Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENGAH malam 31 Oktober, di stasiun Tanjung Priok. Memasuki
gedung stasiun kereta api peninggalan Belanda yang luas, yang
pesing, yang apek dan dingin, terasa suasana angker. Mereka yang
tidur berhimpitan dan menggigil di sini terdiri dari para
gelandangan.
Yang pasti mereka adalah orangorang yang tak punya tempat
tinggal tetap. Karena itu melalui seorang yang lazim disebut
pelindung, malam itu mereka dikumpulkan. Ada 14 orang pelindung
gelandangan di kawasan Tanjung Priok--masing-masing membawahkan
satu kelompok. Dari 14 kelompok itu tercatat ada 400 orang
gelandangan, tua muda, wanita dan pria.
Tengah malam itu mereka akan disensus. Karena pada hari-hari
biasa kawasan itu terkenal rawan, maka sebelum pencacahan
dimulai, dilakukan pengamanan oleh petugas-petugas dari Kamtib
dan Kodim.
Khusus untuk para gelandangan pertanyaan petugas sensus
cukup sederhana: nama, hubungan dengan kepala keluarga, jenis
kelamin, umur, status perkawinan, agama, pendidikan, jenis
pekerjaan dan pendapatan rata-rata perbulan .
Ada gelandangan dari Madura. Berpakaian bagus, ada clurit
menonjol di balik bajunya. Ketika ditanya penghasilannya ia
menyebut Rp 20 ribu/ bulan. Mengaku bekerja sebagai buruh
pelabuhan. Begitu pula seorang wanita yang mengaku istri si
Madura: buruh atau jualan. "Padahal itu tak betul. Saya tahu
wanita itu WTS dan laki-lakinya, penjambret dan segala macam,"
kata petugas pencacah. Lalu ia menambahkan: "Kalau orang yang
belum mereka kenal keluar dari stasiun jam tangan bisa hilang."
Tidur di atas tikar berbantal pakaian Aminyang keriput dan
mengaku berumur 60 tahun, ditemani istrinya. Ia datang dari
Indramayu lima hari yang lalu. Di Jakarta berjualan dan tidur di
stasiun. Kalau di kampung asal mereka tak paceklik, katanya tak
mungkin datang ke Jakarta. "Saya di sana sudah disensus, di sini
disensus lagi," kata Amin.
Yang tidur di stasiun bukan hanya orang dewasa. Bayi dan
anak-anak yang hanya berselimut selembar kain juga ada. Ada
seorang mahasiswa. Ia datang dari Jawa Timur. Umurnya 24 tahun,
malu disebut nama dan sekolahnya. Yang jelas, ia kini duduk di
sebuah akademi tingkat terakhir di Jakarta dan tinggal
menyelesaikan skripsi.
Datang ke Jakarta lima tahun lalu. Dua tahun menggelandang
dengan mencari puntung rokok dan kertas. Lalu terdampar di Priok
dan menetap di stasiun ini. Baju dan buku dititipkan ke
'pelindungnya'. Sore hingga malam kuliah, sedang pagi hari
mencari puntung rokok. Penghasilannya Rp 15 ribu sebulan. Tapi
untuk membeli buku dan keperluan lain, sebulan atau dua bulan
sekali ia pulang ke kampung. Saudaranya tak tahu bahwa dia di
Jakarta sekolah sambil menggelandang.
Wiraswasta
Di Kecamatan Senen, sensus dilakukan di kantor kecamatan
ini. Dari jam 8 malam para gelandangan sudah disuruh berkumpul.
Banyak yang menggerutu karena pencacahan baru dimulai tengah
malam, setelah peninjau datang. Sebagian besar berpakaian rapi
dan tidak dekil.
Tapi Jasman, 50 tahun, terlihat lusuh sekali. Ia tidak pakai
alas kaki. Di sela jari kakinya lumpur hitam masih melekat. Dan
bau badannya tak sedap. Ia dari Salatiga dan hidup tanpa tujuan.
Setiap malam tidur di pasar Inpres Senen bersama istrinya. Ia
hidup sebagai pemungut kertas bekas, sedang istrinya berjual
sayur.
Jasman datang ke Jakarta untuk mencari nafkah karena di
daerah sulit. Lima tahun lalu oleh pemerintah DKI ia dan istrinya
ditransmigrasikan ke Kalimantan. Pulang lagi ke Jakarta.
Alasannya: "Di sana banjir terus."
"Saya pernah hampir mati. Keluar dari stasiun Senen sudah tak
bisa. Darah keluar dari sini," kata Jasman sambil menunjuk
duburnya. Ia makan dari pemberian orang lain yang merasa iba.
"Saya tidak minta, tapi saya dikasih."
Istrinya saat itu di Jakarta juga, tapi belum ketemu. Dan
Jasman sembuh karena ada orang yang memberinya obat berupa
ramuan daun belimbing.
Kenapa tak kembali ke Jawa saja? Ia hanya senyum. Di sini, biar
tak punya rumah, tidur di pasar atau di emper toko sering
diusir, tapi hatinya senang. Tiap hari ia mendapat uang Rp 850
dari hasil jual kertas bekas. Belum lagi istrinya yang berjual
sayur. Dan ia juga sudah ikut arisan di antara para gelandangan
yang setiap harinya harus menyetor Rp 500 sebanyak 10 orang. Ia
tak mau ditransmigrasikan lagi. Ia juga tak ingin kembali ke
Salatiga.
Di Jakarta jumlah gelandangan diperkirakan lebih dari
sembilan ribu. Tapi angka ini tak pernah tetap. Sebab, lebih
dari 5.000 yang musiman. Mereka datang ke Jakarta pada saat
paceklik di daerah asal mereka. Dari hasil sensus malam itu,
belum diketahui jumlah mereka sebenarnya.
Membina mereka memang dirasakan sulit oleh Dinas Sosial DKI.
Lebih-lebih untuk pengemis. "Lebih mudah merehabilitir
gelandangan daripada pengemis," kata Achmad Toha, Kepala Dinas
Sosial DKI. Sebab, gelandangan itu masih ada Jiwa wiraswastanya
sedang pengemis hanya meminta saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo