Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURABAYA tampaknya yang tercepat dalam proses penyidangan
perkara yang disebut "Sidang Operasi Kilat": mengadili Ketua dan
Sekretaris Umum DM ITS yang dituduh menghina Kepala Negara. Para
saksi hampir semuanya sudah didengar keterangannya. "Saksi
mahasiswa umumnya tidak memberatkan," kata Pamudji dari tim
pembela.
Yang mengecewakan tim pembela adalah ketidakhadiran para
wartawan sejak pemeriksaan saksi dimulai. Soal ini malahan
ditanyakan pada Majelis Hakim, apakah memang kehadiran wartawan
dilarang. Majelis Hakim menjawab sidang tetap terbuka untuk
umum. Lantaran wartawan tidak nongol, mereka terlambat tahu
kedua tertuduh sudah sejak pekan lalu dikeluarkan dari tahanan
sementara menjadi tahanan luar. Menurut rencana 27 Pebruari
Jaksa akan membacakan rekwisitornya untuk perkara Sekum Moh.
Sholeh.
Di kota lain umumnya sidang baru sampai tingkat pembacaan
eksepsi. Di Bandung 4 tertuduh mulai disidangkan 7 Pebruari lalu
yang tetap mendapat perhatian besar pengunjung. Dalam sidang
yang mengadili Lala Mustofa, ketua DM Universitas Islam Bandung
(Unisba), sekitar 30 menit dilewatkan untuk debat antara Tim
Pembela, Jaksa dan Majelis Hakim mengenai cara pemanggilan
tcrtuduh. Menurut pembela, panggilan pihak kejaksaan tidak
memenuhi syarat karena disampaikan lewat temannya ketika bertemu
di kampus hingga persidangan untuk hari itu dianggapnya tidak
sah.
Setelah diskors 5 menit, Majelis Hakim memutuskan sidang tetap
akan diteruskan dan pembela naik banding. Jaksa kemudian
membacakan tuduhannya yang didengarkan Lala sambil duduk setelah
diijinkan hakim karena terdakwa berdalih "bila berdiri pasti
akan pingsan. "
Mengenakan jaket mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII)
warna biru tua, datang dengan Mercedes 220 S bersama para
pembelanya, tertuduh Maqdir Ismail (25 tahun) 12 Pebruari lalu
mulai disidangkan Pengadilan Negeri Yogyakarta. Kedatangannya
terlambat sekitar 10 menit setelah Ketua Majelis Hakim membuka
sidang. Karena setelah berkali-kali dipanggil ternyata tertuduh
belum juga muncul, sidang diskors 15 menit untuk
mempertimbangkan usul jaksa, agar tertuduh ditahan untuk tidak
mengganggu kelancaran sidang.
Tertuduh menjelaskan, keterlambatannya karena harus menunggu
salah satu pembelanya, Marhaban Zainun. Marhaban sendiri
mengakui kesalahannya danminta maaf. Tapi agaknya majelis
mempunyai pertimbangan sendiri, dan sebeium sidang ditutup
diumumkan bahwa pengadilan mengabulkan permintaan jaksa untuk
menahan tertuduh.
Tapi di Medan tertuduh Jose Rizal 'menegur' Majelis Hakim agar
"tidak memakai jam karet." Tertuduh minta sidang dimulai tepat
pada jam 09.00, dan tidak berlarut mulai pada 11.30. Majelis
Hakim mengangguk, sekalipun tak mengomentari teguran itu.
Akibat sampingan dari penyidangan ini tampaknya menimbulkan
bisnis baru di Yogya: jual beli rekaman kaset sidang. Mungkin
ini karena koran Yogya untuk sementara tidak menyiarkan berita
penyidangan ini, dan hanya koran kampus Gelora Mahasiswa UGM
yang memuatnya agak lengkap.
Lancar
Masalah "pembatasan pemberitaan pers" mengenai "Sidang Operasi
Kilat" tampaknya dicoba dijernihkan melalui pertemuan antara PWI
dan Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika serta para pimpinan media
massa di Jakarta Senin pagi lalu. Pertemuan menilai tidak ada
larangan untuk memberitakan sidang pengadilan terbuka itu. Pers
tetap dibenarkan memberitakannya dengan mematuhi norma dan
ketentuan yang tercantum dalam kode etik jurnalistik. Penilaian
tersebut dikemukakan agar tidak terjadi kesimpangsiuran
penafsiran mengenai pemberitaan pers tentang masalah itu.
Kesimpangsiuran penafsiran itu memang kelihatan. Pekan lalu
misalnya, hanya harian Pelita yang memberitakan dimulainya
penyidangan perkara beberapa tertuduh dari Universitas Indonesia
di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain menerbitkan buletin
berita penyidangan pengadilan ini, kalangan mahasiswa juga
berusaha memperoleh penjernihan mengenai masalah pemberitaan
pers pada beberapa pejabat, antara lain mereka menemui pimpinan
DPR, pimpinan Fraksi Karya Pembangunan serta Menpen Ali
Murtopo. "Kami hanya ingin bertanya pada pak Ali mengenai
kedudukan pers dalam kebijaksanaan pemberitaan peradilan ini,"
kata Mathias Thayeb dari ITB seusai pertemuannya yang 1 jam
dengan Menpen.
Wakil Ketua DPR Kartidjo serta pimpinan FKP pada delegasi ini
berjanji untuk mengadakan pendekatan dengan Pemerintah atau
lembaga yang menangani pers. "Masalah keterbukaan pengadilan
sebenarnya masalah kita semua. Mahasiswa datang atau tidak ke
sini, kita akan berusaha untuk itu," kata Sekretaris FKP Sarwono
Kusumaatmadja pada TEMPO. Permintaan mahasiswa itu dinilainya
wajar, hingga FKP juga menanggapinya dengan wajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo