Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memerangi Alkohol dan Bukan Muhrim

Kota Tangerang menjalankan peraturan daerah baru melarang minuman keras dan pelacuran. Kawasan hiburan malam tetap marak.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRIA itu menghentikan sepeda motornya di depan sebuah toko obat di Jalan Ki Samaun, Kota Madya Tangerang, Banten. Ia menyorongkan selembar uang Rp 20 ribu kepada engkoh pemilik toko. Mafhum akan hajat pembelinya, sang engkoh ganti mengulurkan sebotol minuman berkadar alkohol di atas 40 persen. ”Hati-hati,” katanya, seraya menyerahkan uang kembalian.

Tapi sang pembeli tak langsung cabut. Ia merasa uang kembalian itu lebih tipis dari biasanya. Dia berusaha protes. Tapi si engkoh sudah siap menangkis. ”Susah nyarinya sekarang,” tuturnya. ”Banyak razia.”

Meski masih mangkel, pria 40-an tahun itu segera menyingkir sambil menyelipkan botol di balik jaketnya. ”Kata siapa susah? Banyak toko kelontong di sini yang jual,” ia mengomel sambil tancap gas. Tapi dia juga tahu, semua penjual ”air kata-kata” di kota itu sudah menaikkan harga secara sepihak.

Kenaikan harga tanpa pengumuman itu terjadi setelah keluarnya Peraturan Daerah No. 7/2005 tentang Larangan Peredaran Minuman Keras, di Kota Madya Tangerang. Disahkan pada akhir November lalu, telah sebulan peraturan itu menjalani masa sosialisasi. Sejak awal tahun ini, larangan itu berlaku efektif.

Ruslan—sebutlah begitu nama pembeli tadi—memang sudah kecanduan minuman beralkohol. Tapi, dia juga ingin menghentikan kebiasaan itu.

Dia malah berharap peraturan daerah itu tak hanya ampuh menghentikan peredaran minuman keras, tetapi juga manjur melenyapkan ketagihannya pada alkohol. Sebagai lulusan sekolah agama, dia sadar kebiasaan itu haram hukumnya.

Dia mengaku, lingkungan kerjanya sebagai kurir tembakan membuat dia terjerumus minuman beralkohol. ”Kalau tidak ikut minum, tidak diberi obyekan sama teman-teman,” katanya. Padahal dia harus menghidupi dua istri dan lima anak.

Teler kolektif sudah menjadi acara mingguan bersama gengnya. Mereka sering kali berkumpul di diskotek, sambil menelan inex. ”Tapi, setelah pulang, saya selalu mandi layaknya mandi junub,” katanya.

Di Kota Madya Tangerang, minuman beralkohol tak cuma dijual sembunyi-sembunyi. Sejumlah minimarket menjualnya secara terbuka. Misalnya minimarket di depan Pengadilan Negeri Tangerang, yang memajang minuman beralkohol di etalase paling bawah. ”Kalau masih ada yang menjual seperti sekarang, saya bisa terus membeli lagi dan minum lagi,” kata Ruslan, lalu terbahak.

Alotnya Ruslan meninggalkan kebiasaan itu sama alotnya dengan perdebatan di DPRD Kota Madya Tangerang. Wali Kota Tangerang, Wahidin Halim, mengajukan peraturan daerah ini ke DPRD sejak Agustus lalu. Ketika dibawa ke rapat gabungan, muncul penentangan dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PPP.

Kedua fraksi ini meminta panitia khusus mempertimbangkan peraturan yang lebih tinggi, Keputusan Presiden Tahun 1997. Keputusan presiden tidak melarang peredaran minuman keras, tetapi meminta dilakukan pengawasan dan pengendalian.

Fraksi Keadilan Sejahtera, yang disokong Fraksi Golkar, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Kebangkitan Bangsa, bersikukuh minuman keras tetap dilarang. Dewan akhirnya mencapai kata sepakat, mengesahkan peraturan daerah tentang pelarangan miras ini, kecuali di hotel dan restoran tertentu. Yang melanggar akan dikenai sanksi kurungan tiga bulan atau denda Rp 50 juta bagi pengedar, dan Rp 5 juta untuk pengguna.

DPRD juga meluncurkan satu peraturan daerah lagi yang melarang pelacuran. Peraturan Daerah No. 8 ini melarang berbagai bentuk pelacuran dengan sanksi bagi yang melanggar sebesar Rp 15 juta atau kurungan selama tiga bulan.

Ancaman denda dan kurungan bagi penenggak minuman keras memang membuat Ruslan waswas. Tetapi, soal pelacuran, dia tak terlalu ambil pusing. ”Sorry, bukan muhrim,” katanya.

Ruslan memang mengaku pelanggan sejumlah diskotek di kawasan Pinangsia, Tangerang. Kawasan hiburan malam di Kota Madya Tangerang ini terletak di dekat jalur tol Karawaci menuju Jakarta. Di sana bertebaran rumah toko yang menggelar musik hidup, pijat, serta diskotek.

Saat dengar pendapat dengan anggota DPRD, tokoh masyarakat yang diundang menyebut, berbagai tempat pijat di Pinangsia memberikan pelayanan seks. ”Panti pijat itu hanya selubung,” kata Mahdi Ardiansyah, tokoh masyarakat yang diundang, Rabu dua pekan lalu. Mahdi bahkan hafal tarif para pelacur itu: Rp 700 ribu setiap jam.

Meski menjadi sorotan dan terancam Perda, suasana Pinangsia tidak berubah. Ingar-bingar kehidupan malam dengan musik, alkohol, dan para pemijat terus beroperasi. Lampu warna-warni menyemangati para tamu.

Hotel-hotel yang masih diizinkan menjual minuman beralkohol pun merasakan imbas peraturan daerah, meski tak terlalu besar. Gendon Suryojoyo, General Manager FM 3 Transit Hotel, mengaku tamu berkurang, meskipun selama ini tamunya adalah para pekerja asing dari Korea, Cina, dan Taiwan.

Hotel yang juga menyediakan tempat karaoke itu biasanya terisi separuh. Kini jumlah tamunya turun beberapa persen. Dia khawatir para tamu itu memilih menyeberang ke kawasan Gading Serpong, yang berada di Kabupaten Tangerang.

Jika kondisi ini keterusan, dia khawatir karyawan terancam tidak bekerja. ”Saya sendiri tidak ingin mem-PHK karyawan yang jumlahnya sekitar 300 orang itu,” ujarnya.

Gendon sendiri menyokong peraturan daerah yang baru. Sebab, jika peraturan itu betul-betul dijalankan, para peminum alkohol hanya akan mengkonsumsi di tempat yang tepat, seperti hotel dan karaoke, dan tidak keleleran di jalan-jalan.

Ketika Ruslan dan Gendon lesu, di ujung Jalan Daan Mogot semangat justru berkobar-kobar. Para petugas di kantor Dinas Ketenteraman dan Ketertiban menyusun strategi mengamankan amanat dua peraturan daerah tentang larangan minuman beralkohol dan pelacuran.

”Kita akan melakukan operasi minuman keras mulai awal Januari,” kata Sabar P. Situmorang, Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Tramtib, Selasa pekan lalu, di kantornya.

Sabar sudah tak sabar memasang target: setelah operasi ini, tidak akan ada lagi peredaran minuman keras di tempat-tempat umum. Berbagai persiapan sudah dilakukannya. Di antaranya menyiapkan 68 pegawai penyidik negeri sipil (PPNS) dan menyebar intel ke beberapa wilayah yang dicurigai rawan peredaran minuman keras.

Dia mengaku sudah mengantongi informasi tempat-tempat yang menyimpan dan mengedarkan minuman keras. ”Saya tidak bisa menyebutkannya sekarang,” katanya dengan gaya berahasia. ”Nanti lihat saja kalau sudah ditertibkan.”

Agung Rulianto, Ayu Cipta (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus