Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nisa Felicia Faridz, menyoroti soal pendidikan vokasi yang dikaim akan melahirkan lulusan siap bekerja. Nisa menilai pemerintah belum secara konkret melakukan kolaborasi dan kemitraan di industri, bahkan masih bersifat formalitas dan belum berfokus pada substansi kualitas pembelajaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada tiga hal yang mendasarinya, kata Nisa, yaitu kurangnya kapasitas SMK dalam berkolaborasi, rendahnya minat industri untuk investasI sumber daya manusia jangka panjang melalui SMK, dan tidak adanya kewajiban bagi SMK untuk menjalin kemitraan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Oleh karena itu, perlu ada acuan jelas mengenai aspek-aspek refleksi dan evaluasi kemitraan yang tidak hanya bersifat sukarela," kata Nisa.
Nisa mengatakan, saat ini pemerintah harus menyusun dan mengimplementasikan penguatan sistem penilaian satuan SMK dengan menonjolkan aspek kemitraan pada Rapor Pendidikan dan dijadikan sebagai dasar refleksi dan evaluasi SMK.
"Mewajibkan implementasi kemitraan SMK dan dunia kerja dalam bentuk kolaborasi konkret yang relevan dengan penyelarasan pembelajaran dan kebutuhan industri diukur dengan indikator keberhasilan kemitraan," katanya.
Ia juga mengatakan, pemerintah harus mendorong keterlibatan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam ekosistem kemitraan SMK bersama entitas dunia kerja lokal. Hal itu perlu dilakukan agar arah pengembangannya sesuai potensi daerah/wilayah.
"Seperti menyediakan sarana (platform) yang memudahkan kemitraan SMK dengan Industri seperti ‘KedaiReka’ dan menguatkan kapasitas kepala sekolah untuk keterampilan berjejaring serta bermitra dengan dunia industri," katanya.
Transformasi SMK berbasis Tren Kebutuhan
Saat ini, kata Nisa, lulusan SMK hanya dibekali dengan hardskill saja, sehingga tidak efektif mengimplementasi keterampilannya dan beradaptasi dengan dinamika pasar kerja yang menuntut penguasaan akan hal-hal baru.
"Project teaching factory pada SMK masih berorientasi pada internal sekolah saja, belum berbasis projek riil dari klien, masyarakat atau dunia kerja," katanya.
Ia mengatakan, pemerintah butuh mentransformasi SMK dari supply-driven menjadi demand-driven berbasis tren kebutuhan saat ini dan masa mendatang. Hal itu diperlukan dengan implementasi pembelajaran terdiferensiasi yang berkolaborasi dengan mitra industri sejak perencanaan, realisasi, hingga evaluasi pembelajaran dengan kurikulum yang fleksibel dan adaptif.
"Kita butuh peningkatan keterlibatan dunia kerja dalam berbagai bentuk kemitraan, demi mendorong pembelajaran yang berorientasi keterpaparan budaya kerja dengan analisis kompetensi keahlian jenuh, sektor keunggulan daerah, dan visi jenis pekerjaan di masa depan," katanya.
Tak hanya itu, pemerintah juga mestinya mendorong implementasi teaching factory berorientasi produ atau jasa berstandar industri dengan project based learning berbasis kemitraan dengan dunia kerja sesuai analisis situasi mengenai potensi, kebutuhan, tantangan, atau persoalan riil yang dihadapi SMK.
"Pemerintah juga harus menghadirkan lingkungan pendukung melalui magang kompetitif melalui platform yang mempertemukan siswa SMK dengan di industri bereputasi global/tinggi yang membutuhkan talenta baru," kata Nisa.
Pendidikan Profesi Guru Prajabatan (PPG) masih berorientasi pada pendidikan umum
Menurut Nisa, belum ada kebijakan dan mekanisme yang komprehensif mendorong guru kejuruan untuk memperbaharui kompetensinya agar relevan dengan perkembangan industri. Selain itu, program PPG Prajabatan guru SMK masih belum dapat mengembangkan keterampilan vokasional guru sesuai bidang keahlian.
"Kita harus menyusun kebijakan yang mewajibkan guru kejuruan untuk mengembangkan kompetensi dengan adanya alokasi waktu khusus untuk pengembangan kompetensi serta dihitung sebagai beban kerja sebagai fasilitasi pengembangan di luar sekolah tanpa kehilangan hak-haknya," kata Nisa.
"Pembaruan kurikulum PPG Prajabatan dan dalam jabatan untuk guru kejuruan berbasis pada analisis kebutuhan agar selaras dengan kebutuhan kompetensi guru vokasi di masing-masing program keahlian."
Kualitas kelembagaan, standar pembinaan, dan kriteria izin pendirian SMK juga dinilai belum relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan potensi kewilayahan. Hal itu, kata Nisa, disebabkan karena minimnya kesempatan peningkatan kualitas manajemen SMK.
"Tata kelola masih berorientasi pada aspek administratif, sinergi antarpemangku kepetingan masih kurang, sehingga minim kemitraan dan keterbatasan SMK dalam memenuhi standar sarpras," jelasnya.
Makanya, Nisa mengatakan, mewajibkan adanya pengimbasan oleh SMK yang memiliki praktik baik kemitraan agar menjadi SMK rujukan. Hal ini, kata dia, merupakan upaya memberikan contoh dan berbagi jejaring untuk menginisiasi kemitraan.
"Kita juga bisa menghadirkan upaya kolaborasi bersama perguruan tinggi maupun Balai Besar Vokasi sebagai mentor kemitraan maupun pembelajaran bagi SMK," katanya.
Selain itu, Nisa mengatakan, pemerintah juga dapat menghadirkan NSPK atau Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria yang akomodatif terhadap variasi kondisi sekolah seperti pada daerah 3T, daerah ekonomi berkembang, daerah minim industri, daerah hasil pemekaran, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).