Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Wacana mengenai amendemen Undang-Undang Dasar 1945 ramai dibicarakan usai pertemuan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo dengan mantan Ketua MPR Amien Rais pekan lalu. Salah satu wacana dalam amendemen UUD 1945 tersebut adalah mengubah pemilihan presiden dari langsung menjadi lewat MPR.
Rencana tersebut mendapat tanggapan berbeda dari berbagai kalangan, termasuk dari partai politik.
1. Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad: Parpol Belum Diajak Bicara
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membahas amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
“Saya pikir isu atau wacana-wacana tersebut tidak perlu pada saat ini,” kata Dasco di Jalan Kertanegara IV, Jakarta Selatan pada Jumat, 7 Juni 2024.
Alasannya, kata dia, situasi politik saat ini masih belum kondusif untuk membicarakan perubahan konstitusi. “Saat ini wacana-wacana seperti itu tidak pada saatnya, karena situasi menjelang pilkada, menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden,” ucap Dasco.
Dasco menuturkan wacana amendemen UUD 1945 memang ada di MPR. Namun dia mengatakan belum mengetahui substansi perubahan yang ada. DPR maupun fraksi-fraksi, kata dia, belum mengambil sikap perihal perubahan tata cara pemilihan presiden.
“Kalau dibilang seluruh parpol sudah sepakat, saya ada crosscheck bahwa ternyata juga parpol-parpol belum diajak bicara, jadi hanya wacana,” ujarnya.
Wakil Ketua DPR RI ini menyatakan Gerindra akan menolak amendemen jika dibicarakan saat ini. “Substansinya kita belum tahu tapi kalau menurut saya belum pada saatnya sekarang kita bicara soal amendemen UUD 1945 dengan kondisi pada saat ini,” ucap dia.
2. Ketua DPP PPP Achmad Baidowi: PPP Menolak Keras kalau Presiden Dipilih MPR
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan atau PPP Achmad Baidowi menyatakan partainya menolak rencana amendemen konstitusi.
"Saya bersama Fraksi PPP tentu menolak keras kalau kembali ke (konstitusi) yang lama di mana presiden dipilih MPR," kata Awiek dalam pesan suara yang diterima Tempo via aplikasi Whatsapp, Ahad, 9 Juni 2024.
Anggota Komisi VI DPR ini menyebutkan gagasan amendemen UUD 1945 akan mengembalikan sistem parlementer di mana presiden dipilih secara tidak langsung, yakni melalui parlemen, bukan oleh rakyat. Dia khawatir kondisi ini akan memicu pemerintahan otoriter. "Otoritarianisme Orde Baru cukup memberi pelajaran bagi kita," ujarnya.
Awiek menegaskan pemilihan presiden yang dilakukan secara tidak langsung itu justru akan menggerus nilai-nilai demokrasi yang telah dicapai lewat Reformasi. "Iklim demokrasi yang sudah dibuka itu jangan diputar kembali," kata dia.
Dia juga menyebutkan, sampai saat ini, belum ada komunikasi antara Bamsoet dan PPP untuk membicarakan amendemen UUD. Namun, dia mengatakan Bamsoet pernah mengunjungi PPP untuk membahas soal Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada 2023.
3. Ketua DPP PKB Luluk Nur Hamidah: Cak Imin Menilai Pengaturan Lembaga Kepresidenan Memiliki Celah
Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah merespons soal pertemuan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dengan Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet pada Sabtu, 8 Juni 2024. Salah satu isu yang dibahas dalam pertemuan itu adalah amendemen konstitusi serta hubungannya dengan lembaga kepresidenan.
Anggota DPR Komisi IV ini mengatakan Cak Imin menilai pengaturan lembaga kepresidenan dalam UUD 1945 masih memiliki celah. Karena itu, kata Luluk, isu itu bisa saja dibahas jika amendemen konstitusi benar dilakukan.
"Pengaturan yang terkait presiden dan kepresidenan kan enggak memadai. Jika dimungkinkan, bisa jadi materi amendemen," kata Luluk dalam keterangan tertulisnya melalui aplikasi perpesanan, Ahad, 9 Juni 2024.
Luluk menuturkan Cak Imin belum mengadakan pertemuan dengan petinggi PKB untuk membahas sikap partai tentang rencana pemilihan presiden lewat MPR. Di sisi lain, dia menyebutkan Cak Imin sangat menaruh perhatian pada isu lembaga kepresidenan.
"Sejauh yang saya tahu, beliau concern dengan lembaga kepresidenan serta kewenangan-kewenangan presiden," ucapnya.
Luluk menegaskan, kewenangan presiden memiliki batasan. Dia juga menyampaikan presiden juga harus mematuhi etika jabatan yang melekat. Ketentuan yang demikian, kata dia, belum diatur secara tertulis.
"Presiden semestinya juga diikat oleh etika sehingga bisa mencegah abuse of power, hal-hal semacam ini juga belum ada pengaturan," ujarnya.
Dia juga menyinggung soal ketiadaan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan. Menurut dia, bisa saja wacana soal permasalahan tentang kewenangan presiden menjadi usulan baru, termasuk jika membahasnya dalam amendemen konstitusi.
"Perlu kajian matang. Saya kira perlu membuka diskusi tentang hal-hal semacam itu," tuturnya.
SULTAN ABDURRAHMAN | SAVERO ARISTIA WIENANTO
Pilihan editor: Jika Anies Baswedan Maju pada Pilgub Jakarta, Pengamat Nilai Ridwan Kamil Lebih Realistis di Jabar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini