Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IKUT sibuk menjelang kedatangan Mensesneg yang juga Ketua Golkar ke Yogyakarta awal bulan ini adalah Azwar A.N., 48 tahun. Bekas anggota Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dan pemimpin serta sutradara Teater Alam itu belumlah anggota Golkar pada saat sibuk mondar-mandir ke kantor Golkar Yogyakarta itu. Ia sibuk justru karena ingin jadi Golkar. "Aku memang sudah lama ingin masuk Golkar, tapi pernyataan saya itu harus diterima oleh pembesar Golkar," katanya menjelaskan. Maka, kedatangan Sudharmono ke Yogyakarta, 5 Juli lalu, adalah saat yang tepat untuk niat Azwar. Entah karena merasa bobotnya secara pribadi masih kurang meyakinkan, atau karena ingin membuktikan bahwa ia bisa mengerahkan pengikut, Azwar memulai langkahnya dengan mengajak sejumlah seniman sekotanya ikut masuk Golkar. Berhasil. Pernyataan yang kemudian dibacakan di depan Sudharmono itu ditandatangani oleh 36 seniman. Sebagian besar dari seniman itu adalah pegawai negeri, dan tentu saja anggota Korpri. Mungkin karena itu mereka tidak terlalu sulit untuk diyakinkan. Azwar, yang biasanya memainkan peranan lucu dalam berbagai filmnya, juga menjelaskan bahwa pada pemilu 1982 ia mencoblos PPP. Tampaknya, ia kini masuk Golkar karena parpol di mata Azwar tidak bisa diharapkan memimpin rakyat dalam pembangunan. "Bagaimana bisa memimpin kalau kerja mereka perang terus?" Meski mengaku hanya seniman dan tidak banyak tahu politik, Azwar ternyata punya persiapan yang cukup lama untuk bikin pernyataan. Ia, katanya, sudah tiga dekade terakhir ini memperhatikan kegiatan politik di Indonesia. Hasil pengamatannya: "Ternyata, langkah Golkar dalam memimpin rakyat sudah benar. Di bawah Golkar kesejahteraan dan kemakmuran bisa dicapai." Azwar rupanya siap betul masuk Golkar. Untuk itu ia siap menerima risiko dijauhi oleh teman-temannya. "Aku tidak takut," katanya. Tapi siapa teman-teman yang akan menjauhinya itu? Tidak dijelaskan olehnya. Cuma ia berkata, "Saya tahu ada di antara yang ikut menandatangani itu masih ragu-ragu menyebut dirinya Golkar." Wartawan TEMPO di Yogyakarta belum berhasil menemukan mereka yang ragu-ragu itu. Yang ada ialah yang merasa "tidak serius". Dan itu adalah Linus Suryadi A.G., 34 tahun, pengarang Pengakuan Pariyem. Linus memang ikut menandatangani masuk Golkar. Tapi, "saya menganggap itu bagian dari hura-hura," katanya. Dan kalau PDI dan PPP meminta Linus membubuhkan tanda tangan, ia, katanya, juga akan memberikannya. Bagi Linus yang penting adalah kesenian. "Saya tidak punya kepentingan pada partai dan golongan," kata pengarang yang mengaku bersikap golput ini. Lagi pula, "Apakah selama ini parpol dan Golkar memperhatikan kesenian dan kebudayaan? Kalau ada, itu cuma pada saat kampanye saja," kata Linus pula. Bagaimana pendapat Linus tentang hasil pembangunan yang dilakukan Golkar seperti yang diakui oleh Azwar temannya itu? "Saya tidak bisa membedakan apakah itu program pemerintah atau program Golkar," jawabnya. Tidak bisa membedakan itu, menurut pengarang ini, karena ia memang tidak tahu politik. "Itulah konyolnya saya yang tidak pernah belajar politik," tambahnya. Menurut ceritanya sendiri, Linus menandatangani pernyataan masuk Golkar atas dasar sukarela. Tapi dengan syarat pernyataan itu tidak akan diumumkan. Waktu Azwar A.N. membacakan pernyataan tersebut di depan Sudharmono dan pembesar-pembesar Yogyakarta lainnya, Linus tidak hadir. Tapi ketika TV dan koran-koran menyiarkan berita itu dan nama Linus ikut disebut, nah, pengarang ini jadi berang. "Sampai lurah desa saya di Trimulyo, Sleman, tahu saya ikut tanda tangan masuk Golkar," katanya. Kalau lurah saja tentu tidak jadi soal, tapi ketika teman-temannya mulai menggodanya "Ini dia orang Golkar," -- Linus tidak tahan lagi. "Saya merasa dipojokkan," keluhnya. Setelah itulah ia lalu bersedia diwawancarai oleh wartawan. "Dengan menandatangani pernyataan itu bukan berarti saya masuk Golkar," katanya tandas. Linus juga menjelaskan bahwa setiap pemilu ia selalu membagi-bagi suaranya, ada untuk PDI PPP, dan Golkar. "Untuk pemilu mendatang suara saya akan saya bagi-bagi lagi." Salim Said, Laporan Syahril Chili (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo