Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Pidato Anies Soal Pribumi Dibahas Profesor di Australia

Pidato Gubernur Jakarta Anies Baswedan soal pribumi disinggung oleh Charles Coppel saat menyampaikan kuliah tentang Menormalkan Tionghoa Indonesia.

20 Oktober 2017 | 13.07 WIB

Gubernur DKI Jakarta Terpilih Anies Baswedan menyapa para awak media di kediamannya, Lebak Bulus, Jakarta, 16 Oktober 2017. Sebelum berangkat ke acara pelantikan di Istana Negara, keluarga Anies Baswedan melakukan doa bersama untuk kelancaran acara tersebut. Tempo/Fakhri Hermansyah
Perbesar
Gubernur DKI Jakarta Terpilih Anies Baswedan menyapa para awak media di kediamannya, Lebak Bulus, Jakarta, 16 Oktober 2017. Sebelum berangkat ke acara pelantikan di Istana Negara, keluarga Anies Baswedan melakukan doa bersama untuk kelancaran acara tersebut. Tempo/Fakhri Hermansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Melbourne - Pidato kontroversi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak hanya dibahas di Indonesia. Pidato yang ramai dibicarakan karena menggunakan kata "pribumi" itu menjadi salah satu bahasan dalam kuliah Herb Feith di Monash University, Rabu, 18 Oktober 2017.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Charles Coppel, Associate Professor dari Melbourne University, yang menyinggung soal itu. "Menurut saya kata pribumi yang digunakan Anies Baswedan aneh dalam tiga hal," kata Coppel, yang dalam kuliah ini diperkenalkan sebagai Bapak Jurusan Indonesia di Australia. Ia menyampaikan kuliah yang diberi judul Normalising Chinese Indonesians atau Menormalkan Tionghoa Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal aneh pertama menurut Coppel adalah Anies menyinggung soal penjajahan kolonial. "Dalam soal penjajahan, kolonial. Jadi sekarang ini Indonesia dijajah oleh siapa?" kata dia.

"Kedua, adalah kata pribumi. Sementara Anies sendiri bukanlah pribumi, karena dia peranakan Arab," kata Coppel melanjutkan. Hal ketiga, menurut dia, pernyataan itu tidak memperhatikan jasa kelompok seperti Tionghoa Muslim di Indonesia.

Dalam pemaparannya, Coppel sebelumnya memaparkan soal Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, sebagai bagian dari penjelasannya mengenai kehidupan warga Tionghoa Indonesia. Ia mencoba menjawab pertanyaan apakah Tionghoa Indonesia sudah merupakan bagian normal dari Indonesia sekarang ini.

Coppel mengaitkan dengan keadaan Indonesia setelah peristiwa kerusuhan tahun 1998 yang malah memberikan banyak kebebasan bagi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia, antara lain pengakuan Kong Hucu sebagai agama. Di bidang politik, munculnya Ahok sebagai Wakil Gubernur Jakarta, kemudian menjadi Gubernur menggantikan Joko Widodo, pada awalnya dilihat sebagai perkembangan yang luar biasa.

Simak: Video Pidato Anies Baswedan yang Sebut Istilah Pribumi

Namun pandangan itu berubah dalam kaitan dengan pilkada DKI Jakarta. Anies Baswedan terpilih sebagai gubernur dan Ahok harus menjalani hukuman penjara karena kasus penistaan agama. Hal ini menurutnya menjungkirbalikkan perkiraan sebelumnya.

"Apakah kekalahan Ahok disebabkan karena faktor etnis sebagai warga Tionghoa Indonesia?" kata Coppel. "Ahok kalah bukan karena etnisnya, namun ada hubungannya dengan masalah agama."

Coppel pun menjelaskan, dari beberapa survei yang dilakukan sebelum pilkada, walau warga puas dengan kepemimpinan Ahok, namun mereka tidak akan memilihnya lagi sebagai gubernur. "Karena agama yang tidak sama," ujarnya. Di akhir kuliahnya, Coppel memberikan jawaban dari pertanyaan di awal tentang apakah Tionghoa Indonesia sudah merupakan bagian normal dari Indonesia sekarang ini. "Jawabannya belum."

AUSTRALIA PLUS

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus