Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Terabaikan dalam Gencarnya Pemutihan Sawit Ilegal

Di tengah proses pemutihan kebun sawit di dalam kawasan hutan, warga yang berkonflik dengan korporasi terkatung-katung.

24 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH betang suku Dayak di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, menjadi saksi penolakan warga terhadap usul pemerintah daerah dalam upaya menyelesaikan konflik agraria dengan perusahaan perkebunan sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada I (HMBP I). Pertemuan dengan agenda sosialisasi pada Senin, 20 November lalu, itu berlangsung panas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah Kabupaten Seruyan menawarkan pengembalian tanah seluas 1.175 hektare kepada warga Desa Bangkal yang selama ini diklaim sebagai milik PT HMBP I. Tanah itu akan diberikan dalam dua tahap. Tahap pertama, masyarakat akan mendapat langsung lahan seluas 443 hektare. Sisanya akan menyusul pada tahap berikutnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun pemberian tanah tahap kedua belum ada jaminan bakal terlaksana. Pasalnya, lahan itu masuk kawasan hutan. “Sekitar 732 hektare sisanya belum ada pelepasan kawasan hutan. Jadi kami masih usahakan,” kata Sekretaris Desa Bangkal Sangkai kepada Tempo, kemarin. 

Warga Desa Bangkal menolak tawaran itu. Koordinator warga Desa Bangkal, James Watt, mengatakan masyarakat menuntut pemerintah memberikan semua lahan secara langsung. “Kami tidak ingin ada tahap-tahapan,” ujarnya.

Tangkapan layar asap dari gas air mata yang dilontarkan polisi saat warga Desa Bangkal melakukan aksi menuntut plasma sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) di Seruyan, Kalimantan Tengah, 7 Oktober 2023. Dok. Warga via Twitter/@YLBHI

James mengatakan tekad warga Desa Bangkal semakin bulat mengingat pengorbanan Gijik pada 7 Oktober lalu. Gijik tewas tertembak peluru tajam ketika polisi membubarkan aksi warga Desa Bangkal yang menutup akses jalan menuju perkebunan sawit PT HMBP I. Kala itu masyarakat berunjuk rasa untuk menuntut hak mereka atas kebun plasma yang sudah berpuluh tahun tak dipenuhi perseroan. “Kami tidak mau pengorbanan Gijik sia-sia,” kata James.

James khawatir, bila masalah ini berlarut-larut, PT HMBP I akan berupaya mendapatkan sisa tanah seluas 732 hektare itu. Menurut dia, masyarakat mendengar kabar bahwa perusahaan tengah memohon pengampunan atas kebun sawit di kawasan hutan, yang sudah lama dilarang oleh Undang-Undang Kehutanan. “Kalau perusahaan berhasil diputihkan, pemerintah benar-benar berpihak kepada pemodal,” kata pria 54 tahun itu.

Ikut Gerbong Pemutihan Kebun Sawit Ilegal 

Berbekal Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah tengah menggeber proses penyelesaian hukum atas kegiatan usaha di dalam kawasan hutan yang tak mengantongi izin kehutanan. Kegiatan usaha tersebut di antaranya perkebunan sawit. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan luas tutupan sawit dalam kawasan hutan mencapai 3,3 juta hektare. 

Proses penyelesaian ini lebih dikenal sebagai pemutihan izin sawit. Disebut begitu lantaran penyelesaian ini menjadi pintu masuk bagi legalisasi kebun sawit yang selama ini beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan. 

Penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan ini terbagi menjadi dua mekanisme. Pasal 110A UU Cipta Kerja diperuntukkan bagi kebun sawit dalam kawasan hutan yang memiliki izin lokasi atau izin usaha perkebunan yang diterbitkan sebelum berlakunya omnibus law tersebut. Sedangkan Pasal 110B untuk penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan yang tak memiliki perizinan kehutanan.

Perkebunan kelapa sawit di Riau. ANTARA FOTO/FB Anggoro

UU Cipta Kerja menetapkan batas waktu hingga 2 November 2023 bagi pelaku usaha untuk mendaftar dalam proses penyelesaian tersebut. Sebagai bagian dari proses tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan sejumlah surat keputusan berisi data dan informasi pelaku usaha yang akan turut dalam pemutihan.

Kekhawatiran James bahwa PT HMBP berniat ikut pemutihan sawit ilegal tak berlebihan. Merujuk pada SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 196/MENLHK/Setjen/Kum.1/3/2023 yang terbit pada 7 Maret 2023, kebun sawit PT HMBP tercatat dalam daftar pelaku usaha yang mendaftar dalam proses penyelesaian sawit dalam kawasan hutan di Kalimantan Tengah. Kebunnya seluas 4.769 hektare.

Belakangan, pada 4 Oktober lalu, KLHK kembali menerbitkan SK Nomor 1096/MENLHK/Setjen/Kum.1/10/2023. PT HMBP lagi-lagi tercatat dalam daftar dengan kebun seluas 3.995 hektare di Kalimantan Tengah. 

Kepala Seksi Hubungan Masyarakat PT HMBP I di Seruyan, Hendry, enggan berkomentar ketika ditanya mengenai kabar perseroan turut dalam pemutihan izin kebun sawit dalam kawasan hutan. Dia menyatakan tak memiliki kewenangan untuk menjelaskan status lahan perseroan. “Saya kebetulan tidak tahu masalah perizinan tersebut. Hanya kantor kami di Jakarta yang bisa menjelaskan,” kata Hendry kepada Tempo, kemarin.

Tempo berupaya meminta penjelasan kepada induk PT HMBP I, PT Best Agro Internasional, melalui e-mail dan telepon yang tercantum dalam situs web resmi perusahaan. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada jawaban dari mereka.

Setali tiga uang, Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono dan Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Nunu Anugrah tidak merespons upaya Tempo untuk meminta penjelasan mengenai informasi tersebut. 

Truk bermuatan kelapa sawit menuju pabrik Permata Bunda di Pematang Panggang, Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 17 Juli 2023. ANTARA/Budi Candra Setya

Jalan Pintas Pemutihan yang Serba Tertutup

Pengkampanye hutan dan kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Uli Arta Siagian, mengatakan penataan kebun sawit dalam kawasan hutan sebetulnya telah dimulai jauh sebelum UU Cipta Kerja terbit. Pemerintah pernah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Isinya, korporasi harus segera menyelesaikan proses administrasi bagi yang belum memiliki izin lengkap, baik di sektor perkebunan maupun kehutanan. Perusahaan diberi waktu tiga tahun untuk melengkapi izin setelah PP itu disahkan. 

Dalam pelaksanaannya, masih banyak perusahaan sawit yang tak kunjung melengkapi izin. Pemerintah, kata Uli, juga tidak tegas memberikan sanksi kepada perusahaan itu. Dalam keadaan itu, muncul UU Cipta Kerja yang memberikan pemutihan kepada perusahaan sawit ilegal. 

“Kalau taat mandat, pemerintah seharusnya memberikan sanksi administrasi dan pidana. Bukannya memberi sanksi, pemerintah malah memberi payung hukum baru dalam pasal di UU Cipta Kerja,” kata Uli kepada Tempo, kemarin.

Uli khawatir kebijakan pemutihan menjadi modus baru bagi perusahaan sawit yang nakal. Mereka tidak akan mengurus izin secara legal karena berpandangan pasti akan ada kebijakan pemutihan.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra mengatakan selama ini KLHK juga tidak pernah mempublikasikan perusahaan-perusahaan yang sedang meminta pemutihan. Padahal data itu penting dibuka agar publik mengetahui perkebunan sawit ilegal yang tak layak mendapat pemutihan, misalnya yang selama ini terbukti terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan, melanggar hak asasi manusia, menyerobot lahan masyarakat, serta mencemari lingkungan. 

“Perusahaan sawit semacam itu harus dicabut konsesinya,” kata Syahrul kepada Tempo, kemarin.

Setelah konsesi perkebunan nakal dicabut, menurut Syahrul, area yang sudah ditanami bisa diberikan kepada masyarakat melalui mekanisme perhutanan sosial, khususnya yang berada di wilayah hutan produksi. “Sementara area yang berada dalam kawasan hutan lindung dan konservasi dikembalikan kepada fungsi awalnya,” ujarnya. Syahrul khawatir, tanpa adanya keterbukaan informasi, KLHK justru mengampuni perusahaan sawit yang selama ini berkonflik dengan masyarakat dan merusak lingkungan.

Wakil Ketua II Satgas Sawit Agustina Arumsari mengatakan timnya ditugaskan memulihkan penerimaan negara, baik berupa pajak maupun bukan pajak, dari industri sawit—termasuk menentukan denda. Satgas saat ini telah selesai mengidentifikasi perusahaan yang lahannya berada di dalam kawasan hutan. Namun Agustina belum bisa menjelaskan detail hasil temuan timnya. Dia menyebutkan Satgas akan merilis hasilnya dalam waktu dekat. “Nanti akan kami rilis,” kata Agustina kepada Tempo, kemarin. 

HENDRIK YAPUTRA | CAESAR AKBAR

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus