakan skema piramida, matahari atau ponzi. Lalu ada rekomendasi soal konsep Islam Nusantara dengan menyebutnya bukan sebagai aliran baru tapi sesuai ahli sunnah wal jamaah.

 

Baca: 

 

Dan para ulama NU juga merekomendasi sikap untuk tidak golput dalam pemilu. NU merekomendasikan kalangan internal untuk tidak golput pada pemilu karena diperlukan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Mengenai hasil rekomendasi Bahstsul Masail Maudluiyyah ini, pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia menyatakan menghormati keputusan itu. Ini membuat umat Hindu di Indonesia merasa lebih nyaman. “Sejuk, sangat sejuk,” kata Wisnu Bawa Tenaya, ketua PHDI, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

Soal ini, pengurus Persekutuan Gereja Indonesia menghormati hasil Munas Alim Ulama NU. Ketua PGI, Hendriette Hutabarat mengatakan istilah kafir terkadang mengganggu persaudaraan antara masyarakat Indonesia.  

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus