Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

PHDI Soal NU Mengganti Sebutan Kafir: Sejuk, Sangat Sejuk

Moqsith mengatakan para kiai yang datang pada acara Bahtsul Masail NU berpandangan sebutan kafir dapat menyinggung perasaan nonmuslim.

5 Maret 2019 | 12.45 WIB

Suasana sidang Komisi Bahtsul Masail Waq'iyah, Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Banjar, Jawa Barat, 27 Februari - 1 Maret 2019. Foto: PBNU
material-symbols:fullscreenPerbesar
Suasana sidang Komisi Bahtsul Masail Waq'iyah, Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Banjar, Jawa Barat, 27 Februari - 1 Maret 2019. Foto: PBNU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menghormati keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama yang mengusulkan agar sebutan kafir terhadap nonmuslim Indonesia dihapus. Keputusan tidak menyebut nonmuslim sebagai kafir itu membuat umat Hindu Indonesia merasa lebih nyaman. "Sejuk, sangat sejuk," kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Wisnu Bawa Tenaya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 5 Maret 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Dalam menyikapi keputusan NU itu PHDI mengedepankan kepentingan bangsa. “Kami melihat secara kebangsaan, sebagai anak bangsa kami ingin menghormati satu sama lain," ujar Wisnu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wisnu mengajak seluruh masyarakat Hindu Indonesia menghormati keputusan NU itu. "Tentu kami berharap semua bisa menghormati apa yang menjadi keputusan saudara kita, ya."

Bahtsul Masail Maudluiyyah, Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat, pada 28 Februari sepakat mengganti penyebutan “kafir” untuk orang di luar Islam dengan istilah 'muwathinun'' atau warga negara.

Pimpinan Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Abdul Moqsith Ghazali, menjelaskan usulan itu tidak berarti NU akan menghapus seluruh kata kafir di Alquran atau hadist. Moqsith mengatakan para kiai berpandangan sebutan kafir dapat menyinggung perasaan nonmuslim.

"Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.” Karena itu Bahtsul Masail memutuskan untuk tidak menggunakan kata kafir tapi  'muwathinun' atau warga negara. “Dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain," ujar Moqsith saat itu.

 

 

Ahmad Faiz

Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Pernah ditempatkan di desk bisnis, politik, internasional, megapolitan, sekarang di hukum dan kriminalitas. Bagian The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea 2023

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus