Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memberi sinyal akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Puan Maharani pada Selasa, 15 Oktober 2024, mengatakan partainya akan bersama-sama membangun Indonesia pada pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang. Jika PDIP jadi bergabung, pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang akan tanpa oposisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hingga kini, tinggal partai berlambang banteng moncong putih itu yang secara resmi belum bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM), yaitu gabungan partai politik pengusung Prabowo-Gibran di pemilihan presiden atau Pilpres 2024.
KIM terdiri atas 10 parpol, empat di antaranya merupakan partai politik parlemen, yaitu Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat. Enam parpol lainnya adalah PSI, PBB, Gelora, Garuda, Partai Aceh, dan PRIMA. Setelah Prabowo-Gibran memenangi Pilpres 2024, PKB, Nasdem, dan PKS bergabung dengan KIM dan koalisi berkembang menjadi KIM Plus.
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari: Pemerintah Dirugikan kalau Tidak Ada Oposisi
Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, keberadaan oposisi dibutuhkan dalam suatu pemerintahan untuk menjadi alternatif pilihan bagi publik, serta memastikan kehendak publik bisa dijalankan.
“Pemerintah dirugikan kalau tidak ada oposisi,” ujar Feri dalam diskusi bertajuk ‘Oposisi dalam Parlemen: Benteng Terakhir Melawan Tirani atau Musuh Kemajuan Bangsa?’ yang digelar oleh Senat Mahasiswa FISIP UPN Veteran Jakarta di Jakarta pada Kamis, 17 Oktober 2024 seperti dikutip dari Antara.
Feri mengatakan pemerintah membutuhkan oposisi sebagai lawan tanding untuk membentuk kebijakan-kebijakan yang mengakomodasi kehendak publik. Dia berpendapat oposisi juga berperan penting menampung aspirasi masyarakat apabila pemerintah melenceng dari kepentingan publik.
“Kalau pemerintah tidak benar, ke mana kita mengadu?” ujar Feri.
Dia menilai oposisi juga menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat. Keberadaan oposisi akan menjadi alternatif pada pemilihan umum (pemilu) lima tahun ke depan.
Dengan demikian, kata dia, apabila pemerintahan yang sedang berlangsung tidak menuai kepuasan masyarakat, maka pada pemilu mendatang masyarakat memiliki alternatif untuk memilih oposisi.
“Itu rekayasa kepemiluan dan perpolitikan. Kalau tidak ada rekayasa itu, mustahil pemerintahan kita akan berkembang dengan baik,” ucapnya.
Karena itu, Feri mengajak masyarakat turut mengawal terbangunnya sistem politik dan memastikan keberadaan oposisi.
Selanjutnya, survei SMRC menunjukkan mayoritas publik ingin ada oposisi di era Prabowo-Gibran…
Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengungkap mayoritas masyarakat Indonesia menginginkan keberadaan oposisi di era pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang. Hasil sigi SMRC yang dilakukan pada 4-11 Oktober menunjukkan 67,5 persen responden berpendapat pemerintah wajib diawasi oleh oposisi.
Metode survei yang digunakan adalah multistage random sampling dengan jumlah sampel valid 994, margin kesalahan kurang lebih 3,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
“Supaya pengawasan ini sungguh-sungguh, harus ada partai politik yang memiliki wakil di DPR berada di luar pemerintah,” kata pendiri SMRC, Saiful Mujani, dikutip di kanal YouTube SMRC, Kamis, 17 Oktober 2024.
Saiful mengatakan hanya 28,3 persen publik yang setuju dengan ketiadaan oposisi di era pemerintahan Prabowo. Namun, kata dia, realitas politik bertolak belakang dengan hasil sigi tersebut.
Sebab, Saiful mengatakan hampir dipastikan semua partai politik di parlemen akan segerbong dalam koalisi Prabowo-Gibran. Menurut dia, apa yang akan terjadi di era Prabowo akan lebih buruk ketimbang era Jokowi.
“Periode pertama Jokowi masih menyisakan Gerindra, PKS, dan Demokrat di luar koalisi. Dan di periode kedua Jokowi, tinggal PKS sendirian. Sekarang PKS juga bergabung, dan praktis meninggalkan PDIP yang masih belum menentukan sikap,” kata Saiful.
Dalam survei tersebut, SMRC juga menanyakan seberapa setuju publik dengan keberadaan partai dengan kekuatan mendekati 50 persen sebagai oposisi. Hasilnya, 64,5 persen publik setuju keberadaan kekuatan politik yang signifikan di DPR sebagai pengawas jalannya pemerintahan.
Menurut Saiful, elite partai politik mesti menangkap keinginan publik akan keberadaan oposisi. Dia mengatakan konsep oposisi memang tidak dikenal luas dalam tradisi politik di Indonesia.
“Tapi yang tidak bisa dipisahkan dari konsep organisasi modern seperti pemerintahan yakni pihak yang berada di luar maupun di dalam punya fungsi agar roda pemerintahan bisa berjalan efektif dan bersih,” kata Saiful.
Menurut Saiful, upaya Prabowo merangkul semua pihak dengan narasi persatuan telah menyusupi alam bawah sadar publik. Konsekuensi dari kondisi politik hari ini, ujar dia, akan membawa Indonesia terjerumus dalam kekuasaan otoritarianisme.
“Bahasa atau mantra dalam pidato-pidato Prabowo Subianto belakangan adalah tentang persatuan. Karena itu, kalau ada partai politik yang tidak ikut bersama pemerintah, maka itu adalah ancaman terhadap persatuan menurut Prabowo,” kata Saiful.
Saiful mengingatkan Indonesia menganut sistem presidensial. Presiden dipilih secara kompetitif. Dia mengatakan dalam sistem seperti itu, pasti ada yang kalah dan ada yang menang.
“Seharusnya partai-partai yang kalah dalam Pemilihan Presiden 2024 lalu semuanya menjadi oposisi. Demikian lah seharusnya kita membangun sistem bahwa demokrasi selain membutuhkan the winners, juga membutuhkan the losers,” ujar Saiful.
Ekonom Achmad Nur Hidayat: Tanpa Oposisi, akan Banyak Kebijakan Populis yang Merugikan
Adapun Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengungkapkan bahayanya bila suatu pemerintahan dijalankan tanpa adanya oposisi terhadap sektor ekonomi. Dia berpendapat pemerintahan tanpa oposisi berpotensi menghasilkan banyak kebijakan populis yang justru merugikan masyarakat.
“Pemerintah tanpa oposisi sering kali terdorong untuk mengeluarkan kebijakan ekonomi populis guna mempertahankan dukungan politik,” ujar Achmad ketika dihubungi pada Rabu, 9 Oktober 2024.
Dia menuturkan kebijakan populis semacam peningkatan subsidi atau bantuan sosial (bansos) hanya dirancang untuk menarik simpati publik, bukan sebagai kebijakan berkelanjutan jangka panjang. Bahkan, kata dia, kebijakan populis cenderung mengganggu kestabilan fiskal negara ke depan.
“Peningkatan belanja negara untuk program-program populis dapat menyebabkan defisit anggaran yang besar dan meningkatkan utang negara,” ucapnya.
Menurut dia, hal ini bisa terjadi karena kurangnya mekanisme checks and balances setelah hilangnya oposisi. Padahal, oposisi dianggap memiliki peran krusial untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan memberikan kritik konstruktif terhadap kebijakan yang dijalankan, termasuk kebijakan ekonomi. Hal ini membuat pemerintahan berpotensi berjalan tanpa pengawasan memadai.
Achmad menyebutkan, ketika tidak ada kekuatan yang mampu menantang atau mempertanyakan kebijakan pemerintah, kebijakan ekonomi yang dihasilkan berpotensi tidak didasarkan pada evaluasi yang menyeluruh. Akibatnya, terjadi inefisiensi dalam alokasi sumber daya negara. Begitu juga dengan berbagai konsekuensi negatif dapat muncul yang berdampak langsung pada stabilitas ekonomi jangka panjang.
“(Pemerintahan tanpa oposisi) membuka ruang bagi keputusan ekonomi yang keliru, tidak efektif, atau bahkan merugikan,” ucap Achmad.
Ia memandang, oposisi yang sehat merupakan elemen penting dalam sistem demokrasi karena memiliki fungsi sebagai pengawas dan pengimbang dalam proses pengambilan kebijakan publik.
NANDITO PUTRA | VEDRO IMANUEL G | ANTARA
Pilihan editor: Kata Ketua DPD Sultan Najamudin Soal Banyaknya Menteri di Kabinet Prabowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini