DIREKTUR Utama PT Inter Guard, Soetadi Hartowigoeno pusing di
hari-hari menjelang Lebaran ini. Perusahaannya yang mengelola
jasa keamanan swasta dilarang beroperasi. Sebagian dari 380
karyawannya yang selama ini disewa berbagai perusahaan sebagai
satpam tiba-tiba menjadi penganggur.
Keadaan semacam itu dialami pula oleh 13 perusahaan yang serupa
di Jakarta. Belasan badan lainnya -- berupa yayasan, PT atau CV
-- yang tidak terdaftar juga mengalami nasib yang sama. Kapolri
dengan surat keputusannya pertengahan Juni lalu melarang usaha
jasa keamanan melanjutkan kegiatannya sejak 1 Juli lalu. Semua
perusahaan itu dianjurkan mengalihkan bisnisnya, dan menyalurkan
karyawannya ke bidang pekerjaan lain.
Keputusan Kapolri itu bermula dari kekhawatiran aparat keamanan,
melihat makin suburnya usaha semacam itu akhir-akhir ini.
Puluhan usaha jasa keamanan di Jakarta maupun di daerah muncul
dengan berbagai nama. Usaha yang mereka lakukan juga sudah
mencakup bidang yang lebih luas. Dari menyewakan petugas
keamanan atau satpam untuk perusahaan sampai ke pengawal
pribadi. "Bahkan truk-truk di jalan raya ikut mereka amankan
dengan menempelkan stiker organisasi atau perusahaan semacam
itu," kata seorang sumber. Aparat keamanan khawatir kalau-kalau
usaha itu berkembang -- terutama yang tidak terdaftar menjadi
semacam Mafia. Apalagi dengan munculnya badan usaha seperti
Baladika Karya yang menghimpun anggota sebanyak 5.000 orang,
banyak di antaranya bekas residivis dan narapidana.
Awal Januari lalu, Pangkopkamtib Sudomo bersama Kapolri
Awaloedin Djamin sudah mencanangkan pelarangan usaha itu di
depan Pengusaha Perusahaan Jasa Keamanan (PJK). Semua PJK itu
diberi waktu 6 bulan untuk mengalihkan usahanya dan menyalurkan
karyawannya. Perusahaan yang selama ini menyewa satpam dari PJK
juga dianjurkan mengangkat satpam itu menjadi karyawan tetap.
Tiga kemungkinan usaha baru: konsultasi keamanan, penyediaan
alat keamanan dan usaha mendidik dan melatih anggota satpam
ditawarkan untuk dikelola PJK. Tapi ternyata pelaksanaannya
tidak gampang. "Dari jiwa putusan itu perusahaan kami sudah mati
dan ditutup," ujar Soetadi Hartowigoeno. Selain kekurangan
modal, Soetadi mengaku tidak punya tenaga ahli untuk bisnis baru
itu.
Di PLN misalnya, dari 30 anggota satpam yang disewa dari PT
Inter Guard hanya 3 orang yang diterima jadi karyawan PLN. Lebih
parah lagi di PT Patra Jaya, anak perusahaan Pertamina -- 18
orang anggota satpam yang ditempatkan di perusahaan itu
dikembalikan ke PT Inter Guard. Sebagian dari mereka awal Juli
ini mengadukan nasib mereka ke DPR.
Keadaan di perusahaan lain ternyata tidak lebih baik. Dari 150
orang anggota PT Shape Guard yang dikaryakan di berbagai
perusahaan, hanya 40 yang diangkat. Selebihnya mereka
terlunta-lunta. "Mereka melakukan seleksi dan ujian untuk
mengangkat karyawan kami menjadi karyawan tetap mereka," ujar
Joko Waluyo, Kepala Bagian Personalia PT Shape Guard. Akibatnya
banyak di antara satpam itu yang gagal.
Pihak perusahaan penyewa satpam tampaknya juga tidak sepenuh
hati mematuhi himbauan Kapolri itu. PT Djembar Djaja misalnya,
mengembalikan 13 karyawan PT Shape Guard tanpa mengangkat
seorang pun menjadi karyawan tetap. "Kalau karyawan tetap
menghilangkan barang yang harganya jutaan, kami paling-laling
bisa memecat, tapi kalau mereka dikontrak kami bisa tuntut
perusahaan mereka," alasan Gunara Kusika, Kepala Divisi Logistik
PT Djembar Daja.
Keengganan mendidik bekas satpam sewaan itu bahkan menghinggapi
pula orang yang bergerak di bidang satpam seperti Suwardi,
Koordinator satpam PT Ratu Sayang Internasional yang mengelola
Proyek Pertokoan Ratu Plaza. Suwardi menolak tawaran sebuah
perusahaan asing di Ratu Plaza untuk membina 20 orang satpam
sewaan agar bisa jadi karyawan tetap. Alasannya banyak satpam
susah diatur, termasuk di antaranya 150 orang anak buahnya yang
sudah jadi karyawan tetap PT Ratu Sayang. "Masih ada saja yang
bermental bandit dan tersangkut jaringan a la Mafia," keluhnya.
Apakah menganggurnya bekas satpam itu tidak akan menambah
kerawanan? "Sulit untuk mengatakan begitu," ujar H.M. Pane
Dir-Ut Pane's General Prottion/Security Service yang juga Ketua
Asosiasi Perusahaan Jasa Keamanan. Toh ia mengkhawatirkan makin
banyaknya kejahatan belakangan ini.
Kekhawatiran Pane itu sudah terjadi di Semarang. "Banyak anggota
Fajar Menyingsing sekarang kembali ke profesi semula," kata
Kelik, Ketua Yayasan HMKI (Himpunan Massa Kesadaran Indonesia).
Organisasi yang menghimpun hampir 2.000 orang bekas Gali
(residivis) ini sekarang hanya tinggal nama, akibat perpecahan
di kalangan pengurus sendiri. "Setidaknya 3 orang anggota tewas
dan 10 orang lainnya luka-luka akibat perpecahan itu," kata
Kelik. Sebab itu HMKI sudah bubar sebelum pengumuman Kapolri,
walau belum ada peresmian pembubaran diri.
Tapi kekhawatiran akibat pelarangan itu sudah diperhitungkan
petugas keamanan. Di Surabaya, sejak Mei lalu, POM ABRI beserta
Garnisun Surabaya turun tangan siang-malam untuk mengamankan
terminal bis Joyoboyo yang dikuasai oleh Massa 3 3, begitu
organisasi itu dibubarkan. Ketua Massa 33, Sugiyanto mengaku
anak buahnya banyak yang gelandangan atau residivis. "Kalau
setelah pelarangan ada bekas anggota yang berbuat kriminal saya
tidak bertanggung jawab," ujar Sugiyanto yang juga menyesalkan
pelarangan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini