Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Satu Malam Bagi Gelandangan

Di DKI diadakan sensus gelandangan, tapi belum diketahui jumlahnya yang pasti. karena sebagian datang ke Jakarta pada saat paceklik di desanya, jadi hanya musiman saja.

8 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENGAH malam 31 Oktober, di stasiun Tanjung Priok. Memasuki gedung stasiun kereta api peninggalan Belanda yang luas, yang pesing, yang apek dan dingin, terasa suasana angker. Mereka yang tidur berhimpitan dan menggigil di sini terdiri dari para gelandangan. Yang pasti mereka adalah orangorang yang tak punya tempat tinggal tetap. Karena itu melalui seorang yang lazim disebut pelindung, malam itu mereka dikumpulkan. Ada 14 orang pelindung gelandangan di kawasan Tanjung Priok--masing-masing membawahkan satu kelompok. Dari 14 kelompok itu tercatat ada 400 orang gelandangan, tua muda, wanita dan pria. Tengah malam itu mereka akan disensus. Karena pada hari-hari biasa kawasan itu terkenal rawan, maka sebelum pencacahan dimulai, dilakukan pengamanan oleh petugas-petugas dari Kamtib dan Kodim. Khusus untuk para gelandangan pertanyaan petugas sensus cukup sederhana: nama, hubungan dengan kepala keluarga, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, pendidikan, jenis pekerjaan dan pendapatan rata-rata perbulan . Ada gelandangan dari Madura. Berpakaian bagus, ada clurit menonjol di balik bajunya. Ketika ditanya penghasilannya ia menyebut Rp 20 ribu/ bulan. Mengaku bekerja sebagai buruh pelabuhan. Begitu pula seorang wanita yang mengaku istri si Madura: buruh atau jualan. "Padahal itu tak betul. Saya tahu wanita itu WTS dan laki-lakinya, penjambret dan segala macam," kata petugas pencacah. Lalu ia menambahkan: "Kalau orang yang belum mereka kenal keluar dari stasiun jam tangan bisa hilang." Tidur di atas tikar berbantal pakaian Aminyang keriput dan mengaku berumur 60 tahun, ditemani istrinya. Ia datang dari Indramayu lima hari yang lalu. Di Jakarta berjualan dan tidur di stasiun. Kalau di kampung asal mereka tak paceklik, katanya tak mungkin datang ke Jakarta. "Saya di sana sudah disensus, di sini disensus lagi," kata Amin. Yang tidur di stasiun bukan hanya orang dewasa. Bayi dan anak-anak yang hanya berselimut selembar kain juga ada. Ada seorang mahasiswa. Ia datang dari Jawa Timur. Umurnya 24 tahun, malu disebut nama dan sekolahnya. Yang jelas, ia kini duduk di sebuah akademi tingkat terakhir di Jakarta dan tinggal menyelesaikan skripsi. Datang ke Jakarta lima tahun lalu. Dua tahun menggelandang dengan mencari puntung rokok dan kertas. Lalu terdampar di Priok dan menetap di stasiun ini. Baju dan buku dititipkan ke 'pelindungnya'. Sore hingga malam kuliah, sedang pagi hari mencari puntung rokok. Penghasilannya Rp 15 ribu sebulan. Tapi untuk membeli buku dan keperluan lain, sebulan atau dua bulan sekali ia pulang ke kampung. Saudaranya tak tahu bahwa dia di Jakarta sekolah sambil menggelandang. Wiraswasta Di Kecamatan Senen, sensus dilakukan di kantor kecamatan ini. Dari jam 8 malam para gelandangan sudah disuruh berkumpul. Banyak yang menggerutu karena pencacahan baru dimulai tengah malam, setelah peninjau datang. Sebagian besar berpakaian rapi dan tidak dekil. Tapi Jasman, 50 tahun, terlihat lusuh sekali. Ia tidak pakai alas kaki. Di sela jari kakinya lumpur hitam masih melekat. Dan bau badannya tak sedap. Ia dari Salatiga dan hidup tanpa tujuan. Setiap malam tidur di pasar Inpres Senen bersama istrinya. Ia hidup sebagai pemungut kertas bekas, sedang istrinya berjual sayur. Jasman datang ke Jakarta untuk mencari nafkah karena di daerah sulit. Lima tahun lalu oleh pemerintah DKI ia dan istrinya ditransmigrasikan ke Kalimantan. Pulang lagi ke Jakarta. Alasannya: "Di sana banjir terus." "Saya pernah hampir mati. Keluar dari stasiun Senen sudah tak bisa. Darah keluar dari sini," kata Jasman sambil menunjuk duburnya. Ia makan dari pemberian orang lain yang merasa iba. "Saya tidak minta, tapi saya dikasih." Istrinya saat itu di Jakarta juga, tapi belum ketemu. Dan Jasman sembuh karena ada orang yang memberinya obat berupa ramuan daun belimbing. Kenapa tak kembali ke Jawa saja? Ia hanya senyum. Di sini, biar tak punya rumah, tidur di pasar atau di emper toko sering diusir, tapi hatinya senang. Tiap hari ia mendapat uang Rp 850 dari hasil jual kertas bekas. Belum lagi istrinya yang berjual sayur. Dan ia juga sudah ikut arisan di antara para gelandangan yang setiap harinya harus menyetor Rp 500 sebanyak 10 orang. Ia tak mau ditransmigrasikan lagi. Ia juga tak ingin kembali ke Salatiga. Di Jakarta jumlah gelandangan diperkirakan lebih dari sembilan ribu. Tapi angka ini tak pernah tetap. Sebab, lebih dari 5.000 yang musiman. Mereka datang ke Jakarta pada saat paceklik di daerah asal mereka. Dari hasil sensus malam itu, belum diketahui jumlah mereka sebenarnya. Membina mereka memang dirasakan sulit oleh Dinas Sosial DKI. Lebih-lebih untuk pengemis. "Lebih mudah merehabilitir gelandangan daripada pengemis," kata Achmad Toha, Kepala Dinas Sosial DKI. Sebab, gelandangan itu masih ada Jiwa wiraswastanya sedang pengemis hanya meminta saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus