Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pengikut Sang Hyang Kersa Menggugat

Penghayat kepercayaan menggelar upacara syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah panen raya. Ritual ini masih dianggap budaya.

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pesta berlangsung di Desa Cigugur selama sepekan. Ada parade seribu obor pasukan berkuda, aneka lomba dan permainan rakyat ”tempo doeloe”, siter kecapi Sumedang dan Sunda, wayang Sunda, pemberkatan, dan doa benih padi. Di pengujung acara, Jumat pekan lalu, digelar upacara ritual bertajuk Seren Taun di Gedung Paseban Tri Panca Tunggal.

Begitulah pesta tahunan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan untuk mengucap syukur kepada Sang Hyang Kersa (Tuhan Yang Maha Esa). Pergelaran adat kepercayaan tertua di Indonesia ini berlangsung setiap tanggal 18 hingga 22 Rayagung—dalam penanggalan Sunda—sehabis panen raya di Kuningan, Jawa Barat. Dan tahun ini jatuh pada 7-18 Januari penanggalan Masehi.

Tetapi Seren Taun kali ini beda dari lazimnya. Acaranya lebih meriah dan membawa pesan khusus: ”Mengembalikan Keragaman Budaya dan Agama”. Tengoklah spanduk membentang di badan pohon memasuki Paseban. Para pengikutnya pun melibatkan para penganut agama dan kepercayaan penjuru Nusantara. ”Banyak suku bangsa dan agama ikut,” kata Djatikusuma, pemimpin Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang, pelestari Sunda Wiwitan.

Memasuki pelataran Gedung Paseban, Tempo melihat lelaki gondrong tak berbalut baju. Pria bercelana pendek hitam legam dan berkalung kulit cokelat itu satu peserta Seren Taun dari suku Dayak Indramayu. Sejumlah tokoh suku Badui, Banten, dan Kejawen tak luput mengenakan aksesori khas masing-masing. Alhasil, acara ini pun menjadi tontonan menghibur turis domestik dan asing.

Menurut Djatikusuma, Seren Taun menjadi simbol keanekaragaman yang satu. Beraneka agama bisa duduk berdampingan tanpa kekisruhan di Desa Cigugur. Dari pertemuan tahunan inilah, ia berharap pemerintah bersedia menyejajarkan kepercayaan dengan agama lain, seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, maupun Budha. ”Sebenarnya apakah etis pemerintah hanya mengakui agama-agama yang ada saat ini,” dia menggugat.

Warga Cigugur telah merasakan pahit panjang kegamangan pemerintah mengakui ajaran spiritual warisan Pangeran Madrais itu—tokoh di Cigugur pada abad ke-20. Pada tahun 1960, warga Cigugur pengikut kepercayaan yang semula disebut agama Djawa Sunda ini dianggap sebagai penganut aliran sesat.

Gedung Paseban, yang menjadi pusat ajaran penerus Madrais, sempat ditutup untuk kegiatan mereka. Gedung ini kemudian menjadi cagar budaya nasional, sesuai dengan Surat Keputusan Direktur Direktorat Sejarah dan Purbakala, pada 14 Desember 1976. Seperempat abad kemudian, setelah reformasi 1998, gedung kembali dibuka. Dan sejak itulah ajaran Madrais kembali eksis.

Kendati begitu, tiga ribu orang pengikut ajaran di Cigugur masih mendapat pengingkaran dalam hak-hak sipil warga negara. Tak hanya soal pernikahan, hampir semua keluarga tak bisa memiliki kartu identitas penduduk, hingga kini.

Itu sebabnya, warga Cigugur tetap belum puas. Namun, Kuswendi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan, menyatakan pemerintah masih memandang kegiatan warga Cigugur sebagai bentuk budaya. Kepada Tempo, bekas Kepala Dinas Pariwisata ini menegaskan, ”Tradisi nenek moyang cukup dilestarikan dan dijaga sebagai budaya dan adat-istiadat.”

Para pemuka aliran kepercayaan dan budayawan di arena Seren Taun menyesalkan sikap pemerintah yang lebih mengakui ”agama impor” daripada kepercayaan asli turun-temurun dari nenek moyang sendiri. Takmid, budayawan Badui, Banten, misalnya, kukuh meminta aliran kepercayaan disejajarkan dengan agama yang diakui pemerintah. ”Kami juga percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Takmid.

Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika mendukung keinginan para penganut kepercayaan tersebut. Nia Syarifudin, koordinator advokasi aliran kepercayaan di organisasi itu, menyatakan mendukung karena warga Cigugur bisa duduk sejajar dalam keharmonisan beda agama dan kepercayaan. Kehidupan warga Cigugur, kata dia, patut menjadi contoh meredam kekerasan akibat munculnya sejumlah ajaran baru, seperti Ahmadiyah dan Lia Eden.

Eduardus Karel Dewanto, Ivansyah (Kuningan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus