Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DOKUMEN setebal 10 sentimeter itu dibentangkan di atas meja. Isinya pelbagai berkas yang berhubungan dengan perjanjian jual-beli hak tagih piutang pemerintah atas PT Timor Putra Nasional milik Hutomo Mandala Putra. Di antaranya bukti transfer duit dari Timor ke PT Vista Bella Pratama, pembeli hak tagih senilai Rp 4,5 triliun itu.
”Ini menunjukkan adanya hubungan antara Vista Bella dan Timor serta PT Humpuss,” kata Yoseph Suardi Sabda, Direktur Perdata Kejaksaan Agung, Jumat pekan lalu. PT Humpuss adalah kelompok usaha milik Hutomo alias Tommy Soeharto.
Bukti-bukti keterkaitan antara Tommy dan Vista Bella kini gencar diburu penyidik Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Soalnya, hak tagih piutang Rp 4,5 triliun itu dijual dengan harga Rp 512 miliar saja. Pemerintah berharap bisa membatalkan perjanjian jual-beli piutang antara Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Vista Bella yang diteken pada 15 April 2003 ini.
Transfer duit dari Timor ke Vista itu dilakukan pada November 2003. Buktinya adalah dua surat perintah bayar tertanggal 3 November dari Timor kepada Bank Mandiri untuk dikirim ke Vista Bella. Ada pula transfer dana dari Humpuss kepada Vista Bella yang dilakukan melalui perusahaan lain, yaitu PT Mandala Buana Bhakti. Mandala Buana, juga milik Tommy, berkantor di Gedung Granadi, Kuningan, Jakarta Selatan, tempat sejumlah yayasan mantan presiden Soeharto berkantor.
Menurut Yoseph, pada 10 April 2003 Humpuss mengirim surat ke Bank Negara Indonesia Cabang Menteng untuk mentransfer dana ke Mandala Buana. Besarnya US$ 8 juta atau sekitar Rp 72 miliar. Surat itu ditandatangani Direktur Utama Humpuss Rulyani Basyir.
Dua hari sebelum transfer itu, Mandala ternyata telah memindahkan duit lain. Perusahaan itu memerintahkan Bank Niaga membayarkan Rp 53 miliar ke BPPN. Nah, yang jadi soal, pembayaran ini dilakukan untuk kepentingan Vista Bella. ”Jadi dibayar dulu oleh Mandala, baru diganti,” Yoseph menjelaskan.
Kepada Tempo, Taufik Surya Darma, Direktur Vista Bella, tak menampik adanya aliran duit dari Timor ke perusahaannya. Namun, menurut dia, duit itu tidak ada kaitannya dengan transaksi pembelian hak tagih yang sudah selesai tujuh bulan sebelumnya. ”Lagi pula duit itu masuk ke rekening Vista Bella untuk diteruskan ke pihak lain,” katanya (lihat ”Nggak Mungkin Saya yang Main”).
Menurut akta pembentukannya, Vista Bella dibentuk pada April 2002 oleh Mohammad Hartono Fauzan dan Nyonya Chatarina Widayanti. Di situ tertulis, Vista dibuat sebagai usaha di bidang perdagangan, pemborongan dan kontraktor umum, usaha real estate, industri mebel, makanan dan minuman, serta peternakan dan pertanian.
Taufik membeli perusahaan itu pada 12 Maret 2003. Sebulan kemudian, Vista Bella membeli hak tagih atas Timor. Transaksi ini meliputi seluruh hak tagih, manfaat, serta kepentingan lainnya berdasarkan perjanjian kredit dan dokumen jaminan atas nama Timor. Jumlah utang tertunggak Timor, menurut akta, antara lain 4,75 juta franc Swiss, 25,43 juta mark Jerman, Rp 910 miliar, dan US$ 331 juta. Semua setara dengan Rp 4,5 triliun.
Taufik mengakui perusahaannya hanya dipakai pemodal asing, yaitu Amazonas Finance dan Wedingley Capital. Alasannya, persyaratan investor asing untuk membeli aset di BPPN jauh lebih rumit. ”Menurut perhitungan Amazonas, waktunya nggak cukup jika tanpa bantuan kami,” ujarnya.
Tak aneh, Vista Bella kembali mengalihkan hak tagih itu kepada Amazonas, dua bulan setelah transaksi. Yang agak aneh, belakangan Amazonas menjual lagi hak tagih itu. Pembelinya Global Auto Technology yang berkongsi dengan Humphrey International Limited membentuk PT Auto Car Industri Komponen. Perusahaan inilah yang kini mengoperasikan pabrik Timor di kawasan Cikampek, Jawa Barat, itu.
Auto Car sendiri berkantor di Hanurata Graha, gedung perkantoran delapan lantai di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Di gedung yang sama, ternyata berkantor sejumlah perusahaan dan organisasi milik Tommy Soeharto dan Keluarga Cendana lainnya.
Menurut situs Internet perusahaan itu, Auto Car dipimpin Achmad Budi Pramono sebagai direktur dan Nindito Sutarjadi sebagai komisaris. Sumber Tempo menyebutkan Nindito dulu sering terlihat bersama-sama dengan Oscar Gonzales, salah satu pemilik Amazonas Finance. Adapun Oscar, yang berkewarganegaraan Venezuela, menurut sumber Tempo yang mengetahui penyelidikan kasus ini, masuk ke Indonesia atas sponsor PT Mandala Marmer, perusahaan milik Tommy.
Tempo belum berhasil memperoleh konfirmasi dari Nindito tentang kedekatannya dengan Oscar. Meski terdengar nada tunggu, telepon selulernya tak kunjung diangkat. Pesan pendek yang dikirim pun tak dibalas. Tempo yang mengunjungi alamat kantor Auto Car di Hanurata Graha juga tak berhasil menemui Nindito.
Komisi Pemberantasan Korupsi dan kejaksaan kini harus menyusun mozaik jejak-jejak Tommy Soeharto pada transaksi pembelian hak tagih atas PT Timor ini. Jika itu berhasil, transaksi senilai Rp 4,5 triliun tersebut otomatis dibatalkan. Menurut sumber, bukti yang dikumpulkan Komisi Pemberantasan Korupsi sangat kuat. ”Paling hanya perlu melegalisasi sejumlah dokumen, yang kini masih berbentuk fotokopi,” tuturnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi telah memeriksa Taufik Surya Darma dan Oscar Gonzales. Oscar pun telah menunjuk pengacara dari Kantor Hotma Sitompoel and Associates. ”Dia ditangani oleh pengacara Andi Simangunsong,” kata Hotma. Kejaksaan kabarnya juga telah meminta keterangan Alfian Sanjaya, yang dalam akta perubahan Vista Bella disebut sebagai komisaris.
Hubungan antara Vista Bella dan Tommy memang diharamkan. Setidaknya ada empat klausul dalam perjanjian itu yang melarang adanya keterkaitan penjual dan pembeli. Misalnya, pada pasal 12.4a disebutkan pembeli tidak memiliki kepentingan ekonomi secara langsung, hubungan asosiasi, atau hubungan lainnya (termasuk hubungan pribadi atau keluarga) dengan peminjam (Timor), karyawan, direksi, komisaris, atau pemegang sahamnya.
Yoseph menjelaskan, jika transaksi dibatalkan, Timor diwajibkan membayar utang-utangnya kepada sejumlah bank dulu. Pemerintah akan terus menagih utang itu sesuai dengan surat sanggup Tommy Soeharto kepada Bank Bumi Daya yang diteken pada 21 September 1998. Tommy sebagai Komisaris Utama Timor dan Mujiono sebagai direktur utama menyatakan sanggup membayar US$ 260 juta atau Rp 2 triliun lebih sebagai jaminan pribadi.
Kendati begitu, pertarungan antara pemerintah dan Tommy tampaknya tak akan sebentar. O.C. Kaligis, pengacara putra bungsu mantan presiden Soeharto itu, menyatakan kliennya siap menghadapi tudingan pemerintah. Kata Kaligis garang, ”Pengalihan Timor ke BPPN lalu ke Vista Bella itu tidak dilakukan di bawah tangan. Kenapa pemerintah baru mengungkitnya sekarang?”
Budi Setyarso, Widi Nugroho, Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo